Literasi

Literasi sebagai Muatan Lokal

Sabtu, 7 Agustus 2021, 07:15 WIB
Dibaca 941
Literasi sebagai Muatan Lokal
Bincang literasi

Pepih Nugraha

Penulis senior

Tradisi kami berempat setiap kali bertemu "delapan mata" via WA videocall tidak lepas dari perbincangan hangat soal dunia literasi. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari buku apa yang sedang kami baca saat ini, draft buku apa yang sedang kami tulis, sampai membawa literasi menjadi muatan lokal atau ekstra kulikuler untuk SD, SMP hingga SMA.

Karena berbilang jarak, kami masing-masing mengembangkan diri di kegiatan literasi sesuai preferensi masing-masing, ibarat sebuah lomba tanpa aba-aba, juga tanpa wasit. 

Secara pribadi, misalnya, saya sedang membaca buku "Humankind" (De Meeste Mensen Deugen) karya penulis muda sejarah kontemporer Belanda, Rutger Bregman, yang menjungkirbalikkan anggapan bahwa manusia terlahir cenderung jahat pada hampir semua bangsa. Bagi penulis muda ini, semua manusia adalah baik dan penuh kebaikan.

Buku lain yang sedang saya baca "Origin Story" karya David Christian tentang asal-usul Semesta dan seisinya. Juga buku "Philosophy" dari Peter Gibson. 

Sedang dalam menulis buku, saya sedang merampungkan tiga buku nonfiksi: Proses Kreatif Menulis Biografi, Mengembangkan Proses Kreatif Menulis, dan Menulis Opini Kompas. 

Rekan kami bertiga lainnya tentu saja terbenam dalam kesibukan berliterasi masing-masing. Tetapi, begitulah cara kami terlibat (involve) dalam dunia literasi, kami saling bertukar informasi, saling menginspirasi dan menyemangati.

Baiklah, perbincangan kami berempat -saya bersama Pak Yansen TP Pak Masri Sareb Putra dan Kang Dodi Mawardi - saya sarikan sebagai berikut:

1. Penulisan buku sejarah Kalimantan Utara yang sedang kami garap (minus Pak Yansen) harus selesai tepat waktu setelah proses penggalian data, fakta, wawancara dan verifikasi kami lakukan. Memang penuh dinamika, menyusun sejarah ibarat menghadapi fragmen-fragmen berupa puzzle yang sedikit membingungkan. 

Namun, berbekal data yang kuat -primary and secondary sources- perlahan tapi pasti potongan puzzle itu sudah membentuk gambaran utuh. Banyak pelaku, banyak versi, tetapi itulah seni menyusun sejarah. Kebetulan salah satu anggota tim penulisan adalah Prof. Asvi Warman Adam dari LIPI. sehingga kami banyak terbantu dari sisi historiografi dan metode penyusunan sejarah.

2. Pak Yansen sendiri saat ini telah menyelesaikan buku "memoar politik" yang naskahnya sedang kami bertiga sunting. Saya pribadi menilai buku ini lebih menekankan kepada "pendidikan politik" dengan tagline "jangan takut berpolitik", "politik itu baik" dan "berani mengambil keputusan adalah ruh politik".

Sebagai penyunting buku, kami bertiga membaca saling bergantian. Bukan sekedar mengoreksi salah huruf, salah kata atau salah susunan kalimat, melainkan masuk ke ranah logika berpikir dan narasi yang disampaikannya, sehingga kelak pembaca tidak bosan mengikutinya.

Dalam buku yang ditulisnya, Pak Yansen menekankan pentingnya keberanian seorang pemimpin dalam mengambil keputusan, tidak peduli harus mengkhianati keputusan sendiri jika itu untuk kepentingan orang banyak yang lebih besar manfaatnya. 

Untuk itulah ketika sampai pada pencapaiannya seperti sekarang ini sebagai wakil gubernur Kaltara, hal itu tidak terlepas dari keberaniannya mengambil keputusan. Politik ternyata seni mengambil keputusan!

Ada dua pendekatan yang disampaikan Pak Yansen dalam buku yang ditulisnya:

Pertama pendekatan idea dan kedua, pendekatan pragmatis-praxis. 

Dalam pendekatan ide, tercermin sejumlah gagasan besar yang tidak berhenti pada sebatas cita-cita, tetapi bagaimana mewujudkannya. Lalu bagaimana ide berpolitik diambil dari orang-orang besar khususnya ayahanda sendiri, Tipa Padan, negarawan seperti Mahatma Gandhi, Niccolo Machiavelli atau Gus Dur. 

Pak Yansen tidak ragu belajar dari karakter baik para Presiden RI -dari Soekarno sampai Joko Widodo- agar bisa disampaikannya kepada generasi berikut yang membaca bukunya. Sebagai petinggi Demokrat, Pak Yansen juga menulis tentang SBY dan AHY dari sudut pandang pribadinya.

Kedua pendekatan pragmatis-praxis, bagaimana Pak Yansen mengejawantahkan ide dan cita-cutanya dalam sikap serta perbuatan politik praktis. Ia tidak keberatan disebut sebagai politikus karena memang pengurus partai politik, meski peran yang menonjol saat inil adalah birokrasinya selaku wakil gubernur Kaltara.

3. Gagasan yang tak kalah menarik adalah memasukkan literasi sebagai bagian dari kurikulum atau ekstra kulikuler di tingkat SD, SMP sampai SMA. 

Di level SD bagaimana menghidupkan "story hour" atau jam-jam bercerita bagi siswa, misalnya, di mana guru membacakan sejumlah buku lalu menghentikan cerita sampai siswa penasaran, guru kemudian mengarahkan siswa agar melanjutkan bacaannya. Di tingkat SD pula siswa diminta mengarang cerita, fabel sampai pengalaman berlibur dan mengajak siswa ke perpustakaan.

Literasi di SMP lebih meningkat lagi. Siswa diminta untuk membaca buku-buku karya pengarang besar, membuat resume, abstraksi atau sinopsisnya. Mereka diperkenalkan pada gaya bahasa dan sastra. Sedangkan di level SMA siswa harus membaca buku novel, membuat cerpen, drama atau skenario film. Produk literasi berupa drama dan film pendek.

Terhadap gagasan ini, Pak Yansen menyambut baik dan jika hal itu bisa dilakukan di daerah yang dipimpinnya (Kaltara) akan menjadi terobosan dan "role model" literasi yang mencerdaskan serta membuat siswa berpikir dalam. Tidak malas berpikir lagi.

Sebagaimana niat Presiden Joko Widodo yang bertekad membangun Indonesia dari pinggiran, semangat itulah yang diadopsi Pak Yansen, membangun literasi Indonesia dari pinggiran.

Demikianlah kalau pertemuan "delapan mata" terjadi, selalu ada hikmah yang diambil dan sejumlah gagasan yang siap diimplementasikan, khususnya terkait dunia literasi.

Ada satu kelemahan diskusi jarak jauh lewat WA videocall ini, kami tidak bisa menikmati kopi-susu Malinau yang sulit dijelaskan enaknya dengan kata-kata, meski kami adalah "pabrik" kata-kata.

***