Hopong Prosesi Penyambutan Ala Suku Dayak Uud Danum
Suatu hari, saya berkesempatan untuk mendampingi dan mengantar kawan guru yang baru bertugas di daerah pedalaman. Lebih tepatnya di desa Mensuang, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Ketika kami tiba, seorang tokoh masyarakat dari suku Dayak Uud Danum datang menyapa dengan ramah dan santun.
“Sebelumnya mohon maaf, bapak dan rombongan jangan langsung menuju rumah. Karena kami akan menerima rombongan dengan tata acara adat Dayak Uud Danum dengan mempersiapkan hopong,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.
Sejenak saya berpikir, ternyata warga di desa ini begitu menghargai tamu dan tetap melestarikan budaya nenek moyangnya.
Semula saya menolak, karena dalam rombongan kami tidak ada yang dituakan dan paham tentang bagaimana seharusnya ketika mengantar tamu melewati hopong.
“Sebab guru yang Bapak antar baru menginjakkan kaki di desa ini dan akan mendidik anak-anak kami, maka kami harus menerimanya secara adat,” jelas tokoh masyarakat tersebut.
“Baiklah, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” jawab saya.
Berkat bantuan dan tuntunan tokoh masyarakat setempat, acara “nyuruk hopong” sesuai prosesi adat dapat terlaksana dengan lancar.
Hopong sudah sering saya lihat semenjak usia SD. Bahkan sudah sering sebagai bagian dalam rombongan nyuruk hopong. Tetapi kesempatan sebagai yang dituakan dalam rombongan hampir tidak pernah.
Hopong dibuat oleh masyarakat Dayak Uud Danum pada saat menyambut “orang baru” atau tamu dari luar. Seperti pada saat menyambut rombongan tamu pemerintahan yang akan berkunjung. Menyambut rombongan mempelai pada saat acara pernikahan adat. Dan rombongan tamu pada saat penyelesaian acara kematian (dalok).
Hopong dipasang merintangi jalan yang akan menuju tempat acara atau rumah hajatan.
Untuk lebih memahami tentang Hopong saya bertanya kepada beberapa tokoh masyarakat Suku Dayak Uud Danum.
Bagaimana kalau akses jalan yang menuju lokasi acara lebih dari satu?
Hopong hanya dibuat satu saja. Penempatan hopong dipilih di satu tempat yang jalannya akan dilalui oleh rombongan tamu. Lokasi yang dipilih untuk memasang hopong adalah jalan yang dapat memberikan ruang yang cukup untuk orang banyak berkumpul. Karena di hopong akan ada prosesi adat yang sangat sakral untuk dilaksanakan.
Pemasangan hopong di tengah jalan bertujuan untuk menghalangi tamu langsung masuk ke lokasi acara tempat hajatan/rumah/gedung. Hopong bagi orang dayak uud danum bermakna untuk menghalangi “atang dehiyang jaek” atau roh/aura negatif yang diyakini ikut menyertai atau menumpangi anggota rombongan, dalam perjalanan dari asal menuju tempat tujuan. Dengan adanya hopong, maka roh/aura negatif tersebut akan berhenti/putus sampai di situ. Tentu saja melalui proses adat.
Bahan “kajuk” (kayu) hopong yang dipasang merintangi jalan harus menggunakan kayu “hasang”. Kayu ini jenisnya ringan dan tidak keras tetapi jika sudah kering cukup kuat, daunnya tidak terlalu lebar. Kayu hasang banyak terdapat di hutan atau disekitar tempat tinggal masyarakat.
Panjang kayu hasang untuk hopong disesuaikan dengan lebar jalan yang akan dilewati. Biasanya kurang lebih 2 sampai 2,5 meter. Besar kayu yang digunakan sebesar lengan orang dewasa. Di samping kiri dan kanan hopong terpasang pelepah daun kelapa tua yang masih segar berwarna hijau.
Daun kelapa memiliki banyak kegunaannya. Demikian juga harapan mereka terhadap tamunya. Agar setiap tamu yang datang melewati hopong bisa bermanfaat dan menjadi berkat bagi masyarakat setempat.
Mengapa harus kayu hasang, apakah tidak boleh jenis kayu yang lain?
Menurut penjelasan Arjali Ketua (Dewan Adat Dayak) DAD Kec. Ambalau , kayu hasang dipilih karena memiliki cerita yang sangat panjang dan sakral. Pada zaman dahulu, nenek moyang Uud Danum suka mengayau (mencari kepala manusia). Kayu ini yang digunakan untuk membuat semacam rak untuk menyimpan kepala manusia hasil mengayau. Saya tidak menjelaskan apa dan bagaimana mengayau, karena saya lebih fokus kepada apa itu “hopong”.
Menurut R.B. Doot, A.Ma.Pd.SD. tokoh masyarakat dan pensiunan guru menjelaskan bahwa dahulu pernah ada manusia yang berubah wujud menjadi “Lobahtak” atau naga, orang-orang berusaha untuk membantu agar naga tersebut dapat segera turun ke sungai, maka satu-satunya kayu yang mampu digunakan sebagai galangan hanyalah kayu hasang.
Dasar dari beberapa peritiwa itulah maka nenek moyang memilih kayu hasang sebagai hopong. Karena kayu hasang dianggap memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri.
Mengapa menggunakan batang tebu untuk Hopong?
