Agama dan Peradaban
Dari seluruh teori evolusi bentuk masyarakat, kita bisa menemukan fakta bahwa tak ada satupun masyarakat di dunia tanpa believe system. Untuk sederhananya kita anggap believe system ini sebagai agama dengan berbagai bentuknya. Ini menandakan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, agama itu hadir dan memiliki fungsi (tidak hanya guna, tapi fungsi). Studi2 klasik dengan pendekatan psikoanalisa, struktural maupun fungsional struktural juga akan memberikan kesimpulan yg sama terkait fungsi ini baik secara personal maupun kolektif individu dlm masyarakat.
Karena sifatnya fungsional maka agama juga harus kita tempatkan sebagai tools atau perangkat. Pada masa awal peradaban, agama sebagai tools dalam menjaga equilibrium masyarakat terbukti mampu bisa berjalan secara efisien dan efektif. Agama pada masa lalu bisa juga menjadi tools bagi berkembangnya peradaban dengan teknologi - teknologi yg dibangunnya.
Sejarah Babilonia, Mesir dan peradaban kuno lainnya telah memberikan banyak bukti bagaimana teknologi di drive dari kebutuhan aktualisasi agama.
Sebagai contoh, piramida misalnya: akan sangat fatal pemahaman kita terhadap Piramida Giza Mesir jika kecanggihan teknologi yg memungkinkan munculnya piramida tsb dilepaskan dari believe system Mesir masa lalu. Dan sebaliknya akan sangat fatal juga bagi kita jika hanya memandang Angkor Wat di negeri Kamboja hanya sebagai manifestasi merayakan keagungan Tuhan, karena konsep Angkor Wat jauh melebih itu, Angkor Wat adalah juga sistem irigasi pertanian canggih masa lalu. Sejarah peradaban islam juga telah terbukti memberikan dorongan lahirnya berbagai pendekatan rasional dan scientific, islam bahkan menjadi salah satu pelopor dalam ilmu astronomi modern.
Sebagai sebuah tools, tentu saja believe systems dapat dibandingkan dan restrukturisasi dengan pendekatan baru, bahkan diganti dengan tools baru. Emile Durkheim yang merupakan salah satu pelopor dalam bidang kajian sosiologi keagamaan bilang agama itu rasional karena melayani tujuan masyarakat. membentuk ikatan dan solidaritas. Dengan demikian kita juga bisa memaknasi bahwa agama juga punya mekanisme utk melakukan rasionalisasi terhadap dinamika yg terjadi di masyarakat. Agama itu bukan barang mati, dia lekat hidup pada peradaban itu sendiri.
Jika agama gagal melakukan rasionalisasi pada konteks kehidupan maka agama akan menjadi barang mati dan akan ditinggalkan oleh manusia. Thesis-thesis yang menyatakan agama akan ditinggalkan oleh manusia modern lambat laun akan menemukan kenyataannya jika agama berhenti melakukan fungsinya terhadap peradaban yang terus berkembang.
Dengan demikian tentu saja masih bertahannya agama sampai hari ini adalah karena kemampuannya beradaptasi dan merasionalisasi konteks kehidupan dengan dogma dan perangkat nilai-nilai yang dimilikinya. Namun demikian arah rasionalisasi yang mekanik juga tidak kalah berbahayanya, karena rasionalisasi mekanik hanya memberikan spektrum binari yang berujung pada sempitnya pemahaman dan menggerusnya ruang spiritualitas dan berujung pada kutub-kutub keras secara radikal.
Trend ini mengakibatkan laju agama dalam menopang dan mendorong peradaban mesti kita akui memang jauh tertinggal dari disiplin ilmu (science) yang telah secara tegas melepaskan diri dari dogma agama. kita melihat sebuah dekade di mana agama tertatih2 dan gagap dalam menjawab berbagai temuan-temuan baru yg membalikan pondasi believe system yang lalu dianggap kuno.
