Bijaknya Sistem Ladang dan Budaya Manusia Dayak
Manusia Dayak itu arif-bijaksana. Mereka bukan hanya menghormati alam, melainkan bersahabat, bahkan bagian dari alam itu sendiri.
Sayangnya, banyak orang (luar) mispersepsi mengenai sistem peladangan mereka. Hal itu, antara lain, karena masih minimnya penelitian dan publikasi mengenai sistem peladangan manusia Dayak.
Oleh sebab itu, di sini saya ingin memperkenalkan sistem peladangan sebagai kebudayaan manusia Dayak. Mengacu kepada teori ilmu sosial. Juga hasil penelitian di lapangan bahwa memang praktik berladang orang Dayak mengandung nilai-nilai luhur, sarat hikmat kebijaksanaan, serta bukan hanya mendapatkan padi saja.
Tahap peladangan dan dimensi sosial-budaya
Boleh dikatakan bahwa seluruh proses peladangan dimulai dari memeriksa lahan (Mei) hingga ucapan syukur (Mei tahun berikutnya) adalah representasi irama dan siklus hidup manusia Dayak itu sendiri. Sekaligus, sebagai ujud (ungkapan) hubungan sosial (horisontal) dan vertikal (ke atas) dengan Tuhan, Sang Maha Pencipta.
Seluruh rangkaian siklus peladangan jauh lebih penting. Sebab di sanalah hakikat inti dari esensi dan hidup orang Dayak.
Manusia Dayak itu arif-bijaksana. Mereka bukan hanya menghormati alam, melainkan bersahabat, bahkan bagian dari alam itu sendiri. Selain memiliki insting, mereka juga menggunakan akal budi untuk hidup, tercermin dari siklus dan tahap-tahap sistem peladangan yang berikut ini.
Masyarakat adat tradisional Dayak secara umum mengenal tahapan-tahapan di dalam di dalam peladangan yang berikut ini, yaitu: 1) Memeriksa lahan, 2) Menetapkan areal atau luas lahan, 3) Membersihkan/ menyucikan alat-alat atau perkakas untuk berladang, 4) Menebas, 5) Menebang, 6) Membakar ladang, 7) Menanam/ menugal, 8) Merumput, 9) Mengetam (panen), 10) Melakukan upacara Syukur (Begawai).
Ke-10 tahapan peladangan tersebut berlaku di mana-mana di kalangan orang Dayak dan kesemuanya wajib ada. Akan tetapi, terdapat praktik di beberapa tempat bahwa ada juga klan/ komunitas masyarakat adat yang menambahkan kegiatan lain.
Ada hal yang cukup menarik diamati sebagai sebuah proses pertukaran sosial adalah tahapan yang menjadi mahkota atau puncak dari sistem dan siklus peladangan, yaitu pada saat upacara Syukur (Begawai). Bukan hanya di kampung itu saja orang berpesat dan mengucap syukur, melainkan juga melibatkan kampung-kampung terdekat; bahkan membuka ruang untuk berkerja sama dan atau berpamitan serta memberi tahu kepada sedapat mungkin penduduk wilayah lain yang berpekentingan atau yang masih ada ikatan hubungan keluarga.
Baca Juga: Ladang & Kearifan Tradisional Suku Dayak
Peladangan dilakukan setahun sekali dan secara serentak pada musim yang dianggap tepat untuk memulai awal dari kegiatan peladangan. Apabila berladang dilakukan secara serempat dan bersama-sama, maka hama dan penyakit akan terhindar. Atau terjadi hama dan penyakit juga menyerang tanaman di ladang selain padi, akan tetapi masih dalam batas-batas toleransi oleh karena terdapat banyak ladang maka hama dan penyakit dapat terbagi sehingga tidak menyerang hanya satu ladang saja yang dapat menyebabkan kerusakan secara massal.
Pada suku Dayak tertentu, misalnya Dayak Lundayeh di Krayan, Kalimantan Utara dikenal alat untuk mengetahui musim yang tepat untuk mulai peladangan yang dikenal dengan “Batu Tabau”, yaitu semacam alat tradisional untuk melihat arah matahari. Sementara itu, di kalangan Dayak di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat di dalam permulaan mengerjakan ladang, senantiasa melihat petunjuk rasi bintang. Dikenal dengan sebutan “bintang tiga” yang menjadi tanda bagi mereka kapan harus menebas, membakar, menugal dan sebagainya (Lontaan, 484).
Titik awal masa mulai memeriksa lahan ladang mulai pada bulan Mei dan berakhir (panen) pada bulan Maret/April. Menugal/ menanam pada akhir bulan Agustus, setelah membakar (musim kemarau) dan awal dari musim hujan (awal September), sehingga tanah menjadi subur oleh air hujan yang turun membasahi debu dan arang. Umur padi adalah 6-7 bulan, sehingga dihitung sejak mulai menanam hingga masa panen maka usia padi adalah sangat ideal. Pada masa berladang ini, yang didapatkan bukan hanya hasil akhirnya saja, yakni padi; melainkan banyak hal yang akan dibahas lebih lanjut.
Ladang sebagai wujud budaya
Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) bahwa budaya suatu bangsa dapat dilihat atau dicirikan dalam 7 dimensi; salah satu di antaranya adalah sistem mata pencaharian. Dengan mencermati seluruh proses dalam sistem peladangan orang Dayak di atas, dapat disimpulkan bahwa ladang adalah wujud yang sangat nyata dari sistem mata pencaharian orang Dayak. Sedemikian rupa, sehingga tanpa berladang, orang Dayak akan tidak bisa untuk hidup dan untuk meneruskan keberlanjutan hidupnya.
Di dalam konteks dimensi kebudayaan itulah sistem peladangan orang Dayak harus dilihat dan ditempatkan dalam sebuah ranah nilai budaya dan adat tradisional yang di dalamnya sarat dengan hikmat dan kebijaksanaan, bukan hanya hasil akhirnya saja yang dilihat, yakni berladang untuk mendapatkan padi.
Jadi, cukup kelirulah anggapan orang luar selama ini yang mempersepsikan bahwa berladang bagi orang Dayak hanya untuk mendapatkan: padi!
Padi memang penting. Namun, seluruh rangkaian siklus peladangan jauh lebih penting.
Sebab di sanalah hakikat inti dari esensi dan hidup orang Dayak.
Apakah zaman sekarang, orang Dayak masih berladang?
Baca Juga: Bouma dan Botanam - Mengenal Sistem Peladangan Dayak Kancikgh (1)
Masih! Meskipun dalam praktiknya, di beberapa tempat peladang tradisional diintimidasi serta dikriminalkan, tapi masyarakat-adat melawan. Contoh di Sekadau, Sanggau (Kalbar) dan di Kalimantan Tengah. Masyarakat adat menang.
Bahkan di Kalimantan Barat, Gubernur Sutarmidji mengeluarkan Pergub yang menenetapkan/ mengizinkan peladangan.
Orang Dayak bangga dengan warisan nilai tradisi budayanya. Bukan malu, tapi bangga. Contoh, tokoh dan intelektual, kerap berfoto di ladang. Seperti model kita ini, Erika Siluq, seorang tokoh Dayak muda di Kalimantan Timur yang secara simbolik mendukung sistem peladangan orang Dayak untuk tetap: diteruskan.
Sebab dalam peladangan, orang Dayak hidup dan berada.
***
*)Penulis dalam proses mendapatkan gelar guru-besar bidang kearifan dan nilai tradisional manusia Dayak.