Riset

Ini Dia Penyebab Banjir di Kalimantan Selatan

Jumat, 22 Januari 2021, 14:16 WIB
Dibaca 893
Ini Dia Penyebab Banjir di Kalimantan Selatan
Infografis Penyebab Banjir Kalsel

Dodi Mawardi

Penulis senior

Duka cita mendalam untuk korban banjir di Banjarmasin dan sejumlah kabupaten di Kalimantan Selatan. Banjir ini bukan hanya menyengsarakan masyarakat, namun juga merobek hati nurani banyak orang. Dalam banyak kesempatan, kami selalu menjadikan Kalimantan sebagai contoh wilayah yang relatif aman dari bencana alam. Tidak ada gempa, tidak ada gunung api meletus. Kalau pun banjir, hanya lokal saja dan tidak besar. Warga Kalimantan sangat akrab dan familiar dengan air. Ribuan sungai mengalir di sana. Kebakaran hutan kadang terjadi, namun tak separah di Sumatera.

Akan tetapi, banjir di Kalimantan Selatan bulan Januari ini, sungguh menghenyakkan. Tentu kita harus benar-benar belajar dari kejadian ini. Kenapa banjir begitu besar sampai terjadi di Kalimantan Selatan? Kenapa Banjarmasin yang dijuluki Kota Seribu Sungai bisa berubah menjadi seperti  lautan? Kalsel adalah provinsi paling sedikit luasnya dibanding empat provinsi lain di pulau Kalimantan. Namun, pertumbuhannya termasuk yang paling pesat. Apakah pertumbuhan itu penyebabnya?

Berikut ini adalah analisis tim ytprayeh.com berdasarkan sumber-sumber terpercaya seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) serta Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), dan analisis berbagai pihak lain yang kami anggap kredibel.

1.      Alih Fungsi Hutan

Inilah biang kerok utama penyebab terjadinya banjir di Kalimantan Selatan. Terjadi perubahan lahan hutan secara masif dalam 30 tahun terakhir. Angkanya fantastis.  Data KLHK menyebutkan, hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito berkurang sebanyak hampir 63%, dalam kurun waktu 1990-2019. Apa yang terjadi kalau DAS tak berpohon? Tentu saja, aliran air tak terserap ke tanah. Semuanya masuk ke sungai. Bagaimana daya tampung sungai?

Data iti diperkuat oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai hasil pengamatan satelit menyebutkan, berkurangnya hutan primer dan sekunder di Kalimantan Selatan, sebagai penyebab banjir. Menurut LAPAN, antara tahun 2010 – 2020 terjadi penurunan beragam jenis hutan.

1.      Hutan primer berkurang 13.000 hektare.
2.      Hutan sekunder berkurang 116.000 hektare.
3.      Semak belukar berkurang 47.000 hektare.
4.      Sawah berkurang 146.000 hektare.

Baca Juga: Kekayaan Hutan Riam Batu Cukup untuk 77 Turunan

Pelajaran sekolah sejak SD menyebutkan bahwa hutan adalah paru-paru bumi. Dia menyerap air dalam jumlah besar lalu menyimpannya di tanah. Setiap jengkal tanah yang berpohon di hutan belantara mampu menyimpan air. Makin luas tanah berhutan, makin banyak air yang tersimpan. Bagaimana kalau lahan tak berpohon? Atau berpohon namun bukan pohon alami yang seharusnya?

 

Dari peta Kalimantan tahun ke tahun kita dapat melihat betapa dahsyatnya pengurangan lahan hutan di Kalimantan. Yang awalnya hijau royo-royo berubah menjadi cokelat. Dan cilakanya, Kalimantan Selatan termasuk yang paling cokelat. Di provinsi ini terjadi alih fungsi hutan yang luar biasa.

2.      Maraknya Tambang

Sesungguhnya masih berkaitan dengan alih fungsi hutan. Kalimantan Selatan berada pada posisi kedua untuk urusan lahan tambang (terutama batu bara), setelah Kalimantan Timur. Ketika Anda melihat dari udara, maka akan terlihat puluhan bahkan ratusan kolam air berwarna hijau atau kebiruan. Itulah lubang peninggalan tambang yang biasa disebut void. Sebagian besar void ditinggalkan begitu saja. Semakin banyak tentu semakin mengganggu ekosistem, termasuk berkurangnya lahan hutan. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan pada 2018 lalu tidak kurang dari 800 void dibiarkan menganga di Kalimantan Selatan. Terbanyak di kabupaten Tana Bumbu (Tanbu).