Kondisi ini menimbulkan kegamangan pada agama yg menginstitusional. Pada kondisi ekstrim agama seringkali bereaksi dengan menggunakan pendekatan struktural melalui instrumen ancaman dan teror. jika ini menjadi wajah agama, maka yang kemudian muncul ke permukaan adalah menjadi institusi yang mengerikan, agama yang mengekang dengan nafsu yang sangat tinggi dalam mengontrol peradaban dan akhirnya tak disadari malah tumbuh menjadi institusi terror. Setidaknya hal ini bisa kita lihat pada studi Michael Foucalt, the discipline and punish, the birth of prison . Agama pun lalu berseberangan dengan pendekatan rasional dan scientific . Kondisi ini tidak hanya ada pada peradaban Eropa, bahkan jauh sebelum masa Eropa tercerahkan, pergulatan ini juga terjadi dalam dunia islam, hal ini misalnya bisa kita baca dalam buku Muhammad Abil Al Jabiri, tragedi intelektual: perselingkungan politik dan agama.
Singkat kata, agama dianggap telah banyak mengalami kegagalan dalam merespon secara proporsional kebutuhan manusia modern. Bagi manusia modern yg didasarkan pada filsafat rasionalisme - materialism, agama beserta perangkatnya terasa menjadi sangat usang, layak ditinggalkan dan dibuang ke dasar laut. Karena agama tak lagi menjadi alat pencerah dan menjadi jembatan bagi peradaban masa depan. Agama tampak hadir menjadi penghambat gerak manusia modern. Agama sebagai tools peradaban mulai digantikan oleh science sebagai tools baru manusia modern.
Pun begitu, bagi para believer atau penganut agama, makin hari agama makin tampak tak menarik karena makin tertinggal dalam menjelaskan berbagai pengetahuan baru.
Iman mulai secara perlahan berevolusi, bergeser dari iman dalam konteks perangkat agama menjadi hanya percaya pada entitas Tuhan semata atau The Force atau al-muhharik al –awwal (Ibnu Rusyd atau dikenal sebagai Averose di Eropa) atau Prima Causa kata Aristoteles.
Institusi keagamaan kehilangan kredibilitasnya. Kegagalan agama dalam mentransformasikan diri, gagal memberikan ketenangan spritualisme, gagal memberikan makna diri, cosmos beserta relasinya dengan Tuhan berakibat pada kehilangan kepercayaan pada agama. Perlahan-lahan agamapun mulai ditinggalkan, dengan menyisakan rasa percaya hanya pada Tuhan semata. Trend ini mulai terlihat pada benua Eropa, terutama Eropa utara yang memiliki kemajuan science yang lebih maju. Dogma-dogma agama yg diwariskan dan diajarkan secara buta mulai dianggap membodohkan dibanding mencerahkan pemeluknya. di Jerman, bahkan saat ini sudah mulai muncul stigma orang yang masih pergi ke gereja hanyalah orang miskin dan bodoh.
Sekali lagi, agama semakin terancam untuk dilepaskan oleh pemeluknya dan terus kehilangan kredibilitasnya. Agama dengan bentuk kaku tak lagi laku. Spiritualism bagi kaum yang hanya percaya pada Tuhan, dianggap tak berkorelasi dengan institusi keagamaan, tapi berkorelasi dengan Tuhan dan alam semesta secara langsung tanpa harus diembel-embeli dengan baju agama apapun. TUHAN bagi kaum ini sangat personal dan tak dapat lagi didekati dengan dogma agama yg dianggap membodohkan.
Lalu bagaimana dengan yg memegang teguh agama beserta seluruh perangkatnya, bagaimana letak peranan agama dan pemeluknya agar terus fungsional dan mampu menjadi pendorong peradaban masa depan? Ini tentu yang harus menjadi Pekerjaan Rumah bagi institusi keagamaan dan kelompok terdidik agama, kelompok manusia yang tercerahkan untuk mensinergikan seluruh tools yg dimiliki agar mampu digunakan sebagai jembatan peradaban di masa depan.
Sudah saatnya institusi keagamaan bersifat terbuka dan berani membongkar dogma-dogma yg distigma membodohkan dan membuka ruang-ruang pemahaman baru peradaban. Sudah saatnya agama tak hanya menjadi teologi keimanan yang bersifat eksklusif,
agama harus tumbuh menjadi institusi yang inklusif, dan mampu menjadi teologi pembebasan. Agama harus mampu menjadi teologi kesejahteraan dan agama harus mampu menjadi teologi yang mencerahkan bukan yang mengekang dan menggelapkan.
Sudah saatnya agama kembali ke fungsi awal sebagai tools peradaban, bukan hanya sekedar fungsi teologi keimanan atau agama di masa depan hanya akan menjadi kenangan.
Tabiik.
HP. 25.08.2022