Literasi

Anton Medan - Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana

Kamis, 5 September 2024, 17:15 WIB
Dibaca 49
Anton Medan - Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana
Buku Anton Medan

Judul: Anton Medan – Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana

Penulis: S. Budhi Raharjo

Tahun Terbit: 1997

Penerbit: Pustaka Firdaus

Tebal:xvi + 145 + halaman foto

ISBN: 979-541-0909-3

 

”Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana” adalah buku yang mengisahkan tentang perjalanan hidup Anton Medan. Sayang saya hanya mempunyai episode II. Episode I dari karya S. Budhi Raharjo belum saya miliki. Episode I berjudul ”Aku Bukan Penjahat.” Biografi Anton Medan yang disusun oleh S. Budhi Raharjo ini semuanya ada lima episode.

Ini adalah buku kedua yang saya baca tentang Anton Medan. Buku pertama tentang Anton Medan yang saya baca berjudul ”Revolusi Kaum Napi” (https://www.indonesiana.id/read/155695/revolusi-kaum-napi-perjalanan-hidup-anton-medan-dari-seorang-kriminal-menjadi-pendakwah). Isi dari kedua buku ini tidak berbeda. Sebab keduanya ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Anton Medan. Jika buku pertama yang saya baca dituturkan secara naratif, buku kedua ini memakai penuturan orang pertama.

Pemilihan Budhi Raharjo untuk menggunakan penuturan sebagai orang pertama membuat nuansa pergolakan jiwa Anton Medan bisa terwujud dengan lebih kuat. Sebab ungkapan-ungkapan yang menggambarkan suasana batin bisa muncul untuk mewakili gejolak dalam jiwanya.

Buku kedua ini mengambil rentang masa hidup Anton Medan dari umur 17 tahun sampai dengan usianya 21 tahun. Episode dimana Anton Medan mulai merantau ke Jakarta untuk mencari pamannya sampai ia menjadi seorang penjahat.

Anton Medan menuturkan bahwa ia merasa ditolak oleh keluarga dan masyarakat saat keluar dari penjara dalam umur 17 tahun. Merasa bahwa ia tidak lagi dianggap di Medan, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ia berharap bahwa ia bisa memperbaiki kehidupannya dengan membantu paman yang pernah mencintainya. Ia tahu bahwa pamannya mempunyai usaha restoran.

Perjalanan dari Medan ke Jakarta dilalui dengan tidak mudah. Ia menumpang kapal secara gratis ke Jakarta. Saat kapal besar yang ditumpangi sampai di Tanjung Priok, ternyata kapalnya tidak bisa bersandar. Kapal besar tersebut harus ditarik oleh kapal kecil tetapi kuat. Melihat kejadian kapal kecil yang menarik kapal besar, Anton Medan mengungkapkan perasaannya dengan: ” Ahai, diriku. Akan jadi seperti apakah aku kelak? Akan jadi kapal besar yang gagah, yang megah, yang perkasa, tetapi tidak mampu merapat ke dermaga sendiri? Ataukah aku jadi kapal kecil yang kumuh namun kuat itu, kapal kecil yang telah membantu merapatkan kapal besar itu?”

Upayanya untuk menemukan rumah pamannya juga tidak mudah. Bahkan ia harus mengalami banyak kesukaran. Sebab ia tidak tahu alamat tepat rumah sang paman. Ia hanya tahu bahwa pamannya tinggal di Mangga Besar. Ia tidak paham bahwa Mangga Besar adalah sebuah wilayah yang sangat luas. Upaya untuk mencari tempat tinggal pamannya harus dilalui dengan kelaparan dan tidur di emperan toko. Dari perjuangan mencari alamat pamannya inilah Anton Medan berkenalan dan tahu bagaimana kehidupan orang miskin di Jakarta. Bajkan dia sendiri hidup sebagai gelandangan.

Betapa gembiranya saat akhirnya ia bisa bertemu dengan sang paman. Namun apa daya. Ternyata pamannya tidak mau menerima Anton Medan sebagai anggota keluarganya. Sang paman malah mengusir Anton Medan yang sudah susah payah berlayar dari Medan ke Jakarta dan harus hidup menggelandang demi menemukan alamat sang paman.

Penolakan dari sang paman membuat Anto Medan kembali kekehidupan menggelandang. Ia merasa terhina, terluka dan tidak dihargai. Tapi untunglah dalam kondisi yang serba marah dan terhina, Anton Medan bertemu dengan penjual kopi yang mengasihinya.

Anton Medan mengenal dunia kriminal Jakarta sejak ia berumur 18 tahun. Saat itu ia bertemu dengan Slamet, seorang kawan kerjanya di kedai kopi. Slamet yang keluar dari penjara bertemu dengan Anton Medan. Sejak itulah Anton Medan mulai mengenal dunia hitam Jakarta. Mula-mula ia merampok encim-encim yang pulang dari sembahyang di kelenteng Petak Sembilan.

Anton Medan sempat menjadi montir dan mempunyai calon istri. Ia sudah hidup baik. Namun saat ia pulang ke Medan karena menjemput orangtuanya guna melamar kekasihnya, ia terlibat perkelahian dengan geng yang mengeroyok abangnya. Anton Medan menusuk salah satu anggota geng. Anton Medan kembali menjadi buron yang berwajib. Ia menyerahkan diri dengan syarat abang dan kelompoknya dibebaskan dari tahanan polisi. Ia kembali masuk penjara.

Setelah 3 bulan mendekam di penjara, Anton Medan melarikan diri. Ia kembali ke Jakarta. Ia kembali ke kehidupan sebagai preman. Ia menjadi kaya karena pekerjaannya sebagai preman. Bahkan ia bisa hidup mewah di Puncak. 858