Sastra

Hikayat Panglima Burung: 4.0

Minggu, 14 Februari 2021, 13:40 WIB
Dibaca 2.183
Hikayat Panglima Burung: 4.0
Ilustrasi oleh: M.S. gumelar, ig: @bubblegumelar email: ms.gumelar@gmail.com © 2006 Source: https://opensea.io/assets/0x495f947276749ce646f68ac8c248420045cb7b5e/34470142884482375674331152583341387110725961593908059002011226518606013530113/

Perjuanganku untuk menyadarkan sekaligus melindungi Suku Dayak bukanlah suatu pilihan, tetapi kewajiban yang tidak dapat ditolak, mengalir kuat dalam memoriku. Kini setelah sekian milenia, aku ditarik kembali, mindporting dengan panggilan untuk memiliki tubuh baru yang terisi dengan memori lamaku. Seperti sebelumnya, pasti ada yang harus aku lakukan untuk melindungi Suku Dayak di masa ini.

“Tidak bisa!” teriak seorang pria berkumis tebal dengan jenggot putih memanjang, matanya berbinar penuh ketegasan.

“Sudah saatnya mengedarkan mangkuk merah, kalau tidak, Suku Dayak hanya akan menjadi sejarah saja di masa depan, Djata,” kata Ampong, matanya memerah menahan amarah.

“Dengar Ampong, aku tidak yakin, di antara kita yang hanya tersisa 300 orang ini benar-benar memiliki darah sejati atau secara genetis adalah Darah DNA Dayak, sebab dengan terjadinya kawin campur dan juga dengan ratusan suku dan ras lainnya di masa ribuan tahun yang lalu, kita sendiri pun tidak yakin apakah kita juga masih layak disebut Dayak?” jelas Djata masih dengan wajah dan mata penuh ketegasan.

“Aku tahu Djata, yang kita milik sekarang hanya Budaya dan Kebudayaan Dayak saja yang tersisa dan kita lestarikan sebagai identitas, aku juga tahu diri bahwa aku juga belum tentu memiliki DNA atau genetis dari Suku Dayak yang asli, semua kini hanya cara kita mencari kehidupan secara ekonomi, tetapi ancaman dari luar akan meluluhlantakkan Suku Dayak yang kita miliki, entah aku tidak tahu apakah asli atau tidak, tetapi mari kita bersatu untuk melawan dengan cara leluhur kita di masa lalu, saatnya ngayau dengan bantuan leluhur” ucap Ampong dengan wajah tetap memerah padam, terlihat menekan amarah yang membara.

“10 Khuntien terdeteksi memasuki area persembunyian kita dalam waktu 10 menit lagi, diperlukan keputusan dan gerak cepat untuk melakukan ritual mangkuk merah!” teriak Harati dengan wajah cemas, walaupun berusaha tetap tenang.

“Satu Khuntien saja dapat menghabisi 300 orang dalam waktu 10 menit, kini mereka mengirimkan 10 khuntien, segera!” teriak Purok.

“Baiklah, aku tidak yakin apakah akan berhasil, sebab tidak akan menjamin kita melakukan ritual untuk mengedarkan mangkuk merah akan mendatangkan dan memanggil memori leluhur untuk dapat hinggap, mindporting, dan menyatu dengan salah satu tubuh 300 orang Dayak yang di sini, belum tentu dan sangat meragukan sebagai garis genetis Dayak, atau bahkan hal ini cuma mitos,” ucap Djata tampak penuh ketenangan.

“Djata, ya atau tidak?” teriak Purok.

“Ya! Lakukan Nara!” Djata memberikan izin sekaligus aba-aba untuk melakukan ritual proses mangkuk merah.

Nara dengan sigap menggunakan getah berwarna merah dari pohon jaranang dan mulai melakukan pemanggilan memori dari masa lalu ke masa kini.

“Aku tidak tahu apakah kata-kata yang diucapkan Nara adalah benar-benar Bahasa Dayak, sebab Bahasa Dayak telah punah ribuan tahun lalu,” bisik Harati kepada Hante, pria yang bertubuh besar dan tampak kuat.

“Hm …,” Hante hanya berdehem pada Harati.

Suasana mencekam, 300 orang yang tidak yakin bahwa mereka adalah benar-benar secara genetis keturunan Suku Dayak melakukan ritual dengan kesangsian dan harapan yang seakan pupus, bagai memegang rumput di saat akan jatuh ke jurang, tidak ada harapan.

KRAAAAANG
CLAAAANG!

Suara pintu metal terbelah dan jatuh ke lantai metal pula, bukan berdebum tetapi berdenting keras.

Hukh …
Hukkh …
Hukkh!

Seorang wanita muda kurus dan lemah tampak terbatuk, yang lain tampak tidak terganggu, sepertinya hal itu sudah biasa terjadi.

“Khuntien sudah menembus pintu paling luar persembunyian kita,” Harati menginfokan dengan suara pelan agar tidak mengalahkan suara Nara yang sedang melakukan proses ritual mangkuk merah.

“Kita pasti akan habis, semua dari kita akan habis,” Harati menoleh pada Danum, seorang gadis muda yang terlihat lemah, sakit-sakitan, menderita asma akut sejak kecil, paling lemah di antara 300 orang yang ada.

“Aku …., maaf aku sebenarnya tidak tahu apakah kalimat ini benar-benar Bahasa Suku Dayak, bukankah Bahasa Suku Dayak beragam di masa lalu, kini pun aku ragu apakah in …, ini Bahasa Dayak? Bahasa Dayak suku yang mana dari sekian suku?” Nara mendadak berhenti dan wajahnya terlihat tidak percaya diri.

