Blunder Pertamax, Pertalite, dan Aplikasi
Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah dalam hal ini bersama Pertamina dibuat sibuk luar biasa. Konsumsi Pertalite melonjak. Padahal, jenis BBM yang satu ini menyedot subsidi yang sangat besar.
Kita sudah tahu. Penyebab kenaikan konsumsi itu adalah kebijakan pemerintah sendiri. Sebuah blunder. Paling tidak menurut saya. Blundernya adalah menaikkan harga Pertamax, BBM nonsubsidi. Menaikkan harga produk tidak bisa sembarangan. Harus pakai pertimbangan matang. Entah apakah para pemegang kebijakan itu sudah menerapkan manajemen risiko yang memadai atau tidak. Apakah peralihan konsumen ke Pertalite juga masuk dalam pertimbangan itu?
Dugaan saya tidak. Salah satu indikasinya, besaran kenaikan harga Pertamax. Cukup drastis. Dari kisaran Rp 9.000-an ke Rp 12.000-an perliter. Atau sekitar 25-30%. Besar sekali. Besaran kenaikan itu mengagetkan para pengguna kendaraan. Paling mewah sekalipun. Wajar jika terjadi peralihan sehingga konsumsi Pertalite melonjak.
Seharusnya kenaikan itu bertahap. Tidak ujug-ujug langsung ke angka keekonomian tertentu. Risiko peralihan itu sesungguhnya mudah dimitigasi. Mudah sekali. Sudah pernah kejadian sebelumnya terjadi peralihan konsumsi BBM. Dari Pertamax ke Pertalite atau dari Pertalite ke Premium (sebelum dihapus atau dilarang). Kebijakan harga BBM pada masa lalu juga pernah berjalan baik tanpa gejolak berarti. Belajar dari arsip dan dokumentasi kebijakan.
PLN melakukan kenaikan tarif listrik dengan lebih bijak. 1. Bertahap. Besarannya pada kisaran 15%. Tidak bikin kaget. 2. Berjenjang. Hanya pada kelas tertentu pula. Kecil kemungkinan terjadi gejolak.
Apa yang terjadi sekarang pada konsumsi BBM justru merepotkan pemerintah sendiri. Dibatasi. Harus daftar aplikasi. Harus begini harus begitu. Jadinya mirip permasalahan minyak goreng. Untuk membeli pada harga tertentu harus pakai NIK.
Belum lagi ada kemungkinan digugat sosial (class action) karena kebijakan pembatasan pembelian BBM ala aplikasi itu berpotensi mengurangi/mempreteli hak masyarakat.
Memang tidak mudah bikin kebijakan. Itulah peran penting big data. Data harus diolah dan dianalisis (jadi informasi - pengetahuan - insight) barulah bisa menjelma sebagai dasar suatu kebijakan. Berpotensi besar menghasilkan kebijakan yang tepat.
Kalau data yang melimpah pada era informasi ini tidak diolah dan dianalisis dengan baik, tentu tidak akan jadi pengetahuan dan insight memadai. Kebijakan berdasarkan pengetahuan dan insight yang tidak memadai, dipastikan tidak akan baik.
Semoga kebijakan beli Pertalite pakai daftar dan pakai aplikasi, bukan kebijakan tambal sulam atau kebijakan ala reality show "Uang Kaget". Terburu-buru, tanpa pertimbangan matang, apalagi analisis yang memadai.
Respons negatif atas kebijakan beli pakai aplikasi sudah marak di media sosial.