Politik

Menggenggam Demokrasi Melupakan Keteladanan

Sabtu, 16 Januari 2021, 15:43 WIB
Dibaca 334
Menggenggam Demokrasi Melupakan Keteladanan
demokrasi adu domba...Senang bertengkar...anarki... dalam guliran reformasi (indoleft.org)

Sejak reformasi bergulir, demokrasi  menjadi pengharapan akan datangnya seorang pemimpin beradab yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan menjunjung adab toleransi.

Akan banyak muncul pemimpin yang meletakkan demokrasi sebagai tahta tertinggi untuk rakyat. Semua orang berharap bahwa demokrasi melahirkan manusia manusia berkualitas yang santun dalam berpolitik.

Namun ternyata reformasi malah melahirkan koruptor - koruptor yang terang- terangan memeras uang rakyat. Mereka tidak lagi malu - malu dan bersembunyi. Jauh lebih terbuka dan melakukan petak umpet. Hampir semua lembaga melakukan korupsi berjamaah, bahkan yang tidak korupsi seperti terpojok di sudut dan merasa selalu diteror dikatakan pencitraan, sok suci, sok pahlawan dan aneka kata - kata nyinyir lainnya.

Ketika pemimpin melakukan pekerjaan dengan melakukan pendekatan langsung ke rakyatnya, ketika seorang pemimpin berusaha tulus hati mendengar dengan bahasa kasihnya yang tulus, segera saja suara – suara sumbang bergema. Mereka seakan tidak terima ada seorang pemimpin dengan caranya sendiri bekerja bukan duduk manis di kursi, menunggu laporan demi laporan bawahan tentang daerah ini daerah sono, daerah ujung dengan busa – busa laporannya yang dipastikan hanya formalitas.

Sudah ada sistem, sudah ada mekanisme, tidak perlu turba, sudah ada job desk-nya, tidak usah pecicilan, tidak usah blusukan yang bersifat pencitraan saja. Sekarang bukan zamannya blusukan, yang bersifat intrik politik, ada udang di balik batu, ada maksud tersembunyi. Pasti mau kampanye biar mendapat simpati rakyat.

Begitulah suara suara demokrasi, lama - lama masyarakat, netizen sendiri bingung dengan definisi demokrasi. Malah jangan jangan saking mengagungkan kebebasan berpendapat maka yang muncul dalam otak pengamat, politisi, orang - orang yang telah mabuk politik terpeleset memahami demokrasi menjadi demo crazy. Unjuk kegilaan karena hampir semua orang telah gila kekuasaan dan krisis keteladanan.

Mengapa juga harus nyinyir dengan orang yang mau berbuat baik. Bukannya bersyukur jika daerah kita kedatangan orang  yang gigih mau memperjuangkan keadilan sosial tanpa pandang bulu. Bukannya harus didukung ketika ada seorang pemimpin turun ke bawah untuk menyapa dan mendengarkan keluhan.

Ketika semua dipolitisisasi, niat baik apapun tampaknya dicurigai. Bahkan rela menyingkirkan sopan santun demi ambisi kekuasaan. Mengapa banyak orang tampaknya kebakaran jenggot bila muncul pemimpin yang beda cara pendekatan dengan rakyatnya. Mengapa harus dicurigai pencitraan wong baru saja bekerja.

Lebih memilih mana pemimpin yang diam duduk di kursi sambil ngopi, bagi bagi tugas, menjadi narsum webinar, menjadi pembicara forum ilmiah tapi ia jauh dengan masyarakatnya. Ia sudah percaya pada sistem, ia percaya ada anak buah yang bekerja di bawah. Padahal mungkin ada banyak kasus, seorang bos, seorang pemimpin atau kepala bidang tertentu bukan dilihat dari kecakapannya, tapi lebih semata- mata ia bisa melakukan trik menjadi penjilat, sok baik untuk mendapatkan kedudukan dengan cara yang kurang terpuji.

Contohnya pasti banyak. Para politisi yang duduk sebagai wakil rakyat. Apakah mereka benar - benar terpilih sebagai wakil rakyat karena reputasinya, karena dirinya memang patut duduk di kursi wakiil rakyat karena mereka memang jauh lebih menonjol dalam prestasi dalam komunikasi dan dalam hal kemampuan untuk mendengar dan menyampaikan aspirasi rakyat melalui dirinya.

Yang ada sekarang lebih banyak politisi yang ingin terkenal sendiri sehingga kadang lupa siapa dirinya, posisinya apa. Bagaimana seorang politisi wakil rakyat yang notabene pendukung pemerintah dengan lantang beda pendapat dengan presidennya sendiri, menentang vaksinasi dan meragukan manfaat vaksinasi. Berdemokrasi sih berdemokrasi tapi kalau hanya untuk menusuk tubuhnya sendiri, mempermalukan kompatriotnya dan menunjukkan ketidakkompakannya dan ketidaksukaannya tanpa mekanisme berpendapat di depan masyarakatnya, apa yang bisa diharapkan dari wakil rakyat seperti itu.

Mungkin ia ingin mendapat simpati netizen atau katakan pansos atau panjat sosial. Dengan pendapatnya yang akhirnya menjadi viral ia tidak repot repot promosi atau kampanye. Namanya pasti akan otomatis viral. Lalu terserah apa kata orang yang penting akhirnya aku terkenal.

Tampaknya masyarakat, netizen, politisi, wakil rakyat, birokrat, artis, pesohor terjebak persis apa yang dikatakan Plato :“.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” (Republic, page: 11). (…mereka adalah manusia bebas, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan setiap orang di dalamnya boleh melakukan apapun yang disukainya).

Saat ini illative sense jarang dipunyai politisi. Apa itu illative sense semacam perasaan untuk tahu diri, mengakui keterbatasan. Setiap orang mempunyai kemampuan dalam melakukan pekerjaannya. Bila setiap politisi dan netizen tahu diri ia tidak akan mengobral penilaian yang berlebihan seakan dirinya ( pengritik tidak punya keterbatasan).

Banyak politisi yang sering kekanak – kanakan ngambek hanya karena ada seorang yang mampu memberi dirinya sebuah keyakinan untuk menyapa sesamanya. Kebetulan ia sedang punya jabatan dan jabatannya menuntut untuk mengerti masalah – masalah sederhana yang dihadapi rakyatnya.

Kalau tulus, mereka para politisi yang kebetulan lama berdomisili di sebuah wilayah dengan senang hati membantu bahkan mendampingi, ikut memetakan dan ikut bergerak atas masalah yang dtemukan koleganya sesama pemimpin.

Di sini malah rame – rame membully, memojokkan dan membuat tweet war yang berusaha mematikan mental pemimpin tersebut untuk berbuat baik. Astaga. Harusnya malah mereka bergotong royong berbuat kebaikan toh jika tulus, seorang pemimpin daerah akan tetap diacungi jempot atas usahanya untuk membantu mengurai benang kusut kemiskinan kota. Ia akan bertambah populer dan mendapat simpatik. Tapi politisi kekanak- kanakkan tampaknya malah memilih ngambek dan membuat kontra opini yang melahirkan cek cok.

Ingat peribahasa Jawa Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Sentosa (Bertikai membuat hancur, bersatu membuat jaya atau maju). Mau bubrah atau mau hancur kalau mau bubrah yang bertindak saja waton sulaya ( asal beda ).

Alamak pusing kepala abang.

Quote: diambil dari suara kebebasan.id

***