Rabab, S.Sos. salah satu tokoh masyarakat Kec. Ambalau menjelaskan, nenek moyang terdahulu menggunakan batang tebu untuk hopong, ketika ada kegiatan mengantar “sakai pulank” saat panen padi. Batang tebu digunakan karena batang tebu memiliki anakan yang banyak. Hal ini dimaknai melambangkan kesuburan. Mereka berharap dengan menggunakan batang tebu sebagai hopong akan membawa hasil yang melimpah bagi kedua belah pihak.
Anastasia Jaini, A.Ma.Pd.SD. pensiunan guru SD menjelaskan, “Sekarang banyak masyarakat memilih batang tebu sebagai bahan hopong ketika acara menyambut tamu”.
Misalnya, untuk menyambut pejabat daerah dan pesta pernikahan. Karena berkeyakinan dengan batang tebu yang membawa makna kesuburan.
Di hopong disiapkan ayam, babi, tombak, sirou, "takui darok” (semacam topi/caping yang terbuat dari bahan rotan , “kacang uwoi” (tikar dari bahan rotan) dan kain panjang yang baru. Di bagian sebelah atas juga dirintangi dengan “lambuk” tali yang terbuat dari benang. Tidak lupa juga disiapkan “sahkang palik” ramuan alami yg dibilas di kepala yang hadir agak tidak terjadi sesuatu musibah jika dalam pelaksanaan adat ada tutur kata atau tingkah laku yang tanpa sadar diucapkan atau dilakukan selama pesta berlangsung.
Pada saat tamu datang, mereka harus berhenti terlebih dahulu di depan hopong.
Apa saja yang dilakukan di depan hopong?
Di hopong dilakukankan prosesi adat berupa “pohpas” oleh tetua adat kepada semua anggota rombongan. Seekor ayam yang masih hidup dikibaskan di atas kepala para rombongan tamu. Tujuannya untuk menghalau roh jahat dan aura negatif yang ikut menyertai “menumpangi” rombongan tamu pada saat melakukan perjalanan menuju acara. Pohpas akan lebih khikmat bila dilakukan dengan lantunan berupa “parung”.
Kemudian ayam dipotong dan babi ditombak. Ini bertujuan agar roh jahat atau aura negatif yang menyertai/menumpangi para tamu dapat makan dan minum darah hewan tersebut. Masyarakat adat Dayak Uud Danum percaya bahwa jika roh otuk-lio (roh para hantu dan mahluk halus) telah kenyang mencicipi darah hewan yang dikurbankan, maka para roh akan pulang ke asal mereka di alam gaib. Sehingga roh itu tidak akan mengganggu manusia yang akan melaksanakan acara.
Prosesi selanjutnya adalah lantunan parung yang dilakukan secara bergiliran oleh kedua belah pihak yang berisikan tujuan dan harapan datang ke acara hajatan.
Selanjutnya, “Takui darok” dan “kacang uwoi” serta kain panjang dibuka oleh tamu yang lebih tua (mempunyai banyak pengalaman hidup) dengan diiringi ucapan alasan berupa pengalaman yang “dianggap” melebihi kelaziman manusia pada umumnya.
Kemudian di hopong dilakukan pemasangan “sirou” atau tali “tongang” (gelang manik-manik yang diikat dengan benang dari serat kulit kayu “tongang”). Makna pemasangan sirou untuk menguatkan jiwa dan roh para tamu yang disebut “semenget meruak”.
Acara yang dinantikan adalah pemotongan hopong oleh yang dituakan di pihak tamu. Pemotongan hopong kayu “hasang” tersebut wajib menggunakan mandau (senjata khas dayak). Ketika memotong hopong kayu hasang atau tebu harus terpotong tuntas. Maknanya adalah agar dengan dipotongnya hopong maka hilang/habis tanpa sisa pula segala “atang dehiyang jaek” aura negatif sehingga rombongan tamu dapat bergabung bersama dalam acara/hajatan dan bagi yang akan menetap diliputi aura positif,
Pada saat memotong hopong disertai pula dengan mengucapkan kalimat-kalimat bisa berupa mantra, yang mengarah kepada harapan-harapan yang baik.
Prosesi terakhir di hopong adalah atraksi “lawang sekehpeng” atau pencak silat. Dilakoni oleh masing-masing perwakilan kedua belah pihak yang diiringi dengan musik gong berirama “gendang silat”. Ini melambangkan bagaimana kedua belah pihak harus saling bekerja sama untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta saling melindungi selama acara berlangsung.
Setelah acara lawang sekehpeng, maka tamu dipersilakan untuk menuju rumah atau lokasi acara hajatan untuk melanjutkan acara berikutnya.
Apa yang wajib ada di hopong?
Rabab, S.Sos. kembali menjelaskan, prosesi adat di hopong dapat disesuaikan dengan jenis acara yang dilaksanakan. Yang wajib ada dan harus dilakukan di hopong dan tidak boleh tidak adalah ayam untuk pohpas , babi biarpun kecil.
Acara hopong suku Dayak Uud Danum merupakan tradisi leluhur. Terus dilestarikan hingga kini. Hopong mengajarkan kepada kita tentang budaya tata krama nenek moyang saat berkunjung ke suatu wilayah. Sejak jaman dahulu, nenek-moyang orang Uud Danum saling menjaga etika. Baik yang berkunjung maupun yang akan dikunjungi tidak boleh sembarangan masuk tanpa ijin ke suatu tempat/wilayah orang lain dan tetap dengan membawa keberkahan bagi kedua belah pihak.