Menulis Cerita di Kepala
Banyak orang tidak percaya -bukan tidak yakin- mengenai kebiasaan saya menulis cerita bersambung di kepala. Bahkan ada yang bilang "imposible". Kenyataannya, saya bisa menulis cerpen bersambung (demikian saya punya istilah) "Perempuan Penyapu Halaman" dan sebelumnya "Alena", dengan mulus-mulus saja.
Bahkan, saya melawan "kodrat" bagaimana menulis novel yang baik, yang terlebih dahulu harus menulis "outline" atau garis besar cerita, menegaskan karakter demi karakter, dan memilih plot yang bikin greget. Saya tanpa "outline" sama sekali, tanpa oret-oretan atau sketsa sebelumnya.
Saya biasa menulis setiap hari, di manapun, entah sedang di atas speedboat di sungai-sungai Kalimantan (Kang Dodi Mawardi bisa jadi salah satu saksi), di atas pesawat terbang saat pramugari mengizinkan saya menulis, di tenda-tenda yang terpasang di hutan dan di mana saja. Saya membiasakan diri atau terbiasa menulis dalam tekanan, entah itu tekanan waktu, suara bising, omelan dan seterusnya.
Kembali ke cerita tentang "menulis di kepala", apakah ini sebuah kehebatan atau kecanggihan? Saya jawab: BUKAN. Lho, lalu apa, 'kan tidak setiap orang punya kemampuan seperti ini? Saya katakan sekaligus buka rahasia menulis: ini sekadar cara saja. Ya, itu cara yang saya pilih.
Penulis atau novelis lain mungkin akan menyiapkan plot, karakter, konflik, resolusi di atas kertas bernama "draft" jauh sebelum novel itu ditulis. Banyak pertimbangan di sini. Tetapi apa yang saya lakukan adalah kebalikannya, menjungkirbalikkan kebiasaan para penulis top selama ini. Saya jalan (nulis) saja, tanpa dibekali persiapan "outline" sama sekali.
Pertanyaannya, kenapa bisa saya melakukan cara spontan seperti itu? Ini rahasianya: setiap cerita itu sudah ada di kepala saya!
Ini berlaku baik untuk cerita pendek atau cerita bersambung (novel). Saya tinggal bercerita saja. Tokoh-tokohnya bahkan sudah nongol. berseliweran, menampakkan diri dalam kepala saya, tinggal saya mewujudkannya dalam sebuah cerita bagaimana si tokoh itu berperan dan menjalani plot sesuai keinginan saya.
Saya terus saja menulis, bahkan tidak membaca ulang atau membaca mundur bagian-bagian sebelumnya saat menulis bagian baru. Kuncinya, saya hapal karakter (tokoh) yang saya ciptakan sendiri, tokoh antagonis, protagonis, dan seterusnya.
Alhasil, pembaca kadang mengoreksi adanya ketidaksesuaian "fakta", misalnya soal durasi (waktu), akurasi tempat, dan seterusnya. Akan tetapi, saya tetap menjaga jangan sampai terjerumus "anakronisme" dan kesalahan logika.
Apakah kebiasaan saya menulis cerita tanpa "outline" sebagai kebiasaan buruk dan tidak profesional? Jawabannya mungkin "Iya". Tetapi saya berprinsip, lebih baik tulisan itu jadi daripada sekadar menjadi "outline".
***