Jejak Majapahit di Sanggau Kalimantan Barat
Sanggau adalah nama kabupaten di provinsi Kalimantan Barat. Sekaligus nama ibukota kabupatennya. Dikisahkan, kota ini didirikan wanita Melayu yang bersuamikan pria Dayak, Babai Cinga. Saya telah menulis dan membukukan untuk kalangan tebatas (dulu) narasinya. Diberi judul SANGRILADI JANTUNG BORNEO: Pulau yang Berbudaya Sungai.
Intinya adalah bahwa:
Selama berabad-abad, kekuatan atau kharisma tersebut disembunyikan, hanya dikuasai oleh pihak keluarga kerajaan, mereka sengaja merahasiakannya kepada khalayak ramai. Salah satu ajian yang menjadi andalan di Kerajaan Surya Negara adalah ajian serat jiwa yang dibawa oleh Puteri Dara Nante, ajian ini merupakan warisan langsung dari ayahndanya, Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit.
Namun, ajian serat jiwa yang diwarisi oleh Puteri Dara Nante hanya sampai pada tingkatan yang kelima dari sepuluh tingkatan yang seharusnya dikuasai, maka sesampainya di Borneo, ilmu tersebut menjadi tidak sempurna. Ajian itu juga tidak murni lagi karena sudah tercampur dengan berbagai ilmu kebatinan warisan kerajaan berbasis budaya Borneo.
Sekalipun ilmu-ilmu tersebut sangat dirahasiakan untuk khalayak ramai, namun ada juga anggota kerajaan yang mengajarkannya kepada orang Dayak yang tinggal di bantaran Kapuas semata-mata atas dasar pertemanan. Di kalangan penduduk asli, ilmu tersebut dilatih di Tembawang, tempat yang agak rahasia. Fokus utamanya adalah membangkitkan cakra-cakra, khususnya ke-7 cakra yang ada di tubuh manusia.
Di dunia kontemporer, ilmu tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti, prana, reiki atau chikung dengan berbagai aliran yang mula mula dibangkitkan dari tubuh manusia melalui meditasi yang disebut ‘meditasi jantung kembar’. Ketika sudah bangkit maka ilmu tersebut dikembangkan secara berbeda melalui berbagai macam meditasi, latihan pernapasan dan penghapalan mantra matra kuno. Ilmu tersebut bisa digunakan untuk berbagai tujuan, baik itu tujuan positif maupun negatif tergantung pesanan.
Cikal bakal Kerajaan Surya Negara berawal dari kisah petualangan Puteri Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang bernama Puteri Dara Nante. Berbagai sumber yang dapat dipercaya mengisahkan bahwa Kerajaan Surya Negara didirikan oleh Puteri Dara Nante (Buku Veth 1, hal. 172). Tidak diketahui asal muasal dan sebabnya, mengapa sang puteri bermukim di Kerajaan Sukadana (Labai Lawai).
Dimitoskan dari peristiwa ketimun hanyut yang jadi mainan sang puteri menjadi penyebab utama pengembaraannya dari Sukadana di Ketapang menuju sebuah sungai besar yang pada waktu itu belum bernama. Akibat ketimun ajaib yang menyebabkan sang puteri hamil, setelah melahirkan seorang anak laki laki, sang puteri kemudian mengembara mencari siapa gerangan pemilik ketimun ajaib tersebut. Berbekal sebuah tudung sebagai tiang awan untuk memandu perjalanannya mencari si pemilik ketimun, sang puteri dan rombongannya tiba di sebuah sungai besar yang memiliki banyak anak sungai.
Sekalipun dipandu oleh tudung ajaib sebagai kompas yang kalau dilemparkan akan menentukan sendiri arah perjalanan, tetapi sungai tersebut begitu besar dan menampung banyak anak sungai, sehingga tidak mudah bagi rombongan Dara Nante mencari si pemilik ketimun.
Setelah menempuh perjalanan jauh yang cukup menegangkan dan berbahaya karena di zaman itu konon kabarnya, sering terjadi perburuan kepala di antara penduduk asli, anggota rombongan mulai mengeluh, “kami sudah puas dengan pencarian ini,” kata mereka, oleh karena itu sungai besar tersebut dinamakan Sungai Kapuas.
Tekad Dara Nante sudah bulat bahwa ia harus menemukan sang pemilik buah ketimun, tudung kembali dilemparkan, kali ini tudung tersebut menuju Sungai Sekayam, singkat cerita bertemulah Dara Nante dengan pemuda si pemilik ketimun, atas petunjuk anaknya menggunakan sebatang tebu. Si pemuda beruntung tersebut bernama Babai Cinga. Mereka kemudian kawin, selanjutnya Dara Nante membawa suaminya Babai Cinga, anak mereka dan anggota rombongan ke hilir menuju muara sungai untuk mendirikan sebuah kerajaan di tepi Sungai Kapuas. Waktu itu sang suami-isteri digelari kepala bukan raja (lihat Bakker, H.P.A, 1884).
Kemampuan personal, semacam tacit knowledge yang dimiliki oleh Albert di dunia kontemporer, menyebabkan Ia jadi terbiasa dengan berbagai keanehan yang terjadi di Kerajaan Surya Negara.
Bagi Albert, urusan ketimun hanyut dan semacamnya adalah hal biasa karena Ia mampu menganalisisnya menggunakan teori the semiotic analysis of culture dari Ferdinand de Saussure (1916).
***
Sanggau kota kecil, tapi modern.
Di mana-mana, banyak kafe dan warung kopinya.
Selain masjid bersejarah, ada keraton kerajaan Sanggau. Dan kini, berdiri megah sebuah katedral yang luar biasa indah di tepian sungai Liku, yang bermuara di Sungai Kapuas.
Kepingan-kepingan sejarah yang menuansakan kerja sama Melayu-Dayak ini, akan menjadi menu sajian Web ini hari demi hari.