Catatan BRWC 2022 (8): Menanti Kehadiran Negara
Menara Telkomsel sudah menancap di Binuang sejak 2016, tetapi belum juga berfungsi hingga sekarang. “Proyek mangkrak. Hanya besi tua yang nggak berguna,” kata Lio. “Masyarakat mengandalkan jaringan Telkomsel dari Long Padi dan Ba’ Liku. Jaringannya hanya sampai di tempat Pak Kalvin (Penginapan Rain Forest), tempat kita biasa minum di depan. Kalau di dapur sudah nggak ada jaringan.”
Untuk kantor desa dan SMP Negeri 1, pemerintah menyediakan fasilitas VSAT (Very Small Aperture Terminal). Warga dapat ikut mengaksesnya, antara lain sambil nongkrong di Gayam Mural, kafe milik Frand yang berada di dekat kantor desa. Berkat akses internet itu, cepatlah bocah di sini ikut menyanyikan Aja Dibandingke, lagu Farel Prayoga yang viral itu.
Namun, di sini belum ada kantor pos, yang terdekat ada di Long Bawan. Belum ada Puskemas, baru ada Pustu (Puskesmas Pembantu). Sekolah juga baru tersedia hingga jenjang SMP. Mereka yang ingin melanjutkan ke SMA mau tak mau mesti meninggalkan Binuang. Perpustakaan ada di sekolah, tetapi tampaknya dengan koleksi buku yang kurang menggembirakan dan kurang membangkitkan minat baca. PLN juga belum menerangi wilayah ini, penduduk menggunakan genset solar atau panil surya untuk menikmati aliran dan terang listrik.
Kesenjangan dan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, misalnya, terjadi akibat kebijakan pukul rata pemerintah. “Perpustakaan belum memadai karena kemampuan sekolah terbatas. Dana BOS sama dari Jakarta sampai Binuang, padahal kondisi di sini berbeda. Ini 'kan tidak adil,” kata Gat Khaleb.
“Dana 100 ribu di Jakarta bisa untuk membeli dua rim kertas, di Binuang satu rim saja tidak cukup. Mestinya BOS di sini paling tidak 300-400 ribu. Selain itu, dana BOS itu sebagian besar habis untuk menggaji tenaga guru honorer. Di setiap sekolah, guru negeri hanya sebanyak 2-4 orang.”
Dalam hubungan dengan negara, kita kerap mengutip ucapan John F. Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu; tanyakan apa yang kauberikan kepada negara.” Bagi warga Krayan Tengah, pertanyaan itu berlaku sebaliknya. Merah-Putih hadir melekat kuat dan berkibar berkelebat di hati mereka. Kapan negara sungguh-sungguh hadir bagi mereka?
W.E.B. Du Bois, pakar sosiologi dan aktivis hak-hak sipil warga kulit hitam Amerika Serikat, mengungkapkan, “Kita seharusnya mengukur kemakmuran suatu bangsa bukan dari jumlah miliardernya, melainkan dari tiadanya kemiskinan, ketersediaan secara meluas sarana dan prasarana kesehatan, efisiensi sekolah umum, dan jumlah orang yang dapat [dan] sungguh-sungguh membaca buku-buku yang layak.” Du Bois rupanya memasukkan praktik literasi sebagai salah satu unsur pembentuk kemakmuran suatu bangsa.
Kiranya pembangunan jalan Malinau ke perbatasan menjadi langkah awal kehadiran negara yang lebih nyata dalam mewujudkan kemakmuran Krayan. Tentu saja, bukan kehadiran yang mengusik nilai-nilai kearifan lokal seperti saat negara menata ruma kadang. Biarlah warga Dayak Lundayeh dapat menikmati kemajuan pembangunan tanpa tercerabut dari tradisi lokal dan nilai-nilai budaya yang merupakan daya hidup mereka. Buuuiii… buuuiii… buuuiii…! ***
(Selesai)