Budaya

Seputar Tradisi Ngabang

Selasa, 19 Juli 2022, 09:08 WIB
Dibaca 859
Seputar Tradisi Ngabang
Suasana persiapan menjelang Ritual Ngampun dalam masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik (Sumber: Pontianakpost.com)

Anang kelupa ngabang bah!

Itu adalah bahasa kami suku Dayak Desa. Kerap terdengar bila musim Gawai Dayak sudah tiba. Kata-kata itu merupakan undangan bagi sanak keluarga atau kerabat kenalan untuk datang bertandang menyemarakkan hari gawai.

Gawai dan tradisi ngabang memiliki jalinan yang sangat erat. Tak terpisahkan. Bagaikan dua sisi mata uang. Gawai akan terasa hambar tanpa kehadiran para pengabang. Suasana hambar ini sempat dirasakan oleh masyarakat Dayak akibat merebaknya pandemi Covid-19. Gawai Dayak pun dirayakan dengan sangat sederhana dan hanya terbatas untuk orang sekampung saja.

Tahun ini masyarakat Dayak patut bersyukur sebab mereka kembali bisa merayakan tradisi syukuran panen ini dengan mengundang sanak keluarga dan kerabat kenalan datang bertandang untuk turut bersukacita.

Nilai dan semangat kebersamaan. Itulah kiranya makna fundamental yang hendak dihadirkan dalam tradisi ngabang sebagai sebuah fenomena sosial. Sebuah makna yang selaras dengan jati diri manusia Dayak yang memang suka hidup berkomunitas.

Kebersamaan mau menunjukkan tingginya rasa kekeluargaan dan persaudaraan dalam masyarakat Dayak. Juga mau menunjukkan rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama.

Saya ambil contoh dari doa permohonan yang peladang lambungkan ketika memilih dan menentukan lokasi untuk berladang (mangul):

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,...Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat…,

Mereka menggunakan kata “kami”, bukan “saya”. Penggunaan kata “kami” mau melukiskan adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial dalam diri para peladang terhadap sesamanya.

Bagi masyarakat Dayak, berladang bukan melulu berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Ia selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.

Oleh karena itulah, setiap norma dan aturan adat yang terkait dengan perladangan harus mereka patuhi. Pun juga tanda-tanda alam, seperti suara burung atau mimpi, yang melaluinya leluhur mau menyampaikan pesan-pesan penting, mesti diindahkan agar hal-hal buruk tidak menimpa diri dan anggota keluarga dan juga seluruh warga kampung.

Pemakaian kata “kami” juga hendak menampilkan semangat kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi dalam masyarakat Dayak. Diletakkan dalam konteks ini, kita kemudian bisa memahami mengapa sebuah kampung yang akan mengadakan Gawai Dayak akan mengundang sanak keluarga dan kerabat kenalan untuk turut serta menikmati hasil jerih payah dalam berladang.

Pemaparan di atas menjadi suluh bagi kita untuk memahami makna yang terkandung dalam tradisi ngabang. Hemat saya, ada tiga makna yang mau dihadirkan. Pertama, berkaitan dengan falsafah hidup bersama orang Dayak, yang dalam suku kami Dayak Desa dikenal dengan semboyan: kalau abis sama ampit. Yang artinya kurang lebih: kalau habis semuanya mendapat bagian.

Sebuah falsafah hidup yang mau mengajarkan setiap orang untuk rela berbagi dengan sesama. Dengan mau berbagi, maka ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang menjadi sumber kekuatan dalam hidup berkomunitas akan selalu terjaga.

Bagi masyarakat Dayak, hasil bumi yang mereka peroleh tidak pernah boleh hanya dinikmati seorang diri. Karena itulah, setiap tamu yang datang ke rumah harus dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah tersedia. Inilah bentuk ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima dari Petara. Sekaligus sebagai wujud doa agar Petara Yang Agung senantiasa melimpahkan hasil ladang yang baik dan berlimpah di tahun-tahun mendatang.

Kedua, tradisi ngabang mau melukiskan hakikat manusia sebagai makhluk interkomunikatif. Manusia sebagai makhluk sosial. Sebuah hakikat yang mengatakan bahwa setiap orang itu ada, tumbuh dan berkembang bersama dan selalu dalam relasi dengan orang lain serta alam ciptaan.

