Norman Jiwan| Kita Bantu Petani Mandiri
SUDAH tentu saya berterima kasih kepada Norman Jiwan. Dari Bengkayang. Lokus yang pada Juni 2017 saya menjadi Ketua SC Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak yang mengeluarkan 7 butir Deklarasi. Semangat Deklarasi itu kiranya yang menjiwai saya dan Norman menulis dan menanggapi topik urgen, sekaligus kritis ini.
Pokok pangkal perhatian dan kepedulian saya adalah: petani mandiri. Perusahaan skala menengah dan besar, apalagi 10 pemain industri sawit negeri ini, luput atau belum terjangkau oleh saya. Saya tergelitik masalah yang dihadapi orang-orang kampungku: kurang pengetahuan di dalam memilih bibit, tidak paham cara merawat, memupuk, pruning, hingga memanen.
Seperti karet dahulu kala, begitu sawit bagi mereka: tanaman perkebunan rakyat. Mudah dijual. Sesudah panen, taruh depan rumah, ada yang angkut, timbang, langsung bayar di tempat. Dibanding karet, rakyat lebih suka sawit. Karet, kalau hujan, tidak bisa disadap. Sangat tergantung cuaca. Harganya pun terjun bebas terus. Sudah begitu, mendapatnya bekerja keras.
Saya ikut jalan pikiran orang kampung. Porang, jangankan menanam. Dengar saja baru. Kratom? Tak tahu juga. Biasanya mereka bisa nanam, tapi tak bisa menjual. Itu juga pokok pangkal masalahnya. Maka mereka tidak menanam ubi. Juga jagung. Sebab bisa nanam, tapi gak bisa menjual.
Saya yakin, penduduk Kalimantan banyak juga yang terangkat taraf hidupnya karena sawit. Banyak juga yang kaya. Adanya fenomena pabrik mini PKS yang hanya menampung hasil produksi sawit rakyat, jelas ini akan membuat petani lokal kaya. Saya tidak hendak menyebut mereka ini sub-ordinat, mereka petani mandiri. Orang/kelompok seperti itulah yang harus diperbanyak jumlahnya.
Pokok perhatian saya pada: minus malum. Bagaimana orang kampung turut menikmati booming sawit ini?
"Kaya", tentu saja, relatif. Mungkin seorang yang memiliki 1-2 hektar sawit belum dapat disebut "kaya". Makna leksikalnya: mempunyai banyak. Itu juga relatif. Barangkali, seorang yang punya 3-10 hektar, bisalah. Dengan asumsi produksi 2,5 ton/hektar dan dengan harga tingkat petani saat ini: a rp2.130/kg di kampungku. Sebulan, bisa panen dua kali. Penghasilan yang lebih dari cukup.
Kelompok petani mandiri seperti itulah yang saya sebut "Kaya di tanah sendiri". Yang ke kebun mengendarai Hillux. Jumlahnya, di kampung saya, jemari tangan kita tidak cukup untuk membilangnya. Saya suka melihat jumlah mereka semakin banyak. Mereka petani kaya, dibanding petani lainnya. Jika perusahaan, belum disebut kaya, meski jumlah sawitnya sama dan uang hasil kebunnya sama.
Masalahnya, produksi petani ini belum optimal, dengan berbagai sebab. Saya pribadi membantu mendatangkan juru penerang dan orang yang paham perawatan sawit untuk membantu. Di sekitar kampungku, ada investor yang mendirikan pabrik PKS mini, hanya untuk menampung hasil rakyat, tidak punya lahan. Saya pikir, ini juga salah satu solusi.
Saya senang Norman Jiwan turut curah pendapat. Saya menyimak. Dan baik adanya.
Di tingkat perusahaan skala menengah, besar, dan 10 top pemain negeri ini; saya gak "nyampe" turut memikirkan, apalagi memberi solusinya. Mereka punya segalanya. Bahkan, mungkin: justru merekalah yang memikirkan kita. Dengan segala sumber dayanya yang nirbatas.
Mereka melakukan praktik pengelolaan ekologis. Tindakan yang telah dilakukan yakni menanami kembali area mengalami deforestasi dan peremajaan pohon yang tumbuhnya lebih cepat. Peremajaan pohon dilakukan agar dapat dieksploitasi dalam jangka pendek.
Selain itu, untuk menampik tuduhan terhadap perusahaan sawit karena merusak lingkungan. Maka inisiatif pengelolaan minyak sawit yang bertanggungjawab menjadi jalan tengah. Konsumen memberikan label bersertifikat RSPO atau “Palm Hijau. Label RSPO ini akan memungkinkan perusahaan minyak sawit bersertifikat berkelanjutan. Perusahaan yang memproduksi, memperdagangkan dan memakai minyak sawit harus memenuhi standar RSPO.
Kelompok petani mandiri seperti itulah yang saya sebut "Kaya di tanah sendiri". Yang ke kebun mengendarai Hillux. Jumlahnya, di kampung saya, jemari tangan kita tidak cukup untuk membilangnya. Saya suka melihat jumlah mereka semakin banyak.
Di Indonesia bentuk sertifikat ini diturunkan melalui kebijakan Kementerian Pertanian. Pada Tahun 2011, Kementerian Pertanian mengeluarkan peraturan No. 19/2011 tentang Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia atau dalam istilah global dikenal Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO).
Sekali lagi, broer Norman Jiwan.
Terima kasih atas diskusinya. Semoga juga, tulisan yang berikutnya, bisa memaparkan bagaimana SEMUA PIHAK turut menikmati kehadiran sawit yang terbukti "tahan terhadap krisis" ini. Baik oleh musim, seperti karet kalau hujan tidak bisa noreh, maupun terhadap yang lain.
Saya yakin, penduduk Kalimantan banyak juga yang terangkat taraf hidupnya karena sawit. Banyak juga yang kaya. Adanya fenomena pabrik mini PKS yang hanya menampung hasil produksi sawit rakyat, jelas ini akan membuat petani lokal kaya. Saya tidak hendak menyebut mereka ini subordinat, mereka petani mandiri. Orang seperti itulah yang harus diperbanyak jumlahnya.
Saya ingin bro turut bantu saya menjadi part of solution bagi petani sawit mandiri di Kalimantan.
Tabik. ***