Budaya

Seimbangkan Hidup dengan Empat Hari Kerja

Rabu, 8 Maret 2023, 09:00 WIB
Dibaca 746
Seimbangkan Hidup dengan Empat Hari Kerja
Olahan penulis

Dodi Mawardi

Penulis senior

 

Dalam beberapa tahun terakhir, saya selalu memacu diri untuk bertanya, “Kenapa tidak?” Tentu hal ini bukan sesuatu yang baru. “Nil novi sub sole,” begitu kata bahasa Latin yang bermakna “Tak ada yang baru di bawah matahari.” Banyak orang yang selalu bertanya-tanya, "Kenapa tidak?" "Kenapa begini?" "Kenapa begitu?"

 

Banyak sekali hal dalam kehidupan sehari-hari yang patut ditanyakan, “Kenapa tidak?” Misal, kenapa dalam seminggu hanya tujuh hari? Kalau 365 hari dalam setahun, alasannya sudah jelas: durasi bumi mengelilingi matahari. Kalau 30 hari dalam sebulan jelas perhitungannya: durasi bulan mengelilingi bumi. Tak mudah menanyakan kenapa tidak untuk kedua hal itu.

 

Tapi kalau tujuh hari seminggu? Boleh dong dalam seminggu kita ubah menjadi 10 hari, sehingga nama hari bertambah tiga selain Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Dalam sebulan menjadi tiga minggu saja. Jumlah hari perbulan tetap antara 30 atau 31 hari.

 

Nah, yang menarik buat saya adalah apa yang kita tentukan sejak lama tapi dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Tidak mudah mengubahnya. Begitu banyak orang yang akan menentangnya. Dulu, waktu belajar di sekolah di seluruh Indonesia baik negeri maupun swasta itu 6 hari: Senin sampai Sabtu. Pun demikian waktu kerja. Sekarang, mungkin hanya sekolah negeri yang masih menerapkan 6 hari sekolah. Sebagian besar sekolah swasta tidak.

 

Awalnya terjadi kontroversi. Dengan alasannya masing-masing. Pun demikian dengan waktu kerja. Sebagian kita menerapkan hari kerja Senin – Sabtu. Sabtu setengah hari. Sebagian lagi Senin – Jumat. Ditotal durasi kerjanya minimal 40 jam dalam sepekan. Tampaknya sudah standar. Bahkan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Jangan coba-coba mengubahnya. Alasan produktivitas biasanya menjadi mantra sakti.

 

Saya kemudian berpikir dan merenung. Selama Senin sampai Jumat atau Sabtu itu, sebagian besar manusia Indonesia sibuk bekerja. Berangkat pagi dan pulang sering kali malam. Kadang masih ditambah lembur, baik lembur yang resmi maupun yang tidak resmi. Di kota-kota besar, masih ditambah lagi oleh “kehilangan” waktu karena ruwetnya urusan transportasi.

 

Kesimpulan sementara saya:

 

Lalu, kapan waktu buat keluarga, buat pasangan, buat anak-anak, buat diri sendiri?

Kapan waktu buat teman, buat lingkungan, buat kegiatan sosial, kegiatan spiritual, dan lainnya?

Bukankah setiap manusia membutuhkan keseimbangan dalam hidup ini?

 

Akibat dari kesibukan urusan pekerjaan ini, sekian dampak negatif terjadi. Sebut saja, tekanan hidup (stres) yang cukup berat. Stres di pekerjaan. Lalu stres dalam keluarga juga. Begitu banyak dari kita yang punya masalah kehidupan terkait pekerjaan dan keluarga. Dari kacamata pendidiikan anak dan keluarga, lahirlah istilah motherless dan fatherless. Ketiadaan ibu dan bapak dalam keluarga, meski secara fisik ada. Bapak dan ibu “hilang” di hadapan keluarga, karena waktu, tenaga, pikiran, dan perasaannya habis untuk urusan pekerjaan.

 

Dari kesimpulan sementara itulah, lahir pertanyaan kenapa tidak.

“Kenapa tidak? Waktu bekerja kita pangkas hanya empat hari saja!”

Cukup antara Senin sampai Kamis. Jumat, Sabtu, dan Minggu libur.

 

Wah, banyak tanggapan otomatis dan refleks yang datang terhadap pertanyaan tersebut.

“Dengan hari kerja sekarang saja, Indnnesia ini masih belum produktif. Masih kalah produktif dibanding negara lain. Apalagi kalau dipangkas waktu kerjanya?”

Dan banyak lagi jawaban lain yang intinya menolak wacana tersebut.

Sah-sah saja.

 

Akan tetapi, saya punya alasan juga. Misal, jam kerja tetap 40 dalam sepekan. Dihabiskan dalam waktu empat hari itu. Berarti, sehari bekerja 10 jam? Tidak juga harus demikian. Saya adopsi sistem SKS di perguruan tinggi atau jam pelajaran di sekolah. Apakah satu jam kuliah atau pelajaran sama dengan 60 menit? Tidak. Sama sekali keliru.

 

Jam pelajaran atau SKS dalam sistem pendidikan tidak demikian. Satu jam pelajaran di SMA misalnya, hanya 45-50 menit. Dua jam pelajaran kadang bermakna 90 menit. Akan tetapi, setiap angka dalam jam pelajaran itu dilengkapi dengan kegiatan lain di luar kelas, yang mendukung jam pelajaran itu. Misal, tambahan belajar mandiri, pekerjaan rumah, tugas, dan lain-lain. Nah, hal ini bisa diadopsi dalam sistem pekerjaan. Misal, selain bekerja rutin, pekerja juga butuh pendidikan dan pelatihan, tetap belajar untuk mengasah “gergajinya”. Ya memang perlu pemikiran dan kajian. Kalau mau berubah menuju hal yang lebih baik, memang harus mau selalu berpikir.

