Apalah Arti Sebuah Buku!
Kalimat di atas mengingatkan kita kepada seorang seniman dan penulis bernama William Shakespeare.
Sebuah kalimat sangat popular yang pernah di sebutkan William Shakespeare, yaitu “apalah arti sebuah nama..? meskipun sekuntum mawar kita sebutkan dengan nama lainnya, ia akan tetap menebarkan aroma wangi”.
Kembali pada kalimat judul tulisan di atas, “Apalah Arti Sebuah Buku" tentu dapat dianalogikan menyerupai sebuah nama juga. Di mana sebuah nama disematkan pada seseorang yang diberikan oleh orangtua tentu memiliki nilai atau makna yang mendasarinya.
Selain itu, nama seseorang juga sebuah identitas dari unsur Jasmani dan Batin sebagai perpaduan dari segala aspek yang terkandung didalam diri.
Demikian juga, sebuah buku terdiri dari kumpulan beberapa Bab dan Sub Bab yang menjadi kerangka dasar dalam penjabaran dan uraian lengkap bagi seorang penulis. Sebuah buku, tidak lebih dari kumpulan kertas yang hanya berisi tulisan-tulisan dari pengetahuan, gagasan maupun ide seseorang yang berupaya untuk dipublikasikan dengan latar belakang motivasi tertentu.
Buku tetaplah sebuah buku… hanya berupa benda kertas yang seringkali sebagai pemanis rak buku di institusi pendidikan formal, non formal, informal maupun koleksi pribadi di rak rumah kita masing-masing. Apapun isi atau konten dari buku tersebut, tidak lah menjadi penting dan berguna bagi kita semua apabila tidak dilandasi oleh pengetahuan dalam mencerna makna dari tulisan-tulisan yang demikian banyak bahkan terdiri dari beratus halaman.
Bagaikan sebilah pisau yang memiliki dua sisi yang berbeda, demikian halnya buku. Ia mampu menjadi motor penggerak dalam peradaban manusia menuju nilai-nilai kebaikan maupun keburukan. Bahkan, seringkali sebuah buku dapat dijadikan sebagai simbol-simbol tertentu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam periode pemerintahan negara kitapun, beberapa judul buku dilarang untuk diedarkan bahkan dilarang untuk diterbitkan. Demikianlah kekuatan sebuah buku… sebuah benda dari kumpulan kertas yang berisi rangkaian kalimat dan tulisan ini, bahkan ada yang mampu bertahan hingga lintas generasi sampai ribuan tahun lamanya dan menjadi inspirasi bagi sebagian besar dari kita.
Apalah arti sebuah BUKU, apabila hanya sebagai koleksi dan pemanis rak pribadi maupun institusi kita, lapuk dimakan rayap, bahkan rusak oleh kelembaban udara.
Hari ini (8/4), saya mengirimkan sebuah buku ke beberapa kota di berbagai provinsi, antara lain ; Nabire (Papua), Samarinda, Berau (Kaltim), Kota Waringin, Sampit, Palangkaraya (Kalteng), Rejang Lebong (Bengkulu), Seputih Raman (Lampung), Cilegon (Banten) dan Deli Serdang (Sumut).
Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan kehidupan, pengalaman pribadi bahkan tentang nilai-nilai filosofis dalam keluarga, di mana pada masa-masa sekarang sangat penting kita kisahkan pada generasi milenial atau yang popular disebut generasi alpha saat ini. Sang penulis, membubuhkan tiga kata dalam sebuah kalimat yang menjadi judul buku tersebut. Sebuah judul yang tentu saja membuat sebagian orang akan mengerenyitkan dahi dengan berbagai macam asumsi dan persepsi akan makna dari judul buku tersebut.
“Menghianati Keputusan Sendiri”, bukan hanya sekedar judul, tetapi memiliki makna dengan nilai filosofis yang dalam.
“Menghianati”, berasal dari kata dasar khianat. Memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja sehingga mengkhianati dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Sebuah perbuatan tidak setia; tipu daya; perbuatan yang bertentangan dengan janji. Tentu saja, hal ini sangat erat hubungannya dengan komitmen dan Integritas seseorang. Mengapa sang penulis, mengambil keputusan tersebut..? Apakah yang menjadi latar belakang dalam penghianatan terhadap keputusannya sendiri..?
Ternyata, saya menemukannya dalam sebuah baris kalimat “Konsep Hidup manusia Utuh, BerIntegritas. Korelasi yang Hidup dan Menghidupkan” (5). Demikianlah, bahwa kita tidak hanya sekedar bisa hidup, tetapi juga mampu menghidupkan yang lainnya. Tidak hanya sekedar tumbuh, tetapi juga mampu menumbuhkan yang lainnya. Bahwa, kita bukan hanya mampu memperoleh, menerapkan bahkan memodifikasi ilmu pengetahuan yang kita miliki, tetapi juga punya kemampuan untuk berbagi dan menyampaikan pengetahuan tersebut kepada masyarakat lainnya. Karena hakikat sesungguhnya, Ilmu Pengetahuan tersebut bukanlah milik kita, tetapi milik Semesta Alam dan Illahi.
Kata kedua dalam judul buku tersebut adalah sebuah “Keputusan”. Keputusan berasal dari kata dasar putus, sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Keputusan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga keputusan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan (kbbi).
keputusan /ke·pu·tus·an/ antara lain dapat diartikan sebagai ; perihal yg berkaitan dengan putusan; segala putusan yg telah ditetapkan (sesudah dipertimbangkan), sebuah ketetapan; sikap terakhir (langkah yang harus dijalankan); kesimpulan (tentang pendapat).
Lazimnya, sebuah keputusan diambil atau ditentukan oleh seorang Pemimpin atau Leader. Baik sebagai pemimpin dalam lingkup terkecil, yaitu kepala keluarga, masyarakat (RT, RW), organisasi maupun Kepala Pemerintahan. Tentu sebuah Keputusan diambil, pasti melalui berbagai analisa dan pertimbangan, sehingga seorang pemimpin atau leader benar-benar memahami konsekuensi dan tanggungjawab dalam mengambil keputusan tersebut.
Sang penulis, Dr. Yansen T.P. M.Si., dalam buku ini juga berbagi tentang filosofi dan kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap insan manusia bila ingin sukses dan berprestasi dalam berbagai bidang, yaitu ; Tahu, Kerjakan dan Jadikan (51). Tiga hal kompetensi dasar ini juga dapat dijadikan sebuah role model dalam strata kepemimpinan keluarga, masyarakat, organisasi maupun pemerintahan.
Bagimana setiap pemimpin memiliki semangat dan motivasi untuk senatiasa ingin Tahu atau belajar, memperoleh informasi dan menempatkan staff mereka sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas tertentu. Lalu, dengan seluruh dasar pengetahuan tersebut diatas, mereka selayaknya mampu untuk melaksanakan proses kerja dalam tahapan berikutnya. Dimana proses tersebut bukan semata hanya bersifat individual, tetapi juga mampu mengelola dan mengorganisir dalam bentuk kerjasama tim. Selanjutnya, seorang pemimpin harus mampu menjadikan atau merealisasikan hasil akhir dari tahapan proses kerjanya, yaitu sebuah produk yang berkualitas dan sempurna.
Kata terakhir dari kalimat judul buku diatas adalah “Sendiri”. Sendiri adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Sendiri memiliki arti dalam kelas adjektiva atau kata sifat sehingga sendiri dapat mengubah kata benda atau kata ganti dan nomina atau kata benda, sehingga kata sendiri dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Dapat disimpulkan, sen·di·ri (adv) adalah seorang diri; tidak dengan orang lain: tidak dibantu (dipengaruhi) orang lain (kbbi).
Sendiri atau diri sendiri dapat kita analogikan sebagai pribadi (seseorang) yang berhubungan erat dengan tradisi dan budaya. Sejak seseorang dilahirkan, ia terlebih dahulu mengenal nilai-nilai tradisi dan budaya melalui keluarga. Dengan beriring waktu, sistem tatanan nilai-nilai tradisi dan budaya tersebut akan membentuk pola kebiasaan yang kemudian kita kenal dengan istilah karakter. Nilai-nilai tradisi dan budaya yang baik, pada akhirnya akan membentuk karakter yang baik pada diri seseorang.
“Tidak ada orang yang berubah, selain oleh usahanya sendiri. Perubahan terbaik hanya bisa dilakukan oleh dirinya sendiri” (38). Kalimat tersebut, memberikan kita pemahaman, bahwa potensi terbesar kita ada pada diri sendiri, bukan kondisi yang berada diluar dari diri kita. Sebagian besar orang, tanpa sadar seringkali menyalahkan aspek yang berada diluar dari diri atas permasalahan yang mereka alami.
Sang penulis (Dr. Yansen TP, M.Si) mengisahkan, bagaimana kegigihan orang tua beliau menanamkan semangat, etos kerja serta norma dalam tatanan nilai tradisi budaya yang baik dan benar. Tidak dapat kita pungkiri bahwa nilai tradisi dan budaya tersebutlah yang pada akhirnya terpolarisasi membentuk karakter beliau. Bahwa, karakter baik, unggul, gigih, pantang menyerah dibentuk sejak dini dalam lingkungan keluarga.
Demikianlah kalimat judul dari buku “Menghianati Keputusan Sendiri”. Sebuah kalimat judul yang mampu menjalin rangkaian kalimat-kalimat lainnya, dengan gambaran utuh perikehidupan yang aktual disertai dengan refleksi jati diri sesungguhnya. Ia mengisahkan tentang Komitmen, Integritas, Sifat Kepemimpinan serta pentingnya memiliki Karakter Baik dan Benar.
“Sebuah ikhtiar sederhana yang saya lakukan, tetapi strategis menjangkau orang tanpa batas sosial, waktu dan tempat”(150). Akhirnya, muara dari rangkaian kalimat yang membentuk ratusan halaman buku tersebut adalah kalimat diatas sebagai penutup tulisan saya. Bahwa, bagaimanapun baiknya nilai-nilai tradisi dan budaya yang melahirkan seorang Pemimpin yang memiliki Kharisma, Komitmen, Integritas serta Karakter yang Baik dan Benar, ia akan dilupakan oleh waktu jika tidak mampu mendistribusikan nilai-nilai tersebut dalam bentuk Catatan atau Tulisan (Buku).
Maka, “Menulislah Kawan”. Ia bukan hanya sekedar keahlian merangkai kata, tetapi juga merupakan sebuah ikhtiar atau tekad, bagian dari memberi, berdana, bersedekah dalam bentuk Ilmu Pengetahuan, Gagasan maupun Ide.
***