Panas Dingin Persaingan Penanganan Kasus Korupsi
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Makin tinggi angka IPK semakin baik. Maksimal pada angka 100. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, dan Malaysia. Hasil tersebut menggambarkan IPK Indonesia jalan di tempat. Tidak ada peningkatan. Malah, cenderung turun. IPK 2022 itu sama dengan IPK pada 2014. Turun jauh di bawah pencapaian IPK tertinggi pada 2019 di angka 40.
Nyaris setiap hari, publik disuguhi berita tentang korupsi. Penangkapan, penyadapan, penggeledahan, penggerebekan, dan lainnya. Lembaga yang melakukannya pun beragam. Mulai dari KPK, Polri, Kejaksaan Agung, sampai lembaga analisis dan transaksi keuangan PPATK. KPK punya wewenang paling besar dari urusan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, lembaga lain pun tak mau kalah dalam turut serta menjadi inisiator pembongkar praktik korupsi.
Pada tahap tertentu, semua lembaga itu khususnya KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung, seperti berkompetisi ala Premier League (Liga Sepakbola Inggris). Saling salip, susul menyusul, dan berusaha membangun citra lembaga masing-masing sebagai yang terbaik dalam urusan memberantas korupsi. Bagi Polri dan Kejaksaan Agung, penanganan korupsi hanya salah satu saja dari sekian banyak tanggung jawab mereka sebagai lembaga penegak hukum. Sementara KPK, memang fokus dalam bidang tersebut.
Setiap bulan atau minimal triwulan, beberapa lembaga survei memberikan laporan hasil penelitian mereka kepada publik. Isinya tentang lembaga mana yang paling dipercaya publik. Sebelum 2019, KPK selalu berada di poisi teratas. Namun setelah itu, Polri menyodok dan menempati urutan paling atas. Pada 2022, Polri anjlok disalip Kejaksaan Agung. Lembaga penegak hukum tersebut terlihat sangat jelas bersaing dalam melakukan penindakan terhadap kasus korupsi. Hasil survei selalu salah satu acuan penting dalam menilai kinerja.
Di satu sisi, persaingan itu baik-baik saja. Bahkan bagus. Bukankah semangat untuk memberantas korupsi yang tinggi bisa mengurangi tingkat korupsi? Siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi tidak bisa leluasa karena ada tiga lembaga yang “memelototi” mereka. Bagus bukan? Jika para pelaku korupsi ini berusaha kongkalikong untuk menutupi aksi mereka, juga perlu kerja ekstra. Misal melakukan penyuapan. Tidak bisa hanya kepada oknum dari salah satu lembaga saja. Harus ketiga-tiganya. Tentu menjadi lebih berat dan merepotkan.
Akan tetapi, di sisi lain, ada masalah besar menganga, yang sudah dirasakan oleh para personel di ketiga lembaga tersebut sejak lama. Persaingan itu justru menimbulkan dampak yang kurang elok. Salah satu yang paling kentara adalah miskoordinasi. Setiap lembaga seperti berjalan sendiri-sendiri. Kadang terjadi tumpang tindih. Siapa yang lebih berhak? Siapa menangani apa dan kasus yang mana? Batasannya sampai di mana? Komunikasi dan koordinasi belum memadai. Memang betul, komunikasi selalu dilakukan. Tapi… hanya sekadar formalitas. Ego kelembagaan dan persaingan membangun citra institusi masing-masing lebih menonjol.
Tumpang tindih dan persaingan ini seharusnya tidak terjadi, jika pemerintah pusat dan DPR lebih membuka mata dan telinga, secara objektif. Perlu terobosan kebijakan untuk membangun sinergi dan kolaborasi antarlembaga dalam memberantas korupsi. Kecuali memang tidak begitu serius dalam memberantas korupsi. Seperti yang dipersepsikan publik dalam hasil survei Transparansi Internasional. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita tidak pernah lebih dari 40 alias masih berwarna merah. Kalau di bangku sekolah, belum bisa naik kelas.