Semua mendadak saling berpandangan. Di kejauhan terdengar derap keras …

CLAAAAAANG
CLAAAAAANG

“Nara, lakukan saja apa yang kau percaya!” teriak Djata.

“Ba …, Baik!” Nara segera kembali ke keadaan semula.

Hante mengambil detektor dari tangan Harati.

“Yang merasa memiliki jiwa pejuang garis depan. Ayo! Para khuntien sudah memasuki pertahanan lapis ke tiga,” ajak Hante sembari menunjukkan peta yang mendadak muncul terproyeksi di udara dari alat yang digenggamannya.

“Siap!” sebanyak sepuluh orang pria dan delapan orang wanita mengambil mandau sinar plasma, mengikuti Hante yang berjalan memimpin dengan langkah penuh ketegaran.

“Lima menit lagi mereka akan sampai” bisik Harati ke Danum.

“Hukh …, hukkh, hukkh! …,” Danum batuk dengan suara keras.

Danum tampak lelah, kurus, dan lemah, telah berperang dengan penyakitnya sendiri selama hidup. Obat merupakan hal yang langka di daerahnya, sehingga Danum tidak akan sembuh, hidup orang yang mengaku sebagai Suku Dayak ini penuh dengan penderitaan, mereka tidak tahu mengapa para khuntien ini mengejar dan membunuh mereka.

Yang dia tahu, dulu area di mana pun tenteram, tidak ada ancaman. Suku Dayak di masa lalu hidup dari budaya dan kebudayaannya di antara lainnya, banyak turis datang dari luar daerah Dayak. Namun sekitar tujuh puluh tahun lalu, mendadak seseorang seperti membuka kotak pandora, kemudian muncul khuntien yang mulai mengejar manusia, ya tidak hanya Dayak, semua manusia, dan Dayak adalah manusia yang terakhir yang masih mampu melawan.

Danum dan keluarganya dulu sering berpindah tempat dari satu area ke area lainnya agar terhindar dari kejaran para khuntien, sampai kedua orang tuanya tewas di tangan salah satu khuntien, khuntien tersebut masih Danum ingat sampai sekarang, ada lubang besar di area belakangnya karena hantaman sinar laser dari ayahnya sebelum ayahnya tewas terkena pedang sinar khuntien tersebut.

Danum melarikan diri di antara reruntuhan dan puing-puing metal, tubuh kecilnya dengan gesit meloloskan diri walaupun dengan napas tersengal, dan diselamatkan oleh Djata.

Ya Djata bagai ayah pengganti bagi dirinya, memberi dia harapan hidup, makanan, perlindungan, dan kebijaksanaan hidup.


*


Di kejauhan tampak Hante dan para pejuang lainnya mulai bersiaga, lapisan perlindungan ketiga mulai tembus.

CLAAANG
CLAAAAAANG
CLAAAAAAAAAANG

Muncul di balik metal yang berjatuhan mengenai lantai metal sebentuk sulur bagaikan sulur kaki gurita dan kemudian tubuhnya terlihat, tubuhnya bagaikan manusia disertai dua lengan yang mampu dipanjangpendekkan seperti sulur dengan jari jemari seperti tangan manusia yang menggenggam dua pedang sinar berwarna hijau sekaligus.

“Khuntien …,” desis Hante.

“Tunggu aba-aba dariku, siapkan mandau kalian!” teriak Hante.

Selang tak lama kemudian, lebih banyak lagi khuntien yang memasuki area hutan yang seperti dilapisi oleh kubah metal tersebut, dan mereka terlihat sangat agresif, tujuan mereka cuma satu, menghabisi semua Suku Dayak yang ada.

*

“Nara!” teriak Djata.

“Sudah!, sini, ayo edarkan!” jawab Nara.

Djata terpaku, matanya mendadak mengalir air mata, dan menetes.

“Kenapa?” tanya Nara.

“Ada yang salah, atau memang ini cuma mitos, harusnya kau yang menjadi pelindung kami, mendapatkan kekuatan dewa setelah proses mangkuk merah ini selesai, kau harusnya dihinggapi memori leluhur!” suara Djata dalam dan berat menekan kesedihan kuat dalam tenggorokannya karena menahan tangis.

“Ampuni aku para leluhur, aku bukanlah kepala suku Dayak, hanya yang kebetulan paling tua di antara kalian, makanya kami memilih kamu Nara untuk menjadi panglima perang sekaligus pemanggil memori leluhur, keputusan ini terbukti salah, kita semua akan mati!” Djata kehilangan kesabarannya ditandai dengan teriakan dan tekanan kuat pada kata mati yang diucapkannya kepada Nara.

Semuanya menoleh dan melihat ke arah Djata.

“Aku …, aku juga tidak yakin apakah mantra yang aku ucapkan adalah benar? Maafkan aku Djata …,” keluh Nara.

“Baiklah, paling tidak kita lanjutkan saja mengedarkan mangkuk merah ini …,” Djata berbisik pada Nara.

“Edarkan mangkuk merah ini dan semoga para jubata melindungi kita semua!” Djata memberikan mangkuk merah tersebut kepada orang yang ada di sampingnya, kemudian Djata bergerak mengambil mandaunya.

Mangkuk merah tersebut bergerak dari satu orang ke orang lainnya. Sampai pada Harati.

“Sepertinya sia-sia saja, mitos dan binasanya genetis dan budaya dari Suku Dayak yang sesungguhnya dan kita berilusi bahwa kita mengerti Budaya Dayak dan bahasanya, kita bukanlah Dayak,” keluh