Filosofi

Negara dan Pakta Dominasi

Rabu, 26 Mei 2021, 19:05 WIB
Dibaca 496
Negara dan Pakta Dominasi
Gambar ilustrasi

Sebuah Pengantar

Mengapa sebuah negara lahir dalam sejarah? Bagaimana proses dan kekuatan-kekuatan sejarah apa sajakah yang ‘membidani’ kelahirannya? Seorang sosiolog Jerman Marx Weber mengidentifikasi kelahiran suatu kota (negara) dengan perkembangan kapitalisme.

Etos kapitalisme yang mencangkup nilai-nilai rasionalitas, ekspansi perdagangan, kerja keras, efisiensi, pernghargaan terhadap waktu, merupakan bagian tak terpisahkan dari kelahiran dan perkembangan suatu kota/negara.

Selain pembahasan tentang kapan atau mengapa negara lahir, ada unsur yang wajib sebagai syarat terbentuknya sebuah negara. Kita sering mendengar bahwa terbentuknya sebuah negara, yaitu jika sudah memiliki daerah atau wilayah, ada rakyat, ada pemerintahan yang berdaulat.

Sebenarnya ketika berbicara tentang negara kita akan menjumpai berbagai pembahasan, mulai dari asal usul negara, objek negara, teori tentang hakekat negara, teori tentang tujuan negara, teori tentang legitimasi kekuasaan, klasifikasi negara, susunan negara, sistem negara, rezim negara, dan banyak lagi. Sehingga waktu kita hanya habis membaca segala teori tentang asbabun nuzul dari eksistensinya sebuah negara.

Kekuasaan dan Pakta Dominasi

Namun, jika kita berangkat dari pertanyaan yang sering kita dengar mengenai kenapa negara tidak adil atau tidak hadir? Benarkah kita sudah merdeka? Pertanyaan semacam ini muncul karena kaitannya dengan cara kita melihat negara secara kontekstual atau berdasarkan realitas yang terjadi.

Weber, mengatakan bahwa negara adalah lembaga kemasyarakatan yang berhasil memiliki monopoli atas hukum untuk menggunakan kekerasan fisik.

Dari penjelasan Weber ini, muncul pertanyaan dari mana negara memperoleh kekuasaan yang begitu besar? Ada dua jawaban, yaitu (1) karena negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum dan (2) karena kelas atau golongan yang berkuasa memerlukannya untuk menjaga stabilitas tatanan yang dikehendaki.

Sedangkan dengan pendekatan strukturalisme negara merupakan instrumen dari kelas atau kelompok yang berkuasa untuk menindas kelas atau kelompok  lainnya yang menentang negara. Melalui penjelasan struktural kita dapat melihat bahwa negara tidak berada pada posisi netral, sementara dalam kita melihat negara secara abstrak negara itu harus netral dan tidak memihak pada kaum penguasa, namun melakukan penindasan terhadap kaum yang lemah (teori organis).

Negara merupakan lembaga yang mandiri, namun jika kemudian ada pemihakan hal itu karena kesadaran dan perhitungan negara sendiri, entah itu karena kedekatan psikologis antara pejabat negara dengan elite negara yang dominan atau karena harapan untuk mencapai masyarakat yang ideal, atau juga karena persaingan yang wajar dalam masyarakat (Pluralis).

Sementara dalam pandangan strukturalisme mengatakan bahwa negara pada dasarnya mandiri, tetapi ia berada dalam sebuah sistem struktural yang membatasinya.

Jika kita pendekatan strukturalisme dalam melihat negara maka dapat diartinya bahwa sejak lahirnya negara memang tidak netral. Oleh karena itu, mari kita abaikan bahwa anggapan negara netral itu tidak ada. Karena hanya dengan begitu kita dapat melihat gambaran dengan negara lebih jelas.

Mengapa negara tidak netral? Secara kontekstual kita melihat ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengendalikan negara dengan tujuan-tujuan tertentu, terutama penguasaan terhadap sumber daya ekonomi. Dari sini kita dapat penjelasan bahwa sesungguhnya negara adalah sebuah pakta dominasi, yaitu persepakatan.

Persepakatan kelas-kelas sosial atau faksi-faksi dominan dalam kelas sosial tertentu yang bertujuan menguasai sumber daya politik dan ekonomi. Negara yang netral dan bekerja bagi kepentingan umum merupakan sebuah konsep teoritis yang utopis.

