Menyibak Strategi Jenama Politisi Jelang Pemilu 2024
Ada-ada saja cara para politisi meningkatkan jenamanya (brand) menjelang Pemilu 2024. Mulai dari strategi negatif sampai kontroversial. Memang betul dalam ilmu komunikasi, sesuatu yang bakal menarik perhatian publik itu hanya dua: sangat bagus atau sebaliknya, sangat buruk. Keduanya biasanya akan berupa prestasi atau kontroversi. Ternyata oh ternyata, cara kedua lebih mudah dilakukan dibanding cara pertama.
Mencetak prestasi memang tidak mudah. Meski selalu bisa dilakukan. Misal, dalam konteks politik, prestasi itu bisa berupa hasil survei yang bagus. Itulah sebabnya, para praktisi politik memanfaatkan survei untuk meningkatkan jenamanya. Masuk 10 besar atau 5 besar sudah lumayan mengerek nama mereka. Apalagi jika bisa “diatur” berada pada posisi puncak. Akan tetapi, cara tersebut cukup mahal. Membayar lembaga survei butuh biaya besar.
Prestasi lain yang bisa dibanggakan adalah track record, catatan positif selama periode tertentu. Misal, tidak pernah korupsi atau membuat karya tertentu yang membanggakan. Bikin ini atau bikin itu. Lalu diklaim sebagai karyanya. Akan tetapi, tidak mungkin juga selalu menjadikan karya-karya itu sebagai bahan meningkatkan jenama. Publik bisa bosan juga.
Itulah sebabnya membangun jenama melalui prestasi tidak mudah. Tidak bisa selalu dilakukan setiap waktu. Sedangkan strategi branding dengan suatu hal kontroversi bisa dilakukan setiap saat. Pintar-pintar saja mengelola dan mengagendakan kontroversi tersebut. Sandingkan dengan pihak yang lebih terkenal atau dengan isu besar, maka jenama pun diperoleh.
Ah, kan negatif? Siapa bilang?
Memang benar, isunya negatif. Kontroversi. Akan tetapi dalam teori branding, ada beberapa tujuan komunikasi yang ingin dicapai. Tidak hanya untuk citra positif. Bisa untuk tujuan mengenalkan atau mengenalkan kembali, karena publik mudah lupa terhadap sesuatu. Strategi jenama kontroversi bisa dilakukan untuk mengingatkan kembali publik bahwa si pembuat kontroversi masih ada. Masih eksis. Bahkan makin eksis.
Strategi komunikasi ini sudah biasa dilakukan oleh selebritas di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Acara-acara infotainment menjadi ajang mereka membangun jenama kembali. Dan sebagian besar berhasil. Artis yang sebelumnya sudah dilupakan publik (baca: sudah tidak laku), tiba-tiba menggeliat kembali setelah kontroversinya muncul dan diliput media massa. Keberhasilannya semakin menjadi setelah artis tersebut mendompleng selebritas yang sedang mencuat.
Begitulah. Apa yang saya lihat dalam dinamika politik tanah air saat ini, tidak lepas dari strategi komunikasi terkait branding khususnya pilihan kedua: sangat buruk. Menarik perhatian publik dengan isu negatif dan atau kontroversial untuk meningkatkan jenamanya, menanamkan merk-nya di kepala publik, atau mengingatkan kembali masyarakat terhadap merk-nya. Demi meraih simpati massa (pada akhirnya) menjelang Pemilu 2024. Tentu, strategi komunikasi berikutnya pada pemilu 2024 adalah strategi kebalikannya: dengan isu yang sangat bagus. Bagi sembako, donasi, sunatan massal, nikah massal, bantuan bencana alam, bantu masyarakat, hasil survei yang makin bagus, dan sejenisnya.
Silakan sebutkan isu apa yang mengemuka dalam 2021-2022 ini, dua tahun menuju Pemilu 2024. Giring batal jadi presiden? Perpanjangan masa jabatan presiden? Pemilu 2024 ditunda? Semuanya hanyalah strategi menaikkan jenama. Kemasan strategi komunikasi politik kuno yang berganti isi saja.
Siapa aktor di balik isu-isu tersebut?
Siapa yang dapat untung dari isu-isu tersebut?