 

Waktu tiga hari Jumat – Minggu, dimanfaatkan manusia Indonesia untuk menyeimbangkan kehidupan. Seorang ayah dan bunda, akan memiliki waktu yang jauh lebih banyak untuk keluarganya. Paling tidak, kehadirannya secara fisik. Peluang lebih besar untuk melakukan kegiatan bersama. Berinteraksi dan berkomunikasi. Hal tersebut sangat penting dan berdampak terhadap keseimbangan hidup. Alhasil, pada hari Senin-nya, seorang pekerja “diharapkan” memiliki energi baru yang segar dalam memulai aktivitasnya bekerja. Produktivitas berpeluang makin meningkat.

 

Saya pribadi membagi waktu Jumat, Sabtu, dan Minggu itu untuk:

Jumat, dikhususkan untuk kegiatan spiritual bersama keluarga. Saya muslim, sehingga bisa memaksimalkan hari Jumat sebagai hari istimewa bersama istri dan anak-anak. Hal yang belum bisa dilakukan karena meski saya meliburkan diri, anak-anak masih sekolah.

 

Sabtu, dikhususkan untuk kegiatan sosial, silaturahmi, berjaringan, dengan teman, kerabat, sahabat, atau tetangga. Tentu saja, keluarga pun bisa ikut serta dalam kegiatan ini.

 

Minggu, khusus waktu buat keluarga di rumah.

 

Tentu, waktu tiga hari itu bisa dimanfaatkan apa pun oleh seorang pekerja. Bisa seperti yang saya tuliskan di atas. Bisa juga melakukan hal lain. Ada ribuan kegiatan yang bisa dilakukan, sebagai bentuk menyeimbangkan kehidupan. Manusia tidak hanya butuh pekerjaan, tapi juga harus diseimbangkan dengan kegiatan lainnya.

 

Pertanyaan kenapa tidak itu, terinspirasi oleh fakta di negara-negara maju khususnya di belahan bumi bagian utara. Apakah mereka produktif? Ya. Sangat produktif. Mereka maju karena produktivitasnya tinggi dengan kualitas kerja yang memadai. Apakah waktu mereka bekerja lebih lama dibanding orang Indonesia atau negara berkembang lainnya? Sama sekali tidak.

 

Dalam setahun, sebagian besar negara maju itu mengalami musim dingin yang cukup panjang. Antara satu sampai tiga bulan. Selama musim dingin – pada waktu tertentu sangat parah – mereka tidak bisa bekerja seperti biasanya. Penundaan atau pembatalan jadwal penerbangan akibat cuaca ekstrem sudah bisa terjadi di sana. Jumlahnya bukan puluhan. Bisa ratusan bahkan ribuan penerbangan. Rugi? Tentu.

Kesimpulan saya: lama waktu kerja bukan ukuran produktivitas!

Hari ini, Rabu 8 Maret 2023, saya berselancar di internet. Mencari bahan baru terkait pertanyaan, “Kenapa tidak, bekerja hanya empat hari dalam sepekan?”. Terbelalaklah mata saya. Memang pertanyaan itu bukan hal baru. Dan ternyata bukan hanya saya yang mempertanyakannya. Di Eropa, sudah bertahun-tahun lalu, wacana empat hari kerja digaungkan. Luar biasa. Mereka yang secara keseimbangan hidup sudah lebih baik dibanding negara berkembang, masih juga mau menjadi lebih baik lagi.

 

Islandia, salah satu negara paling utara di Eropa, menerapkan kebijakan uji coba empat hari kerja sejak 2015-2019. Jam kerja dipangkas menjadi 35 jam per pekan. Hasilnya, produktivitas tetap tinggi, bahkan lebih baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental para pekerja juga membaik. Padahal, Islandia termasuk negara yang selama ini selalu terkena musim dingin panjang (tiga bulan) yang menyebabkan mereka tidak bisa bekerja seperti biasa. Akan tetapi, produktivitas mereka tetap lebih baik dibanding kebanyakan negara berkembang.

 

Belgia dan Jerman juga menerapkan kebijakan serupa. Meski bukan kebijakan menyeluruh, namun sebagai sebuah opsi. Jerman termasuk negara dengan rata-rata jam kerja terpendek yaitu 34,2 jam per pekan. Serikat pekerja di sana, masih meminta pengurangan jam kerja tersebut. Dengan jam kerja seperti itu, mereka tetap lebih produktif dibanding negara-negara berkembang seperti Indonesia.

 

Pemerintahan di negara-negara maju itu melakukan riset mendalam tentang produktivitas kerja. Banyak faktor yang berpengaruh. Bukan hanya soal jam kerja. Mereka juga meneliti kondisi fisk dan mental para pekerja. Apakah mereka bahagia? Bagaimana dengan kondisi keluarganya? Anak-anaknya? Dan banyak hal lain yang dipertimbangkan.

 

Kesimpulan mereka: kehidupan para pekerja harus seimbang. Kalau pekerja bahagia, otomatis produktivitas mereka yang akan meningkat.

 

Saya setuju dengan kesimpulan mereka.

Jadi, bekerja itu cukup empat hari saja. Untuk menjaga keseimbangan hidup.

Kenapa tidak?