Catatan BRWC 2022 (5): Pindah atau Bertahan, Itulah Pertanyaannya
“Kalau tidak ada MAF, orang Krayan bisa habis pindah ke Malaysia,” kata Daud Ipid (84), seorang veteran pejuang.
Entah ia berseloroh entah ia mengungkapkan realitas, barangkali pernyataan pahit itu mewakili jeritan hati mereka untuk memantik perhatian pemerintah. Sebuah harapan agar pemerintah tidak membiarkan warga perbatasan bergumul sendiri menyiasati kondisi wilayah yang nyaris terisolasi.
“Saudara ayah saya, dua sudah tinggal di Sabah. Alasannya karena kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok,” kata Frand.
“Dulu untuk mengambil minyak di Malinau perlu waktu satu minggu. Mereka pergi membawa damar atau gaharu, djual dengan sistem barter, diganti sabun, minyak tanah. Minyak dimasukkan ke dalam tabung bambu, harus hati-hati membawanya supaya tidak tumpah. Kalau tidak tahan hidup seperti itu, ya lalu lari ke Malaysia.”
Nyatanya, kebanyakan warga memilih tetap menjalani hidup di wilayah perbatasan sebagai orang Indonesia. “Kami memahami kehadiran kami di sini adalah anugerah Tuhan. Kami tidak memilih dilahirkan di hutan. Kami dilahirkan di sini dengan segala keterbatasan yang ada. Kami mensyukuri keadaan. Rasa syukur itulah barangkali yang membuat kami memahami realitas keadaan kami, tantangan yang kami hadapi,” kata Gat menjelaskan alasan mereka.
“Bagaimanapun juga hidup di rumah sendiri itu jauh lebih nyaman daripada di rumah orang. Kami akan jadi tamu di negeri orang, dan orang sana akan mengatakan, 'Itu orang Indon'. Ini konotasinya merendahkan," tambahnya.
Bumi Krayan sendiri sebenarnya menyediakan kebutuhan dasar secara memadai. “Ada sawah, ada sayur, bisa tanam sendiri. Yang penting sudah ada beras,” kata Frand. “Orangtua kami mengajarkan, ‘Basah kaki, basah mulut.’ Asalkan rajin memancing, mencari sayur, ada saja bahan makanan tersedia. Kecuali kalau kita malas.”
Tentu saja, mereka memerlukan lebih dari sekadar kebutuhan dasar. Mereka juga memerlukan sarana kesehatan dan pendidikan yang memadai, juga keadilan dan kesetaraan dengan warga di wilayah lain negeri ini.
“Pergumulan terberat warga di sini ya masalah ekonomi. Anak-anak yang sekolah atau kuliah di luar daerah memerlukan biaya rutin, sedangkan orangtua menggantungkan hidup dari hasil hutan yang tidak pasti,” kata Pdt. Jerry. “Saya berharap, keadaan ini mendorong mereka lebih dekat dengan Tuhan, mengandalkan Tuhan.”
(Bersambung)