Budaya

Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh

Selasa, 22 Juni 2021, 16:16 WIB
Dibaca 2.139
Pokok-Pokok Hukum Adat Suku Dayak Kancikgh
Tanah, Pusaka dan Benda Adat Suku Dayak Kancikgh

A.  Pengantar

Botabe’ ngak Tonah Ampah, Bopugok ngak Koramat Dolat, Bolinokh ngak Duata Potara,

Tabe’ Tabe’ Tabe’

Hukum Adat Dayak Kancikgh merupakan salah satu bentuk penerapan praktis dalam menegakkan atau menjaga keseimbangan tatanan sosiokultural masyarakat Dayak Kancikgh. Secara sosiokultural, karakteristik masyarakat Dayak Kancikgh itu sendiri memiliki 3 (tiga) kesadaran magis, yaitu: 1) tidak bisa terpisah dari alam; 2) berpegang teguh pada adat istiadat sebagai instrumen pengendali kehidupan sosial dan kultural; dan 3) dibalik semua itu atau dibalik kehidupan ini, diyakini ada sebuah “Kuasa Super” tempat manusia meminta perlindungan, meminta rejeki termasuk meminta petunjuk.

Baca Juga: Suku Dayak Kancikgh

Demi tegak dan lestarinya tatanan sosiokultural tersebut maka disepakatilah sebuah aturan yang bersifat mengikat  bagi setiap orang Kancikgh tidak terkecuali. Aturan adat tersebut dalam istilah Bahasa Kancikgh disebut: “Adat Butakgh Sarok, Adat Tanga Bonanga.” Dikatakan bersifat mengikat karena setiap individu, kelompok dan atau komponen masyarakat Kancikgh tidak bisa melepaskan diri dari adat, baik yang bersifat mengatur tindak-tanduk, perbuatan, etika, moral maupun yang bersifat sanksi sebagai akibat dari pelanggaran terhadap aturan dalam berperilaku dan menjalankan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang Suku Kancikgh.

B.    Nilai dan Prinsip Penerapan Hukum Adat Dayak Kancikgh

Penerapan Hukum Adat Dayak Kancikgh berlandaskan pada nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang Suku Dayak Kancikgh, yaitu: 1) Nilai Rasa Keadilan; 2) Nilai Pendidikan; 3) Nilai Demokrasi; dan 4) Nilai Magis. Oleh karena itu, penerapan Hukum Adat Dayak Kancikgh pada tatanan sosiokultural selalu berpegang pada 4 (empat) prinsip utama, yaitu:

Menjunjung tinggi Rasa Keadilan; tujuan utama penerapan Hukum Adat Dayak Kancikgh adalah menciptakan atau mengembalikan rasa keadilan kepada masyarakat Suku Kancikgh. Yang bersalah harus diganjar dengan hukuman sesuai tingkat kesalahannya sedangkan yang benar harus menerima pengakuan terhadap kebenaran yang telah dibuktikannya dan dibebaskan dari segala macam hukuman dan kutukan.

Harus bermuatan Edukatif atau mendidik; terkait prinsip edukatif, penerapan Hukum Adat hendaknya diawali dari pengetahuan dan pengajaran, meningkat menjadi penyadaran, terus meningkat menjadi pemberian keteladanan dan seterusnya meningkat menjadi hukuman yang tujuannya memberikan efek jera, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anak cucunya. Oleh karena itulah dalam penerapan sanksi adat di kalangan Masyarakat Dayak Kancikgh dikenal istilah “Juragan Mocah Timak”, artinya untuk perbuatan yang sama, sanksi adat yang diberikan kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi (pengurus adat, pegawai pemerintah, orang berpendidikan, orang terpandang) berbeda jumlahnya (biasanya 2 kali lipat) dari sanksi adat yang diberikan kepada orang awam (masyarakat biasa).

Mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam memutuskan adat; setiap batang adat memiliki isi atau jumlah sanksi adat tertentu, walaupun demikian penerapan sanksi adat tetap harus melalui mufakat untuk memutuskan jumlah sanksi adat yang harus dikenakan terutama untuk kasus-kasus tertentu yang nilai sanksi adatnya relatif besar. Perlunya musyawarah dan mufakat adalah dalam rangka memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri sesuai prinsip rasa keadilan dan rasa kemanusiaan serta untuk menilai sejauhmana tingkat kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Tujuannya adalah menghasilkan putusan adat yang adil dan manusiawi sesuai peribahasa “adat lobeh Duata noyuh, adat kurakgh, mutn noyuh.” Artinya jika sanksi adat dalam takaran lebih, diyakini Tuhan akan marah, namun jika sanksi adat dalam takaran yang kurang, hantu yang akan marah. Selain mengutamakan musyawarah dan mufakat, penyelesaian perkara adat (putusan adat) juga dilakukan secara berjenjang dimulai dari tingkat pengurus adat yang paling bawah yaitu Kobayatn (jabatan setingkat Ketua RT), apabila pada tingkat tersebut tidak ada putusan (terdakwa naik banding) maka penyelesaian perkara adat berlanjut ke tingkat kedua yaitu Mentri Adat dengan catatan jika si terdakwa tidak mampu membuktikan pembelaannya maka nilai sanksi adatnya meningkat dua kali lipat, demikian seterusnya untuk tingkat ketiga (Domong) dan tingkat terakhir (Tomongokgh). Tingkat status pengurus adat juga menandakan tingkat kewenangan dalam memutuskan perkara adat berdasarkan nilai atau jumlah sanksi adat. Apabila suatu perkara adat mengandung nilai sanksi tertentu, maka yang boleh memutuskan adatnya adalah pengurus yang setara dengan tingkat adat tersebut. Misalnya suatu perkara dengan nilai sanksi adat paling tinggi 4 poku cukup diputuskan oleh Kobayatn kecuali jika si terdakwa mengajukan banding. Sementara itu untuk perkara dengan nilai sanksi adat misalnya selaksa enam poku (16 poku) harusnya diputuskan oleh Domong.