Ketiga, lewat ngabang manusia diajar untuk taat aturan dan adat. Selaras dengan semboyan hidup masyarakat Dayak: Betungkat ke adat basa, bepegai ke pengatur pekara [menjunjung tinggi hukum adat, berpegang pada pengatur perkara (tetua adat)].

Gawai Dayak merupakan sebuah momen penting dan sakral bagi masyarakat Dayak. Kesakralan itu harus tetap dihormati dan dijaga oleh orang sekampung dan juga para pengabang. Karena itu, sanksi adat akan dikenakan kepada siapa saja, yang selama Gawai berlangsung, berbuat onar atau melakukan perbuatan asusila.

Penodaan terhadap kesakralan Gawai Dayak tidak hanya akan menimbulkan rasa malu bagi kampung yang menyelenggarakannya, tapi juga dapat menimbulkan ketidaktenangan dalam hati penduduk kampung.

Rasa tidak tenang itu muncul karena warga kampung takut dan khawatir jangan-jangan leluhur mereka marah lalu menimpakan hal-hal buruk ke atas kampung mereka. Barangkali terdengar irasional. Akan tetapi, sejak rasa syukur dalam Gawai Dayak bukan hanya dihunjukkan kepada Petara, melainkan juga kepada para leluhur, dapatlah kemudian dipahami bila penodaan terhadap kesakralan Gawai Dayak bisa membuat para leluhur marah.

Dalam kalangan masyarakat Dayak Desa, dan saya rasa juga dalam masyarakat Dayak pada umumnya, kemarahan leluhur menjadi satu hal yang sangat menakutkan. Oleh karena itulah, baik dalam hidup dan pergaulan sehari-hari, pun dalam berladang, masyarakat selalu berupaya hidup harmonis dengan leluhur.

Ritual adat pati gupung dalam masyarakat suku Dayak Desa kiranya bisa menjadi contoh untuk menerangkannya. Gupung adalah tempat makam leluhur. Tanah pamali. Tidak boleh dijadikan tempat untuk berladang atau berkebun. Bagi siapa saja yang berladang berdekatan atau bersebelahan dengan gupung selalu diperingatkan, terutama ketika membakar ladang, supaya berhati-hati. Jangan sampai api menjalar ke dalam gupung.

Dan bila gupung itu sampai termakan api, ritual adat pati wajib hukumnya untuk dilakukan. Melalui ritual adat ini masyarakat mau memohon ampun karena telah merusak kediaman leluhur mereka. Sembari juga memohon agar hal-hal buruk jangan sampai menimpa keluarga yang empunya ladang. Juga warga kampung lainnya.

Terbakarnya hutan, terlebih lagi hutan tempat di mana para leluhur bersemayam, tentu saja telah mengganggu, jika tidak merusak, keharmonisan dengan para leluhur. Relasi harmonis yang sudah terganggu itu harus segera dipulihkan. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah dalam berladang selalu direstui dan diberkati oleh para leluhur.

Ritual ngampun dalam masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik, yang dilaksanakan sebagai ritual penutup dari seluruh rangkain perayaan Gawai, barangkali sebangun dengan pemahaman dalam poin ketiga di atas.

Perayaan Gawai di Sungai Utik, sama seperti perayaan Gawai di suku Dayak lainnya, terbuka bagi kehadiran tamu dari berbagai tempat. Bahkan dalam masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik, roh para leluhur dan orang Panggau (orang Khayangan) juga turut diundang untuk hadir.

Ritual ngampun dilakukan untuk menghantarkan roh para leluhur dan orang Panggau kembali ke dunianya. Serta, dan ini kiranya poin pentingnya, untuk mengembalikan keseimbangan kosmis dan keseimbangan di dalam kampung setelah dikunjungi tamu dari berbagai tempat dengan energi mereka masing-masing.

Begitulah. Gawai Dayak dengan cara sedemikian rupa menghadirkan tidak hanya sakralitas, tapi juga hospitalitas. Keduanya hadir secara bersamaan dan menuntut setiap orang yang hadir dalam acara Gawai untuk mengindahkan dan menghormatinya. Hal ini diperlukan agar relasi yang harmonis dengan Petara, sesama, leluhur dan alam tetap terjaga dan terpelihara.