Literasi

Segenggam Cerita Ngaji Literasi di Palembang (2)

Selasa, 23 Agustus 2022, 10:18 WIB
Dibaca 463
Segenggam Cerita Ngaji Literasi di Palembang (2)
Dok pribadi (foto Hedi)

Dodi Mawardi

Penulis senior

 

“17 Agustus 1945, itulah hari Kemerdekaan kita…” lagu wajib setiap 17 Agustus menggema di kompleks Sekolah Unggul Islam Al Fahd Jln. Mayjen Noerdin Pandji, Plaju Darat, Kec. Plaju, Kota Palembang. Kami, rombongan dari Jakarta dan manajemen toko buku Gramedia Siburian Palembang, hadir sebagai tamu undangan.

 

Jalannya upacara yang diawaki oleh para siswa SMA tersebut, mengingatkan saya pada rutinitas upacara di SMA Taruna Nusantara Magelang, tempat selama tiga tahun menempa diri. Derap langkah kaki paskibraka membawa kembali kenangan itu. Meski sudah lewat sekitar 30 tahun yang lalu.

 

Meski bukan undangan dari Istana Negara, cukuplah bagi saya mengenang jasa para pahlawan bangsa yang memerdekakan bangsa ini. Anak-anak muda generasi penerus bangsa di sekolah ini (level SD – SMA) menunjukkan optimisme dalam diri, bahwa negeri ini masih punya harapan besar untuk mencapai tujuan nasionalnya.

 

Setelah upacara selesai, ratusan siswa SMP dan SMA Unggul Al Fahd berkumpul di aula yang bisa menampung sekitar 500 orang. Mereka duduk lesehan. Sebelah kanan panggung duduk siswa putra, dan sebelah kiri panggung siswa putri. Suara mereka seperti lebah… semoga kelak menyengat dengan penuh semangat membangun bangsanya. Mereka sejenak senyap dan kemudian kompak menyanyikan lagu 17 Agustus yang diiringi oleh alat musik rebana. Suasana kemerdekaan kembali menggema.

 

Pembicara dalam acara ini, seorang penulis muda penuh talenta dan inspiratif Mohd. Adrizal. Dosen di Universitas Jambi ini sudah menelurkan beberapa buku di Quanta, antara lain “Untuk Seseorang yang Tertulis di Lauhul Mahfuz” dan “Cinta Di Bait Doa”. Suara penuh semangat dan lantangnya mampu menghipnotis para siswa.

 

Sebagian besar siswa terlihat sangat antusias. Pada sesi bertanya, mereka dengan semangat mengajukan pertanyaan. Lagi-lagi, semangat para siswa itu meyakinkan saya, bahwa masa depan bangsa ini, amat cerah!

 

---------

 

“Kindly all participant, please to stand up to sing Indonesian Anthem, Indonesia Raya…”

Dua pembawa acara dengan suara penuh percaya diri memberi aba-aba untuk menyanyikan lagu kebangsaan, mengawali acara Workhshop Penulisan “Seperti Al Ghazali, Kenapa Santri Wajib Menulis.”

 

Bulu kuduk saya merinding menyanyikan lagu tersebut di hadapan ratusan santri kelas 11 dan 12, Pesantren Al Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan. Saya lihat wajah-wajah generasi muda bangsa ini yang penuh optimisme menyongsong masa depan mereka dan bangsanya. Saya teringat, sepenggal kalimat Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

 

Perjuangan kita dan generasi mendatang memang akan semakin tidak mudah. Tapi, melihat semangat para santri ini, saya optimistis dengan masa depan bangsa ini.

 

Al Ittifaqiah bukan pesantren sembarangan. Mereka mendapatkan prestasi luar biasa sebagai pesantren terbaik di Sumatera Selatan. Al Ittifaqiah yang berdiri sejak 1967 ini juga termasuk dalam 20 pesantren paling berpengaruh di Indonesia. Bukan prestasi kaleng-kaleng, karena se-Indonesia terdapat sekitar 27.000 pesantren. Jumlah santri mereka tidak kurang dari 6.000 orang.

 

Mereka memiliki sekolah setara SD, SMP, SMA dan bahkan perguruan tinggi. Sebagian besar siswa mondok. Sarana dan prasarana yang mereka miliki sangat memadai. Bahkan, sudah memiliki stasiun televisi dan radio sendiri (Frekuensi 93 FM). Pada 2021 lalu, stasiun radio ini mendapatkan penghargaan siaran terbaik selama Ramadhan dari KPID Ogan Ilir.

 

Saya mengisi dua sesi sekaligus. Pagi di hadapan sekitar 300 santri putri dan siang di depan sekitar 150 santri putra. Mereka kelas 11 dan 12 Madrasah Aliyah. Panitia dari Gramedia dan Pesantren meminta saya untuk memberikan motivasi agar mereka mau menulis dan membaca. Jadi, meski namanya workshop, sebenarnya tidak murni demikian. Sesi work-nya minim karena lebih banyak melecut mereka agar punya motivasi khusus untuk menulis (dan membaca), sebagaimana perintah perintah pertama Allah Swt., “IQRO”.

 

Alhamdulilah, para santri sangat antusias mengikuti kelas ini. Pada akhir sesi, jumlah penanya melebihi jumlah hadiah buku yang disediakan panitia. Tampaknya, mereka terbakar oleh kalimat-kalimat yang saya tampilkan seperti, “Kalau bukan anak penguasa atau ulama besar, menulislah” (Al Ghazali). Atau, “Menuntut ilmu itu seperti menangkap hewan buruan, tali ikatannya adalah menuliskannya” (Imam Syafii), dan beberapa kalimat lainnya.

 

---------------

 

Setelah selesai acara di Al Ittifaqiah, kami langsung kembali ke Jakarta melalui jalan darat. Sensasi menikmati jalan tol di sore memunggungi matahari, sungguh berbeda dibanding ketika berangkat. Pun rasa hati ketika menaiki kapal fery dari Bakauheni ke Merak pas di tengah malam. Sungguh, pengalaman tiga hari berliterasi yang sangat menyenangkan.

 

Ombak lautan terasa lebih lincah…

Lewat dini hari, kami merapat di Merak.

Saya pun kemudian terlelap. Bermimpi banyak santri menulis buku.

Tahu-tahu, si sejuta umat sudah tiba di parkiran gedung Gramedia.

Sampai jumpa pada Ngaji Literasi selanjutnya.