Mengandung konsekuensi magis atau bersifat sakral; setiap perkara adat yang digelar dan diputuskan oleh pengurus adat disaksikan atau paling tidak diketahui oleh masyarakat luas, dipersembahkan kepada Duata Potara dan diberitahu kepada roh-roh jahat. Oleh karena itu, putusan adat bersifat sakral dan mengandung konsekuensi magis atau sumpah spiritual. Barang siapa yang dengan sengaja mempermainkan, merekayasa, dan menghianati putusan adat disamping mendapat hukuman sosial (dikucilkan atau dijauhi oleh masyarakat) juga diyakini akan mendatangkan kesialan, penyakit, bahkan malapetaka baik bagi masyarakat dan terutama bagi dirinya sendiri.

 Juga dikatakan:

“Barang siapa menambah-nambah dari aturan adat maka kepadanya dosa dan celaka akan ditimpakan, sebaliknya barang siapa yang mengurangi atau meniadakan aturan adat maka daripadanya pahala dan rejeki akan ditarik oleh Duata Potara.”

C.  Nama dan Jenis Batang Adat Suku Dayak Kancikgh

Struktur Hukum Adat Dayak Kancikgh dijabarkan dalam bentuk nama atau batang adat, penjelasan terhadap makna atau arti adat serta isi atau jumlah sanksi adat. Nama atau batang adat adalah nama yang diberikan secara turun-temurun terhadap suatu persoalan yang menyangkut pelanggaran terhadap norma-norma etika, susila dan sosial yang berlaku di kalangan Masyarakat Suku Kancikgh. Penjelasan adalah uraian kalimat yang menjelaskan makna, kronologis, delik, dakwaan serta klasifikasi dari pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang norma-norma etika, susila dan sosial yang berlaku. Sedangkan isi atau jumlah adat adalah besaran nilai sanksi adat yang dikenakan kepada pelanggar. Besaran nilai sanksi adat dalam tradisi Masyarakat Kancikgh menggunakan satuan “poku dan laksa”.

Berikut adalah jenis-jenis batang adat yang berlaku di kalangan Masyarakat Kancikgh sejak nenek moyang dan masih diterapkan sampai sekarang.

1) Adat  Boyas Komakgh; 2) Adat Salah Basa;  3) Adat Pomomar Darah; 4) Adat Pomorakh Gontapm; 5) Adat Manca Pantakgh; 6) Adat Poningal Burit; 7) Adat Posangkot Uma Tanam; 8) Adat Bokopoih, Songalakh, Songkioh; 9) Adat Pati; 10) Adat Kompakh Labatn (Kompakgh Kanokh Labatn Bobusa); 11) Adat Pomulak Kata; 12) Adat Pomukak Ra’i (Ponontae’ Tangis, Ponompal Tolinga); 13) Adat Ponulak Lumpokh, Ponulak Ompol; 14) Adat Ngarapm Porau Puakh, Matah Kayu Bodiri; 15) Adat Sarak Rorak (Putus Tali, Patah Kotiti); 16) Adat Modaya; 17) Adat Golangakh; 18) Adat Dinikh Silau; 19) Adat Nomawakh, Ngoramakh, Ngolajok; 20) Adat Pomalik; 21) Adat Polaman, Polayar, Ponyoruga; 22) Adat Poningal Laman; 23) Adat Poningal Pomis; 24) Adat Ponyorarae; 25) Adat Porongkapm Tanah; 26) Adat Ponyampah Rumah; 27) Adat Ponyayar Rumah Tangak; 28) Adat Mae Bokolakh Bini; 29) Adat Nyolamakh; 30) Adat Nucet Iit; dan 31) Adat Ncolok Lawak Lidah Domong Kopalak.

Mengingat keterbatasan ruang dan waktu, penjelasan tentang makna dan arti dari masing-masing batang adat tersebut akan dipaparkan dalam tulisan berikutnya.

Baca juga: Boyas Komakgh Sebagai Simbol Adat Pemberkatan

D. Penutup

Sebenarnya masih banyak jenis batang adat Suku Dayak Kancikgh yang belum termuat dalam tulisan ini, terutama untuk batang adat yang bersifat turunan dari pokok adat di atas, karena setiap aspek dan perilaku hidup Masyarakat Adat Suku Dayak Kancikgh merupakan cerminan dari norma adat istiadat yang diwariskan dan terpelihara secara turun-temurun dari nenek moyang Suku Dayak Kancikgh. Jika terpaksa ditulis semuanya, agaknya satu hamparan bawas pun tidak cukup untuk memuatnya, apalagi satu halaman kertas ini.

Salam Adat.

Botabe’ ngak Tonah Ampah, Bopugok ngak Koramat Dolat, Bolinokh ngak Duata Potara,

Tabe’ Tabe’ Tabe’

Nara Sumber:   Jino, Latep, Meng, Petrus Langet, Iban.