Batu Ruyud Writing Camp: Panggilan Menjaga Warisan
Menjadi Salah satu peserta Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) 2022 merupakan sesuatu yang tak pernah terbayangkan, bagaimana tidak saya yang baru memulai bergiat di literasi mendapat kesempatan langka ini.
Apa yang saat ini saya kerjakan lebih cocok disebut MERINTIS. Memulai sesuatu seakan membabat hutan rimba tapi bagaimanapun harus dimulai.
Sebagai pegiat literasi pemula saya pun mendorong dan meluangkan waktu untuk membangun komunitas baru yang bahkan belum tersentuh.
Untuk itu, Batu Ruyud Writing Camp 2022 jadi kesempatan yang sangat berharga. Banyak ilmu berharga yang saya akan baik dari para mentor maupun peserta lainnya. Bekal yang akan menolong saya untuk merintis jalan mengembangkan literasi.
Ada dua hal penting yang menjadi perenungan saya dalam acara ini. Pertama, tonggak sejarah dimulai di Batu Ruyud. Kedua, menjaga warisan.
Sebuah gerakan literasi yang akan mewarnai pengembangan literasi tanah air. Batu Ruyud menjadi simbol sekaligus prasasti tonggak sejarah menandai kemajuan, bidang literasi.
Sementara bagian kedua yang tentu memiliki makna sebuah kebanggaan tetapi juga tantangan. Ini bukanlah perkara yang mudah. Dengan tantangan yang menanti spirit Batu Ruyud akan menjadi energi yang luar biasa.
Warisan itu adalah semangat literasi. Budaya lisan akan menjadi tulisan. Terus menggelorakan, menggerakan literasi di mana pun berada. Juga untuk mengembangkan literasi di komunitas masing-masing.
Dari sudut lain semacam panggilan pribadi tiba-tiba menyeruak. Sekaligus mengkonfirmasi apa yang sementara saya usahakan untuk mendorong kesadaran menulis terutama untuk keluarga di Uud Danum. Meski baru, tapi sudah mulai terbentuk kelompok kecil.
Tahun 2014 silam dalam sebuah momen perjalanan hidup saya sampai pada salah daerah pedalaman di Kalimantan Barat, disana bermukim penduduk asli suku Dayak Uud Danum. Danum berarti air, jadi Uud Danum secara sederhana berarti tempat air pertama menetes.
Dengan mata sendiri saya menyaksikan apa yang tak pernah saya lihat selama ini.
Perjalanan yang tidak mudah untuk sampai di kecamatan paling pedalaman di Kalbar. Melewati sungai kurang 12 jam menaiki speedboat. Berangkat pukul 07.00 WIB dan sampai pukul 18.00 WIB dengan singgah istirahat 1 jam. Itu barulah sampai di kota kecamatan sementara ke desa tujuan harus ditempuh dengan 3-4 jam lagi menggunakan sampan.
Sepanjang perjalanan nampak pemandangan yang luar biasa. Alam ciptaan-Nya sungguh luar biasa. Selama 15 hari saya di sana banyak mendengar, melihat, dan mengamati. Tak hentinya saya berdecak kagum, "mereka sungguh kaya, " gumamku.
Tapi mungkin mereka tak menyadari itu, maklum bagi mereka semua itu hal biasa. Tak demikian dengan saya yang baru melihat. Bahkan hal sepele buat mereka, alat dapur misalnya. Keunikan, cara mereka berpikir, orisinil. Masih sangat mungkin menggali asal-asul dan sumber-sumber primer.
Dengan pengalaman di atas, sekilas saya menangkap kenapa BRWC 2022 dilaksanakan di tempat - pedalaman. Orisinil. Keaslian yang tak boleh tercemar harus diwariskan. Bagi mereka, penduduk asli itu biasa. Bagi kita orang luar itu luar biasa.
Dan itu kekayaan bangsa ini. Indonesia yang kaya, sungguh kaya. Biar saudara sebangsa di daerah lain melihat. Lebih dari yang dipikirkan atau bayangkan. Lihat Batu Ruyud-Krayan, lihat Indonesia.
Saya sungguh bersyukur bahwa BRWC 2022 akan menjadi bekal luar biasa untuk membangun budaya literasi, baik di tempat saat saya bekerja sebagai bidang pengembangan literasi maupun di tempat lain.