Ekonomi

Menikmati Beras Sultan ala Gastronomi Dayak Lundayeh

Kamis, 11 Februari 2021, 09:35 WIB
Dibaca 681
Menikmati Beras Sultan ala Gastronomi Dayak Lundayeh
Padi YTP - Adan

Dodi Mawardi

Penulis senior

Perjalanan Penulis ke Krayan (8)

Datang ke Krayan tak lengkap jika tidak menikmati berasnya. Konon, beras Krayan adalah yang terbaik di Kalimantan. Mereka menyebutnya sebagai beras Adan. Sebenarnya terdapat lebih dari 30 varietas padi di sana. Namun, Adan-lah yang paling unggul. Pengakuan terbaik itu bukan hanya datang dari orang Kalimantan Utara, tapi juga dari negara Jiran, Malaysia dan Brunai Darussalam. Orang Krayan rutin mengekspor beras Adan ke sana.

 

Katanya, Sultan Brunai termasuk penggemar beras Adan. Jadi bolehlah beras ini kita sebut sebagai beras "Sultan".

 

Bagaimana rasa beras "Sultan" ini? Hmmm... Maknyus. Sebagai orang yang biasa makan nasi dengan beragam jenis beras, nasi Adan termasuk level nikmat. Setara dan sepadan dengan beras Cianjur yang paling pulen. Secentong tak pernah cukup. Nambah lagi dan lagi.

Apalagi ternyata orang Dayak Lundayeh termasuk piawai menyajikan makanan dengan menu yang sangat beragam. Kata pak Masri, yang ahlinya ahli urusan Dayak, "Cara penyajian makanan Lundayeh, terbaik dibanding Dayak lainnya berdasarkan observasi saya di berbagai tempat." Saya percaya karena dia berkali-kali melakukan riset tentang berbagai hal terkait suku Dayak.

Saya juga percaya karena menyaksikan dan langsung menikmati sajian gastronomi ala Lundayeh. "Setiap kali makan, minimal ada lima jenis masakan yang kami sajikan sebagai teman nasi," kata YTP. Setiap masakan disajikan dengan cara yang amat menggugah selera, baik aroma, penampilan, apalagi rasanya. Sajian masakan Padang yang terkenal di setiap pengkolan dan perempatan itu pasti tersaingi. Sayang belum ada orang Lundayeh yang ekspansi buka restoran di Jawa.

 

Beberapa jenis masakan yang kami santap selama berada di Pondok Biru tak kami temui di tempat lain. Atau kalaupun berbahan sama, maka rasa dan penyajiannya berbeda. Misal rebung. Kaki besar bambu itu diolah secara khusus sehingga terasa begitu segar. Atau daun muda pakis. Ya, pakis. Selain dibuat sayur juga jadi teman nasi sebagai bubur yang encer. Begitu pula jamur dan pucuk daun timun. Disayur dan dijadikan bubur. Timunnya pun istimewa. Besar-besar. Saya menyebutnya timun raksasa. Daun-daunan dan sayur menjadi primadona karena bahan bakunya berlimpah.

Bagaimana dengan daging dan ikan? Di Krayan hewan ternak paling umum adalah kerbau. Warga di sana seolah menjadikan kerbau sebagai hewan ternak wajib. Konon, kerbau ini sudah menjadi ternak turun temurun sejak dulu kala. Dulu, kalau seorang pria melamar gadis impiannya biasa menggunakan sejumlah kerbau sebagai penebus. Setiap kali menyambut tamu pun khususnya tamu istimewa maka sajian daging kerbau pasti menanti. Kami merasa jadi tamu istimewa karena Pak YTP sengaja menyembelih seekor kerbau untuk kami.

Ada satu peristiwa budaya lucu terkait Kerbau ini. Kang Pepih yang orang Tasikmalaya kegirangan begitu tahu akan ada penyembelihan kerbau. "Saya pesan torpedo-nya ya..." katanya penuh semangat. Saya paham. Namun sebagian yang lain tak mengerti apa yang dimaksud torpedo. Tidak lain dan tidak bukan adalah bagian kemaluan kerbau. Di Tasik dan di Jawa Barat termasuk di Cianjur dan Bogor, torpedo adalah bagian daging paling "penting". Jadi rebutan. Ada kisah khasiat sugestif di dalamnya. "Itu bagian daging ternikmat, Pak!" katanya berusaha meyakinkan YTP dan pak Masri yang masih penasaran dan tak percaya.

 

Ternyata, di Krayan tidak ada kepercayaan ala orang Tasik itu. Bagian daging yang dianggap paling nikmat dan katanya berkhasiat tersebut malah dibuang. Tak pernah jadi santapan. "Ikan saja tak berani memakannya, Pak," kata YTP tergelak ketika torpedo itu kadung sudah terbuang dan terbawa arus sungai Fe'milau setelah Kerbau disembelih. Mereka secara refleks langsung membuang torpedo ke sungai.

Terpaksalah beberapa orang mengejar torpedo yang sudah terbawa arus sungai, demi memuaskan Kang Pepih. Kami semua tertawa terbahak-bahak dan kemudian ikut bahagia setelah torpedo berhasil ditemukan. Perbedaan budaya yang menyenangkan.

 

Selain daging Kerbau, kami juga menyantap daging Rusa dan daging Kancil (mereka menyebutnya pelanduk) dan ikan sungai. Hasil buruan dari hutan sekitar. Itulah pertama kali seumur hidup menyantap sajian daging Kancil dan Rusa. Rasa daging rusa mirip dengan sapi. Namun cita rasa pelanduk sungguh berbeda. Lebih empuk dan kenyal. Sedangkan ikan sungainya terasa lezat digoreng kering. Serasa makan kerupuk ikan.

Dengan sajian gastronomi yang keren, cita rasa yang lezat, plus beras "Sultan" yang maknyusss, setiap kali makan saya nambah berkali-kali. Begitupun yang lain. Dalam lima hari, berat badan kami bertambah berkilo-kilo.

Semoga masih bisa naik pesawat ketika pulang, karena mereka membatasi berat badan penumpangnya...

Baca juga:

Perjalanan Penulis ke Krayan (6)