Literasi

Batu Ruyud Writing Camp | Terbakar Api Literasi Tjilik Riwut (5)

Senin, 25 Juli 2022, 10:20 WIB
Dibaca 487
Batu Ruyud Writing Camp | Terbakar Api Literasi Tjilik Riwut (5)
Profil Dr. Yansen TP, M.Si. di buku tonggak-sejarah Dayak, jilid 2.

Waktu remaja. Saya suka nonton film MacGyver. Yang saya kagumi adalah: pas waktu diperlukan, ada saja akalnya muncul. Atau tiba-tiba saja tergeletak alat di sekitar yang diperlukan si Gyver untuk menyelesaikan, atau keluar dari persoalan.

Timbul niat dalam hati saya: suatu hari kelak. Saya ingin seperti Gyver. Pas perlu apa-apa, tersedia. Hidup yang serbapas, bukan pas-pasan. Betapa sedapnya!

Koinsidensia. Kebetulan belaka. Pas timing-nya. Indah pada waktunya.

Percayakah Anda dengan "kebetulan"?

Saya tidak. Di luar "takdir", atau iman bahwa hidup kita Ada Yang Mengatur. Sebenarnya, kita bisa strategikan apa pun itu untuk mencapai tujuan. Tapi memang yang namanya "timing" juga benar. Itulah yang membuat seorang penyerang "offside" Inzaghi, selalu berada di ruang tembak. Ia selalu menunggu timing tepat untuk melesakkan gol.

Perjumpaan saya dengan Dr. Yansen TP bisa jadi seperti itu. Terjadi pada saat tepat. Ketika pada 2015, saya menyusun buku 101 Tokoh Dayak, jilid 2. Ada 10 kriteria tokoh yang harus masuk. Yansen terdeteksi sebagai "sangat" memenuhi kriteria.

Pertama, karena publikasinya yang berbagai dan berserakan di jagad digital.
Kedua, dia Doktor.
Ketiga, dia tokoh masyarakat (Bupati Malinau).
Keempat, dia Ketua Umum Persekutuan Dayak Lundayeh (PDL).
Kelima, ini yang membedakannya dengan tokoh Dayak lain. Yansen terdeteksi sebagai pegiat literasi. Utamanya di Kalimantan Utara, namun kemudian menasional.

Kami intens berkomunikasi untuk narasi profilnya di buku saya itu. Yansen mengoreksi akurasi dan presisi data dan informasi di dalamnya. Termasuk yang terpanjang narasi profilnya dibanding tokoh lain: 7 halaman. Profilnya ada di halaman 202-209.

Narasi tentang Dayak dahulu, kini, dan masa datang sungguh berbeda. Di mana letak perbedaannya? Pokok pangkal perbedaannya terletak pada sudut pandang dan citra yang ditampilkan dan yang sekaligus dibangun.

"Dayak  menulis dari dalam" merupakan moto Penerbit saya: Lembaga Literasi Dayak. Namun, ketika hal itu saya kenalkan kepada Yansen. Ia setuju. Bahkan, bara api semangat literasinya terpantik lebih dari saya.

Membaca buku-buku karya penulis dan antropolog asing (barat), tentang Borneo dan penduduknya di masa lalu. Kita menemukan narasi serbamiring. Tentang kekurangan sandang, pangan, pa­pan yang serba-minim dan tidak layak, tingkat kesehatan yang buruk, sarana transportasi yang sangat sulit hanya melalui jalur air. Juga tentang pendidikan yang terbelakang, kualitas manusia di bawah rata-rata, miskin, tinggal di pemukiman yang jauh dari standar kebersihan dan kesehatan, pekerja yang tidak terampil, manusia yang pemalas, hanya menyebut etnis Dayak di Borneo, serta peradaban yang dilukiskan masih perlu bela­jar dari negeri asal para penulis.

Sekali lagi. Itu adalah citraan, atau penggambaran Dayak di masa lalu oleh para pelancong, penjelajah, peneliti, dan penulis asing. Namun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman, penggambaran di masa lalu itu, telah berubah sama sekali. 

Citraan yang dibangun tentang Dayak, telah berubah. Sebagian besar tidak sesuai lagi dengan fakta. Misalnya, citraan tentang Dayak yang “tidak terdidik”, “terbelakang”, “miskin” kini  tidak lagi sesuai dengan fakta.

Nyatanya, semakin hari jumlah Dayak terdidik semakin bertambah. Tercatat tidak kurang dari 35 profesor, puluhan bergelar Doktor, ratusan master, ribuan sarjana. Ini salah satu contoh bahwa citra Dayak di masa lampau sudah berubah total.

Bahwa "Dayak menulis dari dalam" merupakan moto Penerbit saya: Lembaga Literasi Dayak. Namun, ketika hal itu saya kenalkan kepada Yansen. Ia setuju. Bahkan, bara api semangat literasinya terpantik lebih dari saya.

Saya kisahkah padanya. Tentang dua gubernur Dayak, di era Soekarno dan Orde Baru. Gubernur Kalimantan Barat, Oevaang Oeray dan Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut.

Keduanya sama-sama tokoh hebat. Jadi orasi. Bahkan, digelari : Bung Karno kecil. Tapi Tjilik Riwut menulis sejumlah buku. Sedangkan Oevaang?

Pria tambun dari Hulu Kapuas ini tidak menulis. Hanya meninggalkan surat-surat politik, setumpuk, tapi belum diterbitkan. Saya pernah membaca dan memegangnya. Khusus untuk Pembaca. Saya tampilkan di sini penampakan tumpukan surat-surat politik yang, menurut konon kabarnya, pernah ada cracy rich menawarkan membelinya Satu Em.

Tapi Tjilik Riwut abadi. Bukan pertama-tama karena namanya diabadikan bandara Palangka Raya. Tapi karena menulis. Dan legasi dari buku-buku karyanya.

Bagaimana nyala apinya literasi Tjilik Riwut membakar kami, saya dan Yansen?

Hal itu akan dikisahkan pada narasi yang berikutnya.
(bersambung)