Jalan Pulang (5) Cerita yang Terhenti
Mohon maaf, cerita terhenti cukup lama untuk alasan tertentu. Ada beberapa pembaca yang rupanya masih menanti kelanjutan cerita Ibu. Baiklah, dalam rangka Hari Ibu saya lanjutkan kembali ceritanya, mungkin dalam 2-3 episode lagi.
Saya tak hendak membahas lanjut tentang mitos pulang hari Sabtu. Semuanya sudah terjadi dan tak mungkin diputar mundur kembali. Sebuah kenyataan baru harus saya hadapi. Sebuah kebiasaan baru harus saya mulai—bersama Ibu—selepas pulang dari Rumah Sakit. Ibu tidak mungkin lagi saya tinggal sendiri di Jogja, meski ada pramurukti yang menemani. Anak-anak? Mereka sudah selesai kuliah dan pamit untuk bekerja di Jakarta. Adik saya tentu tak mungkin tinggal lebih lama. Ia telah berkaul untuk bekerja di ladang Tuhan. Ia milik Tuhan, bukan lagi milik keluarga. Sebelum kembali ke Tanah Papua, ia sempatkan memimpin misa syukur di rumah yang cukup dihadiri oleh sekitar sepuluh orang umat sekitar. Maklum, waktu itu sudah diberlakukan pembatasan kegiatan berkumpul dalam jumlah besar.
Dokter telah menyampaikan pada kami bahwa ada harapan bagi Ibu untuk pulih kembali, namun memerlukan waktu yang cukup panjang. Berita baiknya, Ibu memiliki golden time—waktu emas—selama enam bulan untuk percepatan pemulihannya. Bila golden time ini terabaikan, maka kemungkinan untuk pulih sangat kecil prosentasenya.
Bulan pungkasan di tahun 2020 akhirnya benar-benar menjadi bulan terakhir saya bekerja. Itulah keputusan yang saya ambil, mengajukan pensiun dini, dari masa pensiun yang masih tersisa empat tahun lagi. Namun, bukan perkara gampang untuk mengajukan pensiun dini saat itu; di kala hampir semua perusahaan sedang berjuang keras melawan efek pandemi; di kala semua bisnis sedang bergulat untuk bisa tetap tumbuh. Saya tak selayaknya pergi meninggalkan gelanggang pertarungan.
Dengan sangat hati-hati saya bicara pada pimpinan, saya sampaikan situasi yang harus saya hadapi, lalu saya ajukan permohonan untuk menukar sisa empat tahun masa kerja saya dengan enam bulan mendampingi pemulihan Ibu. Awalnya, para pimpinan cukup berat melepas saya, namun demi alasan kesehatan seorang ibu, mereka berbalik sangat mengapresiasi keputusan pensiun dini saya, keputusan yang tentu tidak mudah.
Semuanya harus berlangsung cepat, karena waktu tak pernah bisa diajak kompromi. Pun, angka penularan Covid-19 saat itu makin merangkak naik dan menjadi momok bagi siapa saja. Saya harus segera berangkat ke Jogja selagi perjalanan antarkota belum dibatasi.
Perjalanan pulang kali ini untuk waktu yang tidak ditentukan. Keluarga “melepas” kepergian saya dengan sebuah harapan akan membawa kesembuhan bagi Ibu dan Uti mereka. Entah kapan. Saya bayangkan, mungkin beginilah situasi di zaman perang kemerdekaan dulu, saat para keluarga harus melepas suami/ayah mereka maju ke medan perang. Tanpa sebuah kepastian waktu kepulangannya.
Lantas, penyakit apakah yang membuat Ibu menjadi demikian mengkhawatirkan? Afasia ringan, demikan yang disampaikan dokter kepada kami. Selain obat-obatan penunjang, kepulihannya juga memerlukan bantuan terapi wicara dan bahasa. Tentu, ini adalah proses yang tak mungkin instan, sementara waktu terbaik yang dimiliki Ibu hanyalah enam bulan, selebihnya akan melambat sesuai dengan kemampuan pasien.
Saya sepertinya tak terlalu siap untuk menyerap informasi baru yang serba kilat dan mendadak ini. Beruntunglah, google menyediakan berlimpah tautan yang sanggup menjelaskan perkara ini. Dari sanalah saya mulai memahami sekilas tentang afasia. Sedikit akan saya bagikan di sini.
Afasia adalah gangguan otak yang dapat memengaruhi keterampilan berbicara dan menulis seseorang. Ini dapat menyebabkan penderita kehilangan kemampuan untuk berbahasa dan memahami orang lain dengan baik karena terjadi saat bagian otak yang mengandung pemahaman berbahasa mengalami kerusakan. Orang dengan afasia seringkali susah payah menemukan kata yang tepat digunakan. Mereka cenderung menggunakan kata-kata yang salah dan mengubah pengucapannya. Gangguan ini juga dapat memengaruhi keterampilan mendengar dan membaca.
Persis seperti itulah yang kini dialami oleh Ibu. Ibu yang pencerita, yang penyuka bahasa, kini harus kehilangan kemampuannya itu. Dan, saya tak sanggup menjawab setiap kali Ibu bertanya dengan terbata-bata: “Aku kena apa?” atau “Aku bisa sembuh?”
Kalimat penghiburan atau bahkan ajakan bercanda yang biasa saya pakai sebagai jawabannya. Meski, ada kalanya benteng pertahanan saya tak cukup kuat dan runtuh saat saya sudah sendirian di kamar.
Gangguan afasia dapat terjadi saat bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa mengalami kerusakan akibat cedera atau penyakit. Ingatan saya pun melayang pada setahun lalu saat saya dikabari Ibu jatuh di suatu pagi. Ibu tergeletak dengan sedikit cedera, hingga anak saya datang menolongnya. Tetapi, itu kejadian setahun lalu, dan tak ditemukan cedera dari hasil rontgen kepala. Mungkinkah ini akibat dari kejadian itu? Saya hanya menduga-duga.
Ada dua jenis afasia, yaitu lancar dan tidak lancar. Orang dengan afasia lancar dapat menusun kalimat yang cukup panjang, meski dengan kata yang salah. Sementara, orang dengan afasia tidak lancar berusaha keras untuk mengungkapkan kata-kata dan mengucapkannya dalam kalimat yang sangat pendek. Dari keterangan ini saya sedikit lega karena Ibu tergolong orang dengan afasia lancar. Harapan untuk bisa pulih kembali membuncah dalam dada saya.
The Golden Time. Itulah yang harus jadi perhatian saya saat ini. Lewat mesin pencari google pula, akhirnya saya dipertemukan dengan seorang terapi wicara dan bahasa. Ia masih sangat muda, tetapi sudah menangani banyak pasien mulai dari usia anak hingga orang lanjut usia. Sesi-sesi terapi pun kami sepakati bersama.
Mendampingi Ibu dalam menjalani sesi-sesi awal terapi serasa melemparkan saya ke dalam dunia yang terbalik. Bila dulu Ibu lah yang mengajari saya mengenal huruf dan angka, menata kata, menyusun kalimat, kini saya (dan terapis) melakukan hal itu untuk Ibu.
Ya, di luar sesi terapi maka keluarga lah yang harus mengambil alih tugas terapis. Dari toko Gramedia, saya pun membeli dua buah buku belajar membaca dan menulis... dan Ibu tampak sangat suka dengan buku barunya itu. Saya tak sanggup berkata-kata melihat reaksi itu.
(bersambung)