Batu Ruyud Writing Camp | Varuna-dvipa, Nama sebelum Borneo (17)
Pada narasi sebelumnya, saya memperkenalkan:
Bahwa jauh sebelum para pelancong serta antropolog barat memberi nama "Borneo" pada catatan harian mereka bagi pulau terbesar ketiga dunia, dengan luas 743.330 km². Sesungguhnyalah para penulis, munsyi, empu Hindu-India telah menandai. Sekaligus memberi julukan "Varuna-dvipa" untuk menyebut Kalimantan. Karena wilayah kaya-air itu melimpah intan permata, zamrud khatulistiwa. Suatu pulau yang diberkati serta dilindungi dewa-air. Melimpah, tapi tidak dicelakakan air-bah!
Jika boleh jujur. Banyak di antara kita yang gendang telinganya masih asing mendengar “Varuna-dvipa”. Istilah apa pula ini gerangan? Menjadi judul topik narasi ini pula? Tidakkah ini mengada-ada, bahkan mislead?
Setelah mempertimbangkannya lama, dengan kepala dingin, serta mencermati footnotes dan senarai pustaka –terutama pustaka yang membahas era kemaharajaan, feudatori serta pengaruh Hindu-India di Nusantara, maka hati penulis berketetapan untuk dengan sengaja memasukkan alias nama pulau terbesar ketiga dunia itu menjadi topik literasi, yang wajib kita perbincangkan secara ilmiah. Dengan, tentu saja, mengajukan bukti-bukti. Argumen akademik, saling silang yang berani, dan harus bisa, untuk diverifikasi.
Selain agar khalayak tercelik bahwa sebelum Borneo ada nama lain bagi Kalimantan, juga bertujuan untuk “mengikat” dalam satu kesatuan yang utuh: Bagaimana prasasti pertama di Borneo menjadi tonggak sejarah dan bagaimana peradaban dan budaya sukubangsa penghuni aslinya berdinamika dari masa ke masa.
Dalam teks-teks Hindu-India kuna itulah, untuk menyebut nama-nama pulau dan tempat, Borneo/Kalimantan disebut: Varuna-dvipa.
Apa yang menjadi daya tarik orang Hindu-India, sedemikian rupa, sehingga tiba di pulau yang mereka sebut "Varuna-Dvipa?" - nama Kalimantan pada awal mulanya?
Setelah membaca pustaka primer, saya menemukan jawaban: mula-mulanya karena berdagang. Sementara penyebaran agama (Hindu), bukan tujuan utama, melainkan boleh dibilang sebagai "unintended consequences" dari berdagang itu.
Kemudian, karena merasa nyaman, baru menjadi dipengaruhi oleh faktor politik Gupta. Pustaka yang mendukung jawaban itu, dapat membaca: The Early Voyagers of the East The Rise of Maritime Trade of the Kalingas in Ancient India. Volume 1. 2003. Penerbit: Pratibhā Prakāśana. Di situ tertulis,
"As indicated in the folk - tales of Orissa , the worship of seagod 'Varuna ' was a must for sea - faring people before ... An island , located in the Chilka lake , close to its opening into the sea , is called ' Varuna dvipa ' (hlm. 230).
Untuk memberi nama feudatori kemaharajaan Gupta, wilayah-wilayah feudatori, khususnya Nusantara dan sekitarnya, diberi nama dengan sangat indah. Misalnya,
Nagadvipa=Nicobars (Nakkavara in Cola inscriptions)
Tamraparni= Ceylon
Varuna-dvipa = Borneo
Malaya-dvipa = Kaseruman.
Ditengarai bahwa setelah raja Kudungga yang diketahui penguasa lokal di Muara Kaman dan sekitarnya, putranya Mulawarman sudah dipengaruhi feudatori dari kemaharajaan Gupta. Seperti kita ketahui bahwa Sri Gupta adalah pendiri Dinasti Gupta. Memerintah dari 240 M hingga 280 M. Menggunakan gelar 'Maharaja'. Maharaja terakhir: Wisnugupta. Penguasa terakhir Dinasti Gupta (540 M – 550 M).
Gupta mendirikan kekuasaan dan kemaharajaan atas dataran subur Madhyadesha, juga dikenal sebagai Anuganga (cekungan Gangga tengah), Saketa (UP Ayodhya), Prayag (U.P) dan Magadha (terutama Bihar).
Nah, dalam teks-teks Hindu-India kuna itulah, untuk menyebut nama-nama pulau dan tempat, Borneo/Kalimantan disebut: Varuna-dvipa.
Jika demikian, dilihat dari waktu-kronologis (tempus fugit), maka masuk akallah bahwa penundukan, feudatori, atau pengaruh peng-Hinduan-India, di Nusantara dan khususnya Varuna-dvipa dalam rangka perluasan wilayah kemaharajaan serta menambah kemulaian keagungan dinasti Gupta.
Apa yang dapat kita diskusikan dari narasi ini?
(bersambung pada tulisan berikutnya: Literasi: Makes Borneo Great Again!)