Revolusi RT - Memberi Kekuasaan Kepada RT untuk Membangun Desa
Judul: Revolusi RT – Tiga Pilar Gerdema
Penulis: Yansen TP
Tahun Terbit: 2017
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tebal: xvii + 288
ISBN: 978-602-04-0074-7
Dalam bukunya yang pertama “Revolusi Dari Desa,” Yansen TP menguraikan dengan detail bagaimana menerapkan pendekatan pembangunan secara partisipatif. Dalam buku pertama yang terbit pada tahun 2014 tersebut Yansen menguraikan juga keberhasilan penerapan Gerakan Desa Membangun (GERDERMA) selama lima tahun pelaksanaan di Kabupaten Malinau.
Merasa belum puas dengan pelaksanaan GERDERMA yang berbasis masyarakat desa, Yansen mencoba menerapkan pendekatan pembangunan partisipatif ke level yang lebih kecil, yaitu level Rukun Tetangga (RT). Apa alasannya menerapkan pembangunan berbasis RT? Bagaimana disainnya? Apa saja syarat supaya pendekatan ini berhasil? Apa saja program unggulannya? Apa tantangannya?
Yansen menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bukunya yang berjudul “Revolusi RT – Tiga Pilar GERDERMA, Strategi Revolusioner Membangun Rukun Tetangga yang Maju Sejahtera.” Buku ini sesungguhnya merupakan cetak biru model pembangunan yang diterapkannya di Kabupaten Malinau pada periode kedua kepemimpinannya.
Alasan utama penerapan pendekatan partisipatif sampai ke level RT adalah karena ketidak-puasan atas keberhasilan GERDERMA yang berbasis desa. Meski Yansen mengatakan bahwa GERDERMA yang berbasis desa telah membawa kemajuan yang luar biasa bagi Malinau (hal. 15-23), terbukti bahwa Malinau tidak lagi tercantum dalam daftar daerah tertinggal pada tahun 2015 (hal. 57), namun ia masih kurang puas atas capaiannya tersebut.
Yansen menyebutkan bahwa: “Secara umum, masyarakat masih lemah kesadarannya dalam pembangunan sumber daya manusia, sumber daya alam yang dimiliki, pengelolaan sistem sosial, dan hal lain yang berdampak terhadap pembangunan sampai ke desa (hal. 46). Selain itu, RT adalah merupakan community based institution terkecil.
Bagaimana supaya pembangunan partisipatif ini bisa berpusat pada RT? Seperti pada buku “Revolusi Dari Desa,” Yansen menjelaskan model pembangunan periode kedua kepemimpinannya secara detail dari visi, misi, program utama dan program unggulan. Pilar pembangunan Malinau adalah: (1) Pengembangan infrastruktur (hal. 80), (2) Pengembangan kapasitas sumber daya manusia (hal. 82), (3) Penguatan peran ekonomi desa (hal. 88), (4) Pengembangan Ibu Kota Malinau sebagai kota mandiri (hal. 94), dan (5) Penatalayanan kepemimpinan/reformasi birokrasi (hal 97).
Secara khusus Yansen menyebutkan bahwa partisipasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dimulai dari RT. Perencanaan tersebut dimulai dengan pra-musrenbang di tingkat RT. Program-program dirancang dan diusulkan dari RT melalui pra-musrenbang (hal. 145). Perencanaan dari tingkat RT ini tidak hanya sebatas sebagai usulan. Sebab RT mendapatkan anggaran operasional sebesar Rp. 60 juta per tahun.
Dengan anggaran operasional ini RT bisa melaksanakan program-program yang dirancangnya. Selain dari dana operasional, RT juga mendapatkan anggaran dalam bentuk pinjaman tanpa Bunga untuk meningkatkan ekonomi warganya (hal. 122). Program-program RT dikoordinasikan di level desa.
Syarat pelaksanaan pembangunan partisipatif berbasis RT adalah pemberdayaan RT. Ketua RT diberdayakan untuk mampu sebagai pelaku utama pembangunan (hal. 138). Syarat lainnya adalah delegasi berbagai urusan dan kewenangan kepada pemerintah desadan kecamatan yang bertujuan untuk meningkatkan gerakan di tingkat bawah (hal. 201).