Dalam idealisasinya struktural, pakta dominasi harus dikuasai oleh kaum buruh atau proletar, dalam bahasa idealnya bung Karno pakta dominasi di Indonesia harus dikuasi oleh kaum marhaen. Dari pakta dominasi ini, kita dapat mengkategorikan sebuah negara, apakah ia negara feodal, negara sosialis, negara kapitalis/liberal, atau negara neo-liberal.

Pakta Dominasi dari Feodal sampai Neo-Liberal

Pada negara feodal, pakta dominasi berada ditangan kaum bangsawan, secara struktural hubungan-hubungan sosial politik dan ekonomi diatur sesuai dengan tujuan mereka demi penguasaan sumber daya politik dan ekonomi. Kekuasaan politik formal berada ditangan pemimpin (raja) dengan pewarisan kekuasaan/tahta secara turun-temurun.

Pada negara sosialis, dimaksudkan sebuah kondisi struktural, di mana hubungan-hubungan sosial, politik dan ekonomi diatur sesuai dengan masyarakat sosialis, yaitu dengan penguasaan sumber daya politik dan ekonomu berada di bawah penguasaan masyarakat secara keseluruhan dan dipergunakan untuk kesejahteraan bersama.

Dalam prakteknya gagasan sosialisme itu pun banyak variannya, yang terdiri dari aliran yang beranggapan bahwa sosialisme dapat dijalankan dengan demokrasi, aliran lain mengatakan bahwa sosialisme hanya bisa ditegakkan melalui satu partai tunggal yang dikontrol langsung oleh kaum proletar.

Sementara salah satu tokoh Inonesia, bung Karno mengajukan gagasan yang berbeda, bahwa sosialisme dapat ditegakkan di Indonesia melalui sistem demokrasi, bukan demokrasi liberal, melainkan demokrasi tertpimpin. Yang kemudian menjadi kontroversial.

Dalam negara kapitalis/liberal, kekuasaan ditangan pemilik kapital. Hubungan-hubungan sosial politik dan ekonomi diatur sesuai dengan kepentingan pemilik kapital, untuk penguasaan politik dan ekonomi yang berfungsi agar pengembangan modal tetap berlangsung.

Pada negara kapitalis, negara berperan sebagai ‘polisi’ untuk mencegah gangguan terhadap sistem dan membangun ideologi/citra yang membuat rakyat merasa diperlakukan secara adil.

Ideologi, Rejim, dan Birokrasi

Terlepas dari prinsip atau aliran yang dianut, pakta dominasi membutuhkan instrumen untuk mewujudkan kepentingannya, oleh karena itu mereka membentuk rejim. Rejim adalah prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, termasuk proses pembuatan keputusan dan prosedur pengambilan keputusan.

Dari prinsip-prinsip atau norma-norma diatas, sebuah rejim dapat diindetifikasi, apakah ia rejim otoriter, totaliter, demokratis atau oligarkis. Identitas rejim ini seperti ini bisa terjadi atas semua pilihan ideologinya, apakah dia sosialis, kapitalis, liberal, neo-liberal dan sebagainya. Misalnya, Orde Baru adalah negara kapitalis yang dikendalikan oleh rejim otoriter.

Rejim dalam menjalankan operasinya, dilengkapi dengan aparatus dan birokrasi pelaksana. Aparatus rejim meliputi, lembaga eksekutif pelaksana keputusan-keputusan dan pembuatan kebijakan-kebijakan operasional, lembaga legislatif sebagai alat komunikasi rejim dan pembuatan peraturan perundangan, serta lembaga yudikatif sebagai penjaga dilaksanakannya peraturan perundangan.

Aparatus rejim dalam menjalankan operasionalnya sehari-hari, lembaga eksekutif dari presiden sampai kepala desa besarta jajarannya juga berfungsi sebagai birokrasi negara. Birokrasi mengambil keputusan dan membuat kebijakan berdasarkan pada kehendak politik pimpinan birokrasi.

Bahkan lembaga-lembaga yang dianggap netral sering kali mengambil keputusan berdasarkan pada kepentingan subjektif pimpinan birokrasi. Dari penjelasan panjang diatas, apa yang kita lihat, rasa adil dan tidak adil, melindungi atau malah menindas adalah aplikasi dari produk kebijakan rejim.

Dalam kaitan ini kebijakan adalah sekedar keputusan-keputusan yang dibuat oleh birokrasi untuk dilaksanakan oleh aparatnya. Ketika kita merasakan undang-undang atau kebijakan tidak memberikan keadilan, maka itu adalah produk aparatus rejim. Dari semuanya itu, penerima keuntungan paling besar adalah mereka yang menguasai pakta dominasi dalam sebuah negara.

***