Literasi

Tantangan Pekerja Baru di Ibu Kota

Sabtu, 26 Juni 2021, 08:57 WIB
Dibaca 960
Tantangan Pekerja Baru di Ibu Kota
dokpri

Hari itu langit cerah. Tepatnya panas terik matahari mengiringi langkahku menuju kantor. Ini hari pertamaku bekerja. Untuk sampai di kantor aku memilih menggunakan transportasi umum. Jarak yang lumayan jauh dari tempat tinggalku.

Sepanjang perjalanan aku berdoa dengan segala keputusan yang aku ambil ini. Kupandangi langit yang penuh bulir-bulir bintang gemerlap. Pemandangan yang menggelitik dan menarik perhatianku.

Baru sehari lalu memutuskan untuk menerima job di kota ini. Kota yang penuh kesibukan. Aktivitas tinggi. Jejeran perumahan elite, gedung yang menjulang tinggi membuat ku tak pernah berhenti bersyukur atas keputusan ku yang super kilat ini.

Aku percaya rezeki, maut dan jodoh pasti akan menghampiri sepanjang kita punya harapan. Tak lupa iringan doa orangtua yang terus mengalir.

Semua berawal ketika aku mendapat tawaran job (pekerjaan) di luar kota untuk beberapa bulan. Namun, saya menunggu 2 minggu untuk mendapat kepastian. Aku menunggu sampai hampir lupa. Maklum sebagai mahasiswi Pascasarjana, aku lebih fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah dan persiapan tesis.

Ditengah-tengah mengerjakan koreksi bimbingan tesis ku, handphone ku berdering beberapa kali tapi aku lewatkan begitu saja. Setelah saya sadar ada deringan panggilan masuk saya menekan tombol hijau “Hallo Senior”.

“Pekerjaan yang kemarin saya maksudkan 2 minggu lalu, kamu masuk team ya’ nanti kamu akan di mentorin oleh Mba NA, besok sudah masuk kantor ya paling lambat pukul 08.00 sudah dikantor”, kata senior.

Namun aku masih ragu, hingga beberapa kali bertanya untuk memastikan informasi yang kuterima benar.

Secepatnya bersama seorang teman kuliah, kami bergegas menghadap Kaprodi. Kesempatan ini tak boleh lewat. Kami harus mendapat ijin dari kampus.

Tiket kami pesan. Kami dapat penerbangan terakhir malam itu. Pukul 20.45. Flight dengan maskapai Lion Air.

“Nanti kamu di sana bagaimana? Siapa yang jemput? Tinggal dimana? Kalo gak ke rumah mamaku saja,” rentetan pertanyaan dan dukungan seorang teman.

“Aman! aku sudah kontak kakak ku di sana, nanti aku tinggal di sana sampai pekerjaan ku selesai,” jawabku.

Sungguh aku terharu. Bertekad.

Dia mengantar ku ke bandara Supadio Pontianak. Kita berdua berpelukan dan saling beri support.

“Hati-hati Aurel, nanti kalo datang lagi kontak aku ya,” ucapnya,

“iya, makasih say sudah aku repotkan dan aku pasti akan merepotkan kamu lagi,” jawabku. Tak lupa kami sempatkan berselfie bareng.

Sepanjang perjalanan aku berdoa dengan segala keputusan yang aku ambil ini. Kupandangi langit yang penuh bulir-bulir bintang gemerlap. Pemandangan yang menggelitik dan menarik perhatianku.

Berkali-kali bahkan puluhan kali aku tarik lalu mengehembuskan napas gusar hingga kasar, menutupi raguku. Sungguh ini rasanya perjalanan paling panjang yang pernah ku lalui. Semua rasa membuncah menjadi sendu. Kristal mengalir dipelupuk mata, tatkala dadaku sesak akan rasa syukurku.

Setelah sepanjang perjalanan bergumul dengan rasa, akhirnya tiba dengan masih berkali-kali hembusan dan tarikan napas panjang. Dalam hati aku berkata “Sudah sampai, artinya siap berjuang”. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku.

***