Dalam mencapai tujuan pembangunan Kabupaten Malinau, Yansen memilih tiga program unggulan. Tiga program unggulan tersebut adalah: (1) Program Rumah Tangga (RT) Bersih, (2) Program Beras Daerah (RASDA), dan (3) Program Wajib Belajar 16 Tahun (hal. 35). Mengingat bahwa basis pelaksanaan pembangunan berada di tingkat RT, maka Program Rumah Tangga Rapih, Tertib, Bersih, Sehat, Indah, Harmonis (RT-BERSIH). Program RT-BERSIH menjadikan keluarga sebagai pelaku dan obyek pembangunan yang dikoordinir oleh ketua RT.
Dengan terlibatnya seluruh indovidu dalam sebuah RT, maka perencanaan pembangunan akan menyentuh persoalan mendasar masyarakat di sana (hal. 145). Masyarakat di RT dilibatkan secara penuh dalam perencanaan pembangunan melalui Musrenbang RT. Dalam musrenbang RT ini dilibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti SKPD, LSM bahkan TNI dan Polri (hal. 145). Yansen menguraikan secara rinci bidang apa saja yang harus diperhatikan dalam perencanaan tingkat RT. Yansen juga secara tegas menggambarkan mekanisme pendanaan program RT BERSIH, yaitu melalui APBD (hal. 155).
Program Beras Daerah (RASDA) berbeda dengan program beras untuk orang miskin (RASKIN). Sebab program RASDA ini bukan sekadar membagikan beras kepada mereka yang miskin. Program RASDA ini (1) didukung sepenuhnya oleh kekuatan danerah dan masyarakat serta bersifat berkelanjutan, (2) bertujuan untuk menguatkan ekonomi rakyat melalui produksi beras oleh masyarakat, (3) menciptakan martabat masyarakat dengan menyediakan beras yang berkualitas, dan (4) menciptakan swasembada beras dan ketahanan pangan. Dalam pelaksanaannya, pemerintah Kabupaten melakukan revitaslisasi pertanian dan bekerjasama dengan semua pihak termasuk kelompok swasta (Kamar Dagang Indonesia – KADIN) (hal. 179).
Sedangkan Program Wajib Belajar 16 Tahun dimulai dari sejak dari usia dini (PAUD). Hal ini dimaksudkan untuk pembentukan generasi penerus yang berkarakter dan berkepribadian bangsa (hal. 189). Sasaran program dari usia dini adalah untuk mempermudah pembentukan karakter anak. Harapannya melalui program WAJAR 16 tahun ini maka anak-anak Malinau akan bisa bersaing di era pasar bebas Asean (Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA).
Baca Juga: Buku Kaltara Rumah Kita Karya YTP Diluncurkan di Tepi Sungai Sesayap
Meski sudah dirancang dengan sangat baik, Yansen merasa harus menyampaikan tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam implementasi program pembangunan partisipatif berbasis RT ini. Yansen menyampaikan lima tantangan dalam melaksanakan model pembangunan berbasis RT.
Tantangan-tantangan tersebut adalah: (1) sistem rekrutmen politik tidak mampu menghasilkan pemimpin yang tepat sesuai kebutuhan pemerintah dan pembangunan, (2) ketidak-siapan seorang figur dan berbagai pihak dalam mengartikulasikan nilai-nilai demokrasi, (3) kerja perangkat daerah yang kurang maksimal dalam pelaksanaan visi dan misi, (4) penurunan pendapatan daerah, dan (5) tingginya problem geografis Malinau.
Apa yang disampaikan oleh Yansen dalam buku ini patut diapresiasi. Tidak banyak kepala daerah yang menjabarkan disain pembangunannya secara utuh dan detail. Dengan menyampaikan secara terbuka apa yang hendak dilaksanakannya di wilayah yang dipimpinnya, maka seluruh jajaran di pemerintahan di Malinau bisa melaksanakan perannya dengan tepat dan lebih efektif.
Pemaparan terbuka semacam ini juga membuat para pihak bisa memberikan masukan-masukan sehingga program menjadi lebih tajam. Prof. Dr. Sadu Wasistiono misalnya memberi masukan yang ditulisnya di pengantar buku ini. Wastiono menyampaikan bahwa sebaiknya Yansen menggunakan media sosial dalam model komunikasi pembangunan di wilayahnya (hal. xi).
***