Semua Terserah Sang Pengecat Buah Cabai
Malam akan segera berlalu. Sang surya masih menyembunyikan wajahnya. Namun sang jago telah memberikan alarm hendak membangunkan warga.
Bergegaslah sosok itu menyusuri pekarangan rumah, menembus jalan setapak diantara bambu-bambu, melewati beberapa rumah penduduk kampung, hingga telapak kakinya menjejak galengan. Rasa dinginnya embun pagi tak dirasa seiring langkah kakinya. Rumput-rumput kering menjadi basah dan menempel di kaki, tersangkut saat kaki diayun.
Langkah kaki terus menyusuri galengan hingga tibalah di petak-petak sawah milik keluarga. Ia hanya menggarap tak berhak memiliki seolah menggenapi sabda-Nya “supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil”. Kerajinan dan ketekunannya telah membawanya berjodoh dengan ahli waris. Mungkin lebih tepatnya ia dijodohkan. Orang tua ahli waris memandangnya mampu mengelola lahan itu. Lahan warisan yang cukup untuk menjadi modal hidup berkeluarga.
Pancaran cahaya mentari memudarkan kegelapan malam. Terlihatlah pemandangan sawah garapannya. Beberapa petak ditanami padi. Padi jenis biasa dan padi jenis ketan. Petak-petak lainnya ditanami; bayam, kangkung, kacang panjang, buncis, cabai keriting, cabai rawit, terong, singkong, ubi, timun, pisang, dan pare.
Ragam tanaman menunjukkan kreatifitas. Pemandangan pada lahan itu sangat berbeda. Ijo royo-royo. Apalagi saat dipandang dari ujung kampung. Beberapa petak terlihat tanaman yang lebih tinggi dari padi. Nampak semua berwarna hijau, terasa menyejukkan.
Tidak seperti petani lainnya, hanya padi yang ditanam. Apa yang ditanam tak sekedar untuk konsumsi sendiri lebih dari itu. Itulah mata pencahariannya.
Sayuran dan buah menjadi pemenuhan kebutuhan sehari-hari sembari menunggu panen padi. Sayuran dengan masa tanam yang pendek dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Sementara padi untuk keperluan semester dan tahunan. Biaya sekolah putra dan putrinya.
Sayuran bukanlah tanaman dengan biaya produksi yang mahal. Bahkan tanpa perawatan yang ekstra. Menanam sayuran bisa diusahakan setiap petani dikampungnya, namun mereka enggan mau mengerjakan. Mungkin karena hanya sekedar sayur, murah harganya. Jadi tak akan memberi hasil yang cukup. Apalagi dengan lahan terbatas.
Istimewa memang sosok ini. Dia memahami apa yang menjadi kelebihannya. Ketekunan dan konsistensi. Dengan lahan yang tidak luas. Ia mampu mengelola dengan baik. Menanam tanaman yang sederhana pula. Jika menanam sayuran dikelola dengan kontinu dan manajemen yang baik, maka hasilnya juga cukup untuk menghidupi keluarga.
Kini sang surya menampakkan dirinya dengan kemarahannya menembus dinding rumah yang terbut dari kayu. Namun kayu di rumah ini bukan kayu biasa. Kayu jati. Rumah warisan dari eyang buyut yang masih berdiri kokoh hingga hari ini. Saat ini, inilah satu-satunya rumah di kampung itu yang berbuat dari kayu.
Terpaan cahaya mentari menyadarkanku dari mimpi malam yang indah. Meski begitu udara masih terasa dingin menusuk tulang. Kampungku dikeliling bukit-bukit. Bagian barat, mengalir sungai yang juga menjadi sumber air bagi penduduk kampung. Di bagian utara, pepohonan karet. Bagian timur dan selatan membentang persawahan yang menghadap pegunungan. Gunung Merbabu. Berwana biru dengan lekuk-lekuknya yang indah, berpakaian kabut putih. Memandangnya sejenak sulit untuk berpaling.
Dinginnya angin pagi menggugah rasa malasku beranjak dari tempat tidur. Rasanya tubuh ini ingin tetap bersama selimut dan bantal. Sejenak pikiranku melayang. Ah ini kan liburan, tak perlu bangun cepat. Lalu terlintaslah dalam anganku pemandangan sawah.
Aku sadar Pak’e sudah tidak ada di rumah. Tanpa berlama-lama dengan selimut dan kasur. Sesaat tak lupa kupanjatkan syukur kepada-Nya untuk malam yang sudah berlalu. Dinginnya air menciutkan niatku untuk cuci muka.
