Filosofi

Pengagum Dikagumi: Masalah Karakter

Selasa, 7 Maret 2023, 15:12 WIB
Dibaca 1.395
Pengagum Dikagumi: Masalah Karakter
William Shakespeare, sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/William_Shakespeare

Mereka yang berlatar belakang ilmu sastra mungkin masih harus menyesuaikan diri dengan istilah “pendidikan karakter” mengingat karakter sama artinya dengan tokoh. Ia diserap dari bahasa Inggris character.

Sebenarnya istilah “the character” sendiri sudah sangat lama digunakan untuk menyebut salah satu genre sastra, sebutan bagi bentuk prosa pendek yang menonjolkan tokoh. Kadang prosa pendek ini disebut sketsa dan biasanya bersifat jenaka seperti kisah-kisah Abu Nawas atau Kabayan. Karenanya, cerita-cerita macam itu jarang kita sebut cerpen, juga tidak kita sebut anekdot, meskipun menyerupai fiksi.

Dalam sejarah sastra genre ini mulai diperkenalkan oleh Theophrastus pada abad ke-2 SM di Yunani dengan bukunya yang memang berjudul Characters, dan mulai sangat populer pada abad ke-17 M. Jadi, genre ini merangkak selama delapan ratus tahun.

Penulis-penulis karakter yang mengikuti jejak Theophrastus antara lain Joseph Hall, Sir Thomas Overbury, John Earle, dan mereka ini sangat memberi pengaruh pada para penulis esai serta fiksi. Di Indonesia kita mengenal Budi Darma yang amat hebat mengolah karakter dalam esai serta fiksi.

"Character" di zaman kontemporer lebih banyak dikembangkan dalam diskusi-diskusi drama dan pementasannya, dalam hal kualitas moral-intelektual-emosional tokoh, mengingat drama sangat bertumpu pada tokoh demi tokoh. Namun gara-gara ini di Indonesia kita sudah terbiasa menggunakan dua kata sekaligus: “karakter tokoh” sehingga “karakter” mengalami penyempitan makna menjadi ciri, sifat, atau watak tokoh, dan bukan tokoh itu sendiri.

Di dalam bahasa Inggris rasanya tak pernah ditemukan istilah “figure character” (karakter tokoh!) karena figur adalah nama lain dari character. Mungkin karena kita orang Indonesia senang memborong kata untuk maksud yang sama seperti “selalu senantiasa” sehingga memborong juga dua kata yang sama artinya. Berbahasa secara efektif-efisien mesti tetap diperjuangkan.

Waktu saya kuliah S1 (1996-2002) dan aktif di kelompok teater kampus, kata “karakter” kerap ditemukan dalam beragam diskusi untuk menjelaskan ciri khas tokoh yang dibangun melalui dialog dan tindakan sehingga setiap tokoh memiliki moralitas tertentu yang sebab-sebab tindakannya biasa disebut motivasi.

Di masa itu karakter-karakter drama adalah karakter tradisional yang ditandai dengan konsistensi watak setiap tokohnya. Maklum saja yang dimaksud dengan teater modern di Indonesia saat itu, teater abad ke-20, adalah teater yang bertumbuh dari drama-drama dengan karakter konsisten seperti karya-karya William Shakespeare (kelahiran abad ke-16). Karakter konsisten adalah bentuk karakterisasi karakter tradisional Eropa.

Dengan kata lain, modern-nya kita adalah empat abad lalunya Eropa! Itu pun baru mengekor kepada mereka dan tak jarang kita teramat mengagumi sehingga lupa merenungkan karya-karya mereka. Mengekor dan mudah kagum adalah karakter kita, di mana saya sendiri tak terkecuali. Tapi ada yang lebih aneh sebenarnya jika menyadari ada saja orang-orang yang mengagumi para pengagum di negara ini sehingga pengekor-pengekor itu diekori lagi.

Ya begitulah kita, dan semoga kita tidak terus-terusan begitu. Pendidikan karakter harus juga mendorong lahirnya para penemu yang berada di depan dan diekori bangsa lain, bukan sebaliknya. []

Arip Senjaya, dosen filsafat dan sastra Untirta. Pengarang buku, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud.