Ekonomi

Berburu Gaharu di Hutan Perbatasan Kalimantan

Selasa, 18 Agustus 2020, 20:29 WIB
Dibaca 908
Berburu Gaharu di Hutan Perbatasan Kalimantan
Sumber dari Cifor Forest News

Dodi Mawardi

Penulis senior

“Itu bos Gaharu…” ucap Kepala Desa Long Nawang sambil menunjuk seorang pria berbadan gempal, yang duduk di hadapan kami. Saat itu, kami sedang dalam perjalanan dari Samarinda menuju Long Ampung, desa perbatasan Indonesia – Malaysia. Tidak sengaja, bertemu dengan beberapa kepala desa yang baru kembali dari Samarinda.

 

Sejak sehari sebelum berangkat ke perbatasan itu, kata Gaharu acap kali disebut. Jauh lebih sering dibanding pepatah yang dulu kerap saya dengar, yaitu “Sudah gaharu cendana pula.” Tahu kan artinya? Ah, sudah tahu bertanya pula.

 

Kata Gaharu muncul dan makin membetot perhatian karena informasi dari sejumlah pihak di Samarinda yang sangat menarik. Bermula dari keingintahuan saya tentang profesi penduduk di perbatasan. Awalnya tidak jauh dari profesi petani atau pedagang atau pencari madu. Lalu muncullah Gaharu. Ya, di perbatasan terdapat sejumlah orang yang berprofesi sebagai pemburu Gaharu. Selain pemburu, juga terdapat tengkulak Gaharu atau yang disebut kepala desa di atas, bos Gaharu. Dia layak disebut bos, karena harga Gaharu tidak sembarangan. 1 gram Gaharu hanya kalah mahal oleh emas. Berapa harga emas per gram? Yup, sekitar Rp 500 ribuan. Gaharu? Yang kualitas paling baik (kualitas super) harga per gramnya bisa mencapai Rp 400 ribuan. Ah becanda!

 

Awalnya saya pun mengatakan hal serupa. Apakah benar harga sekilo Gaharu semahal emas? Hampir semua informan di perbatasan menyebutkan bahwa harga Gaharu kualitas super adalah Rp300 juta sampai Rp400 juta per kg.

“Masya Allah mahal amat?” pekik saya otomatis. “Buat apa sih kayu Gaharu itu?”

 

Saya perlu berselancar ke dunia maya meminta bantuan mbah Google untuk mengetahui seluk beluk tentang Gaharu. Dan… benar saja. Gaharu memang luar biasa. Jauh lebih dashyat dibandingkan hanya sekadar pepatah “Sudah Gaharu Cendana Pula”. Gaharu dan Cendana sama-sama produk hutan berharga mahal. Mungkin itu pula sebabnya kenapa Pak Harto presiden kedua kita, memilih tinggal di jalan Cendana, hehe…  Gaharu adalah produk hutan nonkayu yang menjadi komoditas kelas premium di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Keempat negara inilah penghasil terbanyak Gaharu, dan tidak ada negara lain di kawasan benua lainnya yang punya Gaharu. Aneh bin ajaibnya  pengekspor terbesar Gaharu adalah… Anda bisa menebak? SINGAPURA.

 

Sudah bisa dipastikan pengusaha Singapura-lah tengkulak raksasa yang menampung Gaharu dari Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam. Mereka berani membeli dengan harga tinggi, untuk kemudian dijual lagi ke pembeli utama Gaharu yaitu para orang kaya dan  konglomerat di Timur Tengah. Mereka menggunakan Gaharu untuk wangi-wangian dan dibakar untuk berbagai keperluan. Di tempat lain, Gaharu dijadikan sebagai bahan baku utama minyak wangi. Selain itu, Gaharu juga bisa menjadi obat sejumlah penyakit.

 

Di Malaysia dan Thailand, Gaharu sudah dibudidayakan. Sejumlah pakar agribisnis di sana bahkan mengembangkan produksi Gaharu. Boleh dikatakan mereka sudah masuk pada tahap industri Gaharu. Bahkan pemerintah setempat pun melihat potensi Gaharu sebagai komditas unggulan. Kebutuhan Gaharu dunia pertahun mencapai ribuan ton, namun belum terpenuhi. Entahlah kalau di Indonesia. Hasil selancar di Google belum menemukan perhatian pemerintah terhadap potensi Gaharu. Para pemburu Gaharu hanya mencari dan mencari secara sporadis di hutan, termasuk di hutan perbatasan Malinau, Kalimantan Utara. Kadang disebut legal, sering juga disebut sebagai pemburu ilegal. Siapa peduli? Yang mereka tahu, Gaharu diproduksi oleh alam dan tersedia di sana.

 

Sejumlah warga setempat berprofesi sebagai pemburu Gaharu. Namun, pemburu terbanyak berasal dari luar Kalimantan. Beberapa informan di sana menyebutkan bahwa orang asal Lombok dan Sumbawa-lah yang paling banyak berburu Gaharu di hutan Kalimantan. Bahkan mereka sampai melintas batas ke hutan di Sarawak dan Sabah, Malaysia. Mereka tergolong pemberani kelas wahid karena mencari Gaharu sama sekali tidak mudah. Mereka harus keluar masuk hutan lebat Kalimantan yang terkenal rapat dan sulit ditembus. Ketika saya melihat langsung hutan lebat Kalimantan tersebut… alamak, berjalan selangkah saja sulitnya minta ampun.

 

Biasanya mereka pergi selama berbulan-bulan, berjalan kaki mencari Gaharu di antara pohon-pohon tinggi dan semak belukar. Mereka tidak keluar hutan sebelum mendapatkan hasil. Sekali lagi bukan pekerjaan mudah hidup di dalam hutan Kalimantan, apalagi sampai berbulan-bulan. Bagi orang awam, bisa kembali keluar ke tempat masuk semula saja sudah hebat. Apalagi bisa bertahan dalam waktu lama, dan kembali dengan selamat. Hutan Kalimantan punya karakteristik yang berbeda dengan hutan tropis di Papua atau di wilayah lain. Hewan buas pun bertebaran di sana, mulai dari yang mini dan kecil seperti lintah penyedot darah sampai yang besar seperti ular piton pelilit tubuh.

 

Kesulitan berburu Gaharu di Kalimantan memang setimpa dengan hasilnya. Jika mendapatkan Gaharu super maka harganya selangit, minimal Rp300 juta perkilo. Kalau kurang mujur dan hanya mendapatkan Gaharu kualitas seadanya mungkin para pemburu itu hanya mendapatkan Rp jutaan saja perkg-nya. Lumayan.

 

Belakangan saya sempat berpikir… wah kalau begitu boleh juga menjadi penadah Gaharu atau jadi Bos Gaharu seperti penumpang di pesawat tadi. Tinggal cari selisih saja, antara harga beli dari para pemburu dan harga jual ke tengkulak yang lebih besar. Untung, tanpa harus susah-susah keluar masuk hutan Kalimantan. Atau Anda tertarik menjadi bos Gaharu? Potensi margin keuntungannya selangit!

Akhir 2020, saya bisa menyaksikan sendiri fisik pohon Gaharu. Ternyata tidak sebesar yang dibayangkan. Kecil saja. Sebesar pohon kelapa deh. Memang tinggi. Yang diambil adalah bagian dalam batangnya. Oooh....