Tanpa lupa membawa handphone untuk bersua foto. Aku bergegas menuju ke sawah kami. Sawah menjadi tempat favorit saat berlibur di kampung halaman. Udara terhirup begitu sejuk terasa di hidung dan dada. Terasa membersihkan paru-paru, yang telah beberapa lama merasakan udara kota yang penuh polusi. Wajah mentari telah berubah menjadi keemasan dan memberi kehangatan. Tak ingin rasanya saat itu cepat berlalu.
Dari pematang kulihat Pak’e membopong kacang panjang. Melewati beberapa petak sawah, ia menuju gubug. Kuayunkan langkah menuju gubug. Sesaat kemudian Pak’e meletakkan kacang panjang pada sisi gubug.
Ketika aku tiba, Pak’e tidak segera melanjutkan memetik sayuran. Kami duduk berdampingan. Dalam beberapa langkah di depan kami nampak tanaman buncis yang subur.
"Pak! Piye tandurane?" Tanyaku segera.
"Yo lumayanlah le, ki gek njajal nandur lombok!" Jawabnya.
"Bukanne lombok gagal terus pak?" Tanyaku lagi.
Selama ini Pak’e memang berusaha menanam lombok. Ada lombok kriting, lombok rawit, tetapi semuanya belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Entah karena ulah tikus. Ulat buah. Curah hujan. Cuaca panas. Lombok pun busuk dan tak dapat dipanen.
"Iyo tapi rego lombok ki duwur terus!" (Ya tapi harga cabai itu mahal terus). Jawabnya.
Pak’e melanjutkan kata-katanya, kita harus tetap berusaha. Yang kita bisa lakukan hanya menanam dan merawat tanaman itu sampai siap dipanen. Toh, kabeh mau sak karepe sing ngecet lombok.
Semuanya itu kan tergantung Tuhan. Dialah yang membuat cabai menjadi merah. Manusia hanya mengusahakan apa yang bisa dikerjakan dan Tuhan yang membuatnya berhasil.
Tersentak aku mendengar jawaban itu. Sejenak aku terdiam. Merenung. Sak karepe sing ngecet lombok.
Pak’e bukanlah pendeta yang ahli Kitab Suci. Bukan juga teolog yang belajar dengan metode-metode khusus untuk memahami Sang Pencipta. Namun, Pak’e benar-benar mengenal Tuhan yang penuh rahmat dari kehidupannya. Dari pekerjaannya. Dari pengalaman bersama tanaman.
Bukankah dalam Kitab Suci pertanian atau tanaman banyak digunakan untuk menyampaikan sabda-Nya. Beberapa mungkin kita ingat. Pokok anggur yang benar. Pohon yang Ara yang tak berbuah. Pohon Ara yang kering. Murid-murid memetik gandum pada hari sabat. Perumpamaan tentang benih. Perumpamaan tentang biji sewawi.
Pak’e ternyata memiliki filosofi yang sederhana dalam hidupnya. Tak heran ia bertahan dengan profesinya sebagai petani kecil. Sementara banyak orang di kampung kami yang seusianya tak lagi ke sawah dan memilih profesi lain. Sebagian mereka bekerja sebagai buruh bangunan yang hasilnya pasti. Meskipun tak setiap saat pekerjaan itu ada.
Bertani bukan hanya soal mencari nafkah. Itu lah yang tersemat dibenakku, mendengar kata-kata pak’e. Syukur kepada Tuhan dengan mengusahakan sawah itu, Pak’e dapat menghidupi kami sekeluarga.
Pekerjaan apapun yang kita jalani seharusnya tak sekedar mencari penghidupan. Namun harus membuat kita semakin mengenal Sang Pencipta dan menumbuh iman percaya kepada-Nya. Bukankah Tuhan juga turut bekerja dalam diri kita.
Tak peduli apapun pekerjaan Anda saat ini. Selagi itu mengusahakan ‘tanah’ yang Tuhan berikan. Teruslah berusaha dengan giat. Tuhan yang berkerja dalam prosesnya. Kerjakan apa yang harus dikerjakan. Tuhan yang menentukan hasilnya.
"Le…!" suara Pak’e membuyarkan perenunganku. Dan aku tahu yang apa harus kukerjakan.
Saatnya sejenak beralih profesi. Sebab biasanya laptop dan pulpen yang kupegang, kali ini cangkul jadi alat ditanganku. Ini kesempatan untuk merenggangkan otot-otot yang kaku. Macul.
Akhirnya, tergantung sing ngecat lombok. Selamat berkarya!
***
Galengan: jalan setapak/pematang sawah
Gubug: Rumah kecil, dibangun di sawah sekedar untuk berteduh dan tempat menyimpan alat-alat bertani.
Lombok: Cabai