Budaya

Prinsip "Juragatn Mocah Tima' " dalam Peradilan Adat Suku Dayak Kancikgh

Minggu, 5 September 2021, 18:17 WIB
Dibaca 1.524
Prinsip "Juragatn Mocah Tima' " dalam Peradilan Adat Suku Dayak Kancikgh
Upacara Bayar Adat Suku Dayak Kancikgh

Botabe’ nga’ tonah ampah, bopugokng nga’ Koramat Dolatn, bolinokng nga’ Duata Potara,

Menjadi seorang “petinggi” merupakan dambaan, paling tidak bagi sebagian besar warga Suku Dayak Kancikgh, terutama mereka yang punya ambisi, merasa memiliki kemampuan yang lebih dari rata-rata dan termotivasi untuk memimpin orang lain. Istilah “petinggi” digunakan oleh Masyarakat Adat Dayak Kancikgh untuk memberi gelar atau panggilan kepada beberapa anggota masyarakat yang memiliki jabatan di dalam struktur pemerintahan adat. Termasuk petinggi adalah tumenggung (Kancikgh “tomongokh”), kepala kampung (Kancikgh “domong”), menteri adat (Kancikgh “monteri adat”) dan kebayan (Kancikgh “kobayatn”). Termasuk juga ke dalam kelompok yang disebut "petinggi" oleh Masyarakat Suku Kancikgh adalah warga yang berstatus sebagai Pegawai Kerajaan atau Pegawai Pemerintah (PNS).

Kecuali Pegawai Kerajaan atau Pegawai Pemerintah, petinggi adat dipilih secara musyawarah dalam suatu rembuk kampung (Kancikgh “bokolo”) dimana nama para calon yang memenuhi kriteria untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut dibicarakan, dinilai dan ditelusuri rekam jejaknya oleh sebuah tim (biasanya adalah para pejabat lama yang masih aktif atau yang akan segera digantikan). Setelah Tim menemukan kata sepakat, maka nama-nama tersebut diumumkan kepada khalayak untuk dinilai secara publik. Jika ada warga yang keberatan, maka warga tersebut harus menyampaikan alasan keberatan (biasanya menyangkut rekam jejak calon yang diusung) secara lisan dan rahasia kepada tim tadi. Tim kemudian berembuk lagi untuk mempertimbangkan kelayakan calon tersebut.

Terlepas dari faktor disukai atau tidak disukai oleh warga, menjadi petinggi di kalangan Masyarakat Adat Suku Kancikgh memiliki konsekuensi moral yang berat. Memang betul bahwa tuntutan moral berlaku untuk semua anggota masyarakat tidak terkecuali, tetapi untuk para petinggi, hal itu berarti sesuatu yang mutlak harus menjadi karakter, bila perlu sudah mendarah dan mendaging dalam diri yang bersangkutan. Sebab, moral seorang petinggi adalah moral komunitas, disamping menjadi menjadi barometer bagi warganya, moral petinggi juga menjadi panutan masyarakatnya.

Jika moral petingginya baik maka baiklah moral masyarakatnya, sebab mereka pasti akan berteladan kepada pemimpinnya, demikian juga sebaliknya.

Jika petinggi bermoral baik, maka mudah baginya untuk menegakkan norma-norma adat, sebab ketika norma-norma adat dipatuhi maka masyarakat akan hidup secara tertib, aman dan damai. Kesalahan-kesalahan atau bahkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh warga masyarakat biasanya dengan mudah dapat diselesaikan secara musyawarah, baik secara kekeluargaan maupun melalui peradilan adat.

Karena petinggi juga seorang manusia yang tidak sempurna, ada kalanya juga mereka lalai atau lupa sehingga melakukan kesalahan, bahkan yang tergolong pelanggaran terhadap norma sosial atau adat istiadat. Pertanyaannya bagaimana dan berapa sanksi adat yang dijatuhkan kepada petinggi tersebut?

Salah satu konsekuensi moral yang harus dipahami dan dipatuhi oleh petinggi adalah konsekuensi “juragatn mocah tima’.” Yaitu apabila mereka melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran terhadap norma sosial atau adat istiadat, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi adat dua kali lipat dari jumlah adat warga biasa.

Misalnya jika petinggi melakukan kesalahan seperti berkelahi, maka kepadanya dikenakan sanksi adat “pomomar darah” sebesar 3 laksa 2 poku (32 poku), (lih: Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh) dua kali lipat dari sanksi adat warga biasa yang melakukan kesalahan yang sama yaitu sebesar 16 poku. Dalam bahasa Kancikgh, juragatn (juragan) atau toke adalah pemilik bisnis atau pedagang, mocah (memecahkan), sedangkan tima’ adalah sejenis gayung atau ember kecil (alat yang digunakan untuk menimba air). Sebagai pemilik bisnis dan pemilik barang-barang dagangannya, sang juragan punya aturan dan konsekuensi untuk menjaga agar barang-barangnya tidak rusak karena dapat merugikan bisnisnya. Bagaimana jika juragan sendiri yang merusaknya? Konsekuensinya tentulah dua kali lipat, disamping juragan melanggar aturannya sendiri, juga mengalami kerugian.

Baca juga: Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh

Secara filosofis, prinsip juragatn mocah tima’ ini mengandung 4 makna yaitu:

  1. Bahwa penegakkan norma-norma adat di kalangan Suku Dayak Kancikgh tidak terlepas dari proses edukasi melalui keteladanan, pemahaman, pengamalan dan penyelesaian masalah;
  2. Dalam penerapan hukum adat di kalangan Suku Dayak Kancikgh tidak ada istilah “kebal hukum.” Semua warga berkedudukan sama dan setara di dalam menjalankan norma-norma adat. Siapapun dia, wajib mematuhi ketentuan-ketentuan tak tertulis yang disebut norma-norma sosial atau adat istiadat;
  3. Mengandung aspek keadilan sosial dimana setiap orang sesuai tingkatan, tanggungjawab, dan perilakunya akan menerima pengakuan dan konsekuensi sesuai hak dan kewajibannya di dalam menjalankan norma sosial dan adat istiadat;
  4. Bahwa sebelum memutuskan untuk menjadi seorang pemimpin (petinggi) seseorang harus reflektif seraya berupaya maksimal menciptakan karakter yang layak untuk dipilih sebagai pemimpin.

Jika Anda berniat untuk menjadi petinggi atau pengurus adat di kalangan Masyarakat Suku Dayak Kancikgh, tulisan ini mungkin bisa menjadi informasi awal yang bermanfaat.

Tabe’ tabe’ tabe’.