Sudah bukan rahasia jika perusahaan tambang harus membuka lahan hutan dalam operasionalnya. Semakin banyak yang beroperasi, semakin banyak pula lahan yang beralih fungsi, atau minimal terganggu eksistensinya. Void-void itu menjadi saksi nyata betapa produktifnya aktivitas perusahaan tambang di Kalimantan Selatan.

Baca Juga: Menjaga Eksistensi Masyarakat Adat sebagai Kekayaan Nusantara

Dugaan ini diperkuat oleh data dari Dinas ESDM Kalimantan Selatan menunjukkan produksi batu bara Kalsel terus meningkat. Tahun 2019 lalu mencapai 69 juta metrik ton yang dihasilkan oleh 13 perusahaan tambang besar dan menengah. Pemerintah setempat mempunyai masalah besar terkait efek samping pertambangan yaitu void. Baru tahun 2020 lalu, Pemprov Kalsel memaksa perusahaan melakukan reklamasi terhadap void-void tersebut.

Lagi-lagi data dari Jatam membuat kita tercengang. Luas wilayah Kalimantan Selatan sekitar 3,7-3,9 juta hektare. Mau tahu berapa luas izin pertambangan di sana? Mencapai 1,2 juta hektare! Nyaris sepertiganya. Tentu membuat kepala kita bergeleng berkali-kali.

3.      Perkebunan Kelapa Sawit

Lagi-lagi kelapa sawit? Kenapa pohon yang satu ini sering menjadi kambing hitam urusan lingkungan? Sesungguhnya bukan salah kelapa sawit. Pohon ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa ini punya karakter sendiri dan pasti bermanfaat buat kehidupan manusia. Kalau dianggap sebagai penyebab kerusakaan dan keseimbangan alam, semata-mata karena perilaku manusia yang menanamnya.

Kelapa sawit menjadi masalah karena ditanam dalam waktu bersamaan dalam lahan yang sangat luas sebagai implikasi skala industri. Mengejar keuntungan sebagai bagian dari perilaku bisnis. Perubahan drastis pasti terjadi di mana pun kelapa sawit ditanam dengan cara masif seperti itu. Hutan alami yang sudah terjaga keseimbangannya, tiba-tiba berubah dalam waktu singkat dengan luasan yang luar biasa.

Baca Juga: Lembaga Lada Malaysia

Pasti keseimbangan terganggu. Itulah dampak utama dari perkebunan kelapa sawit dengan luasan raksasa. Apalagi jika sejumlah indikator peraturan terkait lingkungan dilanggar.

Hal inilah yang terjadi juga di Kalimantan Selatan. Data dari LAPAN menyebutkan, pertambahan jumlah alih fungsi hutan menjadi perkebunan (terutama kelapa sawit) mencapai 219.000 hektare. Sehingga total perkebunan di sepanjang DAS Barito lebih dari 650.000 hektare. Hutannya sudah hilang!

Tiga penyebab utama di atas, diamini oleh Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI). Mereka menyebutnya sebagai bencana ekologi. Ekosistem yang dirusak oleh perilaku manusia menyebabkan ketidakseimbangan sehingga ketika hujan dengan intensitas tinggi turun, terjadi banjir. Hal yang juga diakui oleh pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi. Menurutnya, eksploitasi alam yang salah dan sembrono sebagai salah satu penyebab banjir Kalimantan Selatan.

 

4.      Perilaku Elite terkait Tata wilayah

Salah satu masalah terbesar di negeri kita dalam kaitan dengan banjir adalah tata wilayah termasuk tata kota di seluruh Indonesia. Tolong jangan mencontoh Jakarta, ibu kota negara tercinta. Kenapa? Karena tata kota Jakarta sejak dijadikan ibu kota negara sampai sekarang mengalami eksploitasi pembangunan tak karuan. Tata kota yang sudah dirancang oleh para ahli, berantakan. Kalah oleh beragam kepentingan baik politik maupun terutama ekonomi. Jangan tiru Jakarta!

Sayang sekali, banyak kota dan kabupaten di seluruh Indonesia yang meniru Jakarta. Bukan dalam hal desain tata wilayahnya melainkan perilaku dalam menata wilayah. Buat apa bayar mahal para ahli tata wilayah dan perencana kota, jika hasilnya tidak dipakai atau dipakai sebagian dan sebagiannya menyesuaikan dengan kepentingan kelompoknya.

Baca Juga: Brain Drain dari Wilayah Perbatasan RI ke Sarawak

Terlalu banyak elite politik dan birokrasi negeri kita yang dengan berbagai cara melanggar atau sengaja tidak mengikuti perencanaan yang sudah dibuat oleh para ahli. Yang para ahli itu dibayar oleh uang rakyat. Yang sebagiannya mungkin saja mengalir juga kepada mereka. Kita punya banyak lulusan tata kota dan perencanaan wilayah, namun sayang keahlian mereka kerap diabaikan.

Bagaimana mungkin DAS yang secara teori harus terjaga, yang dalam tata kota sudah pasti tak boleh diutak-atik, kemudian berubah fungsi menjadi permukiman atau pemanfaatan lain yang tidak semestinya? Tentu bukan salah para perencana wilayahnya.

Bagaimana mungkin hutan primer, hutan lindung, dan hutan sekunder yang menurut teori harus dijaga, malah berubah fungsi menjadi lahan tambang dan perkebunan? Tentu bukan salah para pencetus dan pemegang teguh teorinya.

5.      Perilaku Masyarakat

Tak adil juga jika tidak menyertakan peran perilaku masyarakat dalam bencana banjir. Terutama masyarakat tertentu yang termotivasi ekonomi dalam memanfaatkan lahan. Misalnya, para pengusaha properti yang menjadikan DAS sebagai perumahan atau permukiman dan segala fasilitasnya. Atau perilaku oknum masyarakat yang memperjualbelikan lahan DAS secara ilegal. Atau masyarakat awam yang makin banyak mendirikan bangunan di tepi sungai. Lihatlah beberapa wilayah Banjarmasin dan sekitarnya dari udara. Sungai-sungai sudah dipenuhi oleh pemukiman penduduk!

Bukankah perilaku itu akan mempersempit DAS, dan juga sungainya sendiri? Makin sempit sungai makin sedikit kemampuan menampung air. Menurut data BMKG, debit air pada saat banjir Kalimantan Selatan yang mengalir di sungai Barito mencapai 3 miliar kubik. Padahal kapasitasnya hanya jutaan kubik saja. Tentu air melimpah ke mana-mana.

 Banjarmasin sudah seperti Jakarta

Pertumbuhan penduduk di Kalimantan Selatan termasuk tinggi. Menurut data BKKBN Kalimantan Selatan, pada tahun 2016 saja, laju pertumbuhan mencapai hampir 2%, lebih tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk nasional yang 1,48%. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Tana Bumbu (>4%) dan Banjarbaru (>3%). Pertambahan jumlah penduduk tentu saja menjadi permasalahan tersendiri buat pemerintah setempat.  Mulai dari masalah permukiman, masalah pembuangan akhir sampah, dan sebagainya.

Baca Juga: Berburu Gaharu di Hutan Perbatasan Kalimantan

Please, Jangan Salahkan Hujan!

Tapi ingat, jangan sekali-kali menyalahkan hujan ya. Hujan itu berkah dan anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk manusia sebagai salah satu sumber kehidupan. Bagaimana logikanya sumber kehidupan itu malah menjadi kambing hitam banjir? Sejak zaman batu, hujan sudah turun di muka bumi ini. Selama itu pula, dia menjadi berkah buat bumi. Sama sekali bukan sumber bencana. Apa pun alasannya, tak layak bagi kita untuk menyalahkan hujan!

Semoga ke depan, kita semua mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari bencana ini. Bencana banjir, kebakaran hutan, dan bencana alam yang terkait dengan perilaku manusia, seharusnya dapat lebih mudah diantisipasi. Semoga Tuhan makin membuka mata dan hati semua pihak dalam menyikapi bencana banjir khususnya di Kalimantan Selatan. Provinsi lain terutama yang berada di Kalimantan, wajib bercermin. Kalimantan sekarang sedang digadang-gadang sebagai pulau masa depan Indonesia. Ibu kota negara akan berlokasi di situ.

Akhirnya doa kami semoga banjir cepat surut dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Seluruh korban dalam keadaan sehat dan dapat segera beraktivitas kembali seperti sedia kala.

***