Mana Lebih Dulu: Membangun Pusat atau Membangun Daerah?
Pertanyaan ini muncul sejak saya berkenalan dengan Dr. Yansen Tipa Padan, Wakil Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) periode 2021-2024, dan Bupati Malinau 2011-2021. Dalam banyak kesempatan, pria yang giat berliterasi ini selalu mengumandangkan konsep pembangunan dari desa, bahkan dari RT (rukun tetangga).
Indonesia sudah membangun negerinya sejak 1945. Sejak merdeka. Demikian seharusnya. Meski secara de facto, konon (de facto tapi masih konon ya) pembangunan Indonesia baru dimulai pada era Orde Baru. Banyak data menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia memang baru bangun dan menggeliat pada akhir 1960-an atau awal 1970-an.
Setiap tahun, ratusan sampai ribuan triliun rupiah disiapkan dan dihabiskan untuk membangun. Dalam bentuk APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Kalau ditotal selama 50 tahun terakhir mungkin jumlahnya bisa mencapai 25.000 triliun rupiah atau bahkan lebih. Banyak sekali. Belum lagi ditambah dengan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Tambah banyak...
Apa hasilnya? Banyak. Infrastruktur banyak. Fasilitas umum juga banyak. Ekonomi bergerak. Indonesia yang awalnya negara miskin dan terbelakang sudah naik kelas jadi negara berkembang. Kelas menengah. Tapi belum cukup. Sama sekali. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. Sila ke-5 itu masih jauh jaraknya dari sila ke-4 apalagi dari sila pertama.
Kenapa ya?
Saya bersepakat dengan pendapat pak Yansen yang biasa disapa YTP. Wakil Gubernur Kalimantan Utara yang terkenal dengan konsep pembangunan dari desa bahkan dari RT. Bukunya Revolusi dari Desa (konsep Gerakan Desa Membangun - Gerdema) dan Revolusi RT (konsep pembangunan berbasis komunitas) sudah terbit sejak 2014 lalu.
Menurutnya, cara pandang penyelenggara negara yang keliru, membuat pembangunan Indonesia masih jauh dari harapan. Cenderung jalan di tempat. Kita, khususnya para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, cenderung sibuk mengurusi pusat. Bukan sebaliknya. Pusat menjadi inti pembangunan. Bukan hanya orang-orang di pusat tapi juga wilayah di sekitar pusat.
Fokus pembangunan kita adalah pusat.
Mindset kita adalah pusat.
Apa yang ada di pikiran pusat dengan paradigma pembangunan pusat, itulah yang dijalankan.
Menurut YTP, paradigma tersebut salah. Sangat salah. Seperti yang diumpamakannya dengan monyet melihat ikan berenang. Berniat menyelamatkan ikan yang dikiranya kecapaian dan tak ada kerjaan di dalam air, monyet malah membunuh ikan yang diangkatnya ke darat.
Bahkan orang pusat pun cenderung mau dilayani oleh orang daerah. Orang daerah jadi sibuk melayani orang pusat. Bukan membangun daerahnya.
Seharusnya, orang pusatlah yang sibuk mengurusi orang daerah bahkan melayani daerah Bukan sebaliknya. Orang pusatlah yang harus fokus membangun daerah bersama orang-orang daerah. Bukan sebaliknya.
Paradigma pembanguan seharusnya di daerah dan berpusat di sana, karena yang lebih tahu cara dan kebutuhan pembangunan di daerah adalah daerah. Bangunlah daerah, bangunlah desa, bangunlah RT. Karena sesungguhnya rakyat Indonesia ada di RT, hidup di desa, di kelurahan, bukan hanya di Jabodetabek. Bukan hanya di pusat.
Paradigma membangun dari RT dan Desa sdh dijalankan YTP di Malinau Kaltara. Berbagai indikator di atas kertas dan fakta di lapangan membuktikan: pembangunan ala YTP berhasil. Berbagai indikator pembangunan naik. (Baca: Gebrakan dari Perbatasan – Terobosan Pembangunan di Malinau)
Pengakuan bukan hanya dari warga setempat. Bukan hanya dari daerah lain. Bukan hanya dari para wartawan. Sejumlah profesor ahli pembangunan dan otonomi daerah pun, yang awalnya meragukan konsep tersebut akhirnya mengakui. Pola pembangunan di Malinau berhasil dan layak jadi contoh. Untuk diterapkan di daerah lain.
Kalau mau Indonesia berubah, makin cepat mensejahterakan rakyat (khusus di RT-RT), jalankan paradigma pembangunan dari desa dan dari RT.