Politik

Kaltara Rumah Kita (4) Influencer yang Mengira Dirinya Panelis, Padahal Sekadar Moderator

Sabtu, 23 November 2024, 11:18 WIB
Dibaca 444
Kaltara Rumah Kita (4)  Influencer yang Mengira Dirinya Panelis, Padahal Sekadar Moderator

Pepih Nugraha

Penulis senior

Saya sedikit menyoroti Influencer ibukota yang diundang di acara "Zpeak Up" yang merupakan panggung kampanye Yansen TP di hadapan anak-anak milenial dan Gen Z di Tarakan. Namanya Karin Novilda. 

Konon dia Influencer kenamaan dan berpengaruh di dunianya, yaitu di dunia maya. Di dunia nyata, saya bahkan baru tahu saat acara berlangsung. Itupun karena melihat flyer berisi foto dan siapa dirinya. Mungkin saya kuper dalam urusan perartisan dan perinfluenceran. Mohon dimaklumi.

Saat berada di panggung, rupanya Karin bertindak selaku moderator yang mengatur lalu-lintas percakapan antara Yansen TP selaku calon gubernur Kaltara dengan kaum milenial Gen Z sebagai pemilih pemula yang potensial. Memang acara itu dipenuhi kaum muda.

Tetapi di atas panggung, Influencer yang konon dibayar mahal itu tidak mampu menghidupkan suasana. Ia langsung membuka tanya jawab tanpa memberi kesempatan Yansen menyampaikan visi-misinya. Akibatnya panggung terkesan kaku dan tegang, interaktivitas yang diharapkan tidak lancar. Hal ini disebabkan pengaturan lalu-lintas komunikasi yang mohon maaf, kurang cekatan. Mungkin brevet sebagai moderator profesional belum disandangnya, kecuali influencer itu tadi.

Ketidakprofesionalan itu nampak nyata saat dia tidak paham tugasnya sebagai moderator, tetapi bertindak seolah-olah panelis atau penanya ahli dalam sebuah debat kandidat. Ia lupa bahwa panggung "Zpeak Up" bukan mimbar debat antarcalon kepala daerah yang biasa disiarkan televisi itu!

Mispersepsi yang dibangunnya sendiri dan hidup dalam pikirannya saat berada di atas panggung menempatkannya sebagai panelis yang berhak bertanya kepada Yansen, bukan bertindak selaku moderator pengatur lalu-lintas dialog.

Lebih celaka lagi, dan ini jauh lebih konyol, ia berharap semua pertanyaannya itu dijawab tuntas oleh Yansen TP. Padahal ia hanya moderator.

Tentu saja omelannya di media sosial itu digoréng sedemikian rupa dan menjadi santapan lezat pihak lawan Yansen. Atas postingan Karin yang menunjukkan kekecewaannya, tim lawan langsung mencap Yansen sebagai "antikritik". Padahal, pertanyaan tentang kurangnya tenaga kesehatan mental di Kaltara sesuai data BPS dan pembangunan infrastruktur yang minim di daerah itu sudah dijawab Yansen. 

Bahwa jawabannya tidak memuaskan Karin sebagai penanya, itu urusannya. Tetapi, bukan kemudian berceloteh di akun Instagram-nya yang ditangkap oleh tim lawan sebagai bahan gorengan dengan langsung menstigma Yansen TP sebagai "antikritik". 

Atas peristiwa ini saya menjadi berpikir tentang etika, masak iya Influencer mahal dan kenamaan sekaliber Karin "tuna etika" atas profesionalismenya. Bukankah sama saja dengan, maaf, "she shits where she eats" tatkala ia justru menjelek-jelekkan orang yang telah mengupahnya dengan harga tinggi, memintanya dengan hormat berada di panggung terhormat, tetapi balasannya serendah itu?

Dengan caranya yang secara sadar dan sengaja mengobral unek-unek di medsos tentang orang yang sudah membayarnya, saya menduga dan bertanya-tanya dari sisi ilmu intelijen: jangan-jangan ia juga dibayar lebih mahal oleh pasangan calon lainnya untuk  mendiskreditkan Yansen sendiri.

Hikmah atas peristiwa ini: hati-hati mengundang orang yang konon terkenal dalam momen sekrusial pilkada. Salah informasi di awal bisa-bisa menjadi bumerang dan bahkan "back fire" yang merugikan tetapi di sisi lain menguntungkan pihak lawan.

Dikiranya "Zpeak Up" itu sama dengan debat kandidat di mana Karin merasa sebagai panelis yang berhak bertanya kepada tiga pasangan calon gubernur Kaltara. 

Padahal, dia hanya sebagai moderator yang diundang oleh Yansen seorang. Tidak oleh kandidat lain.

(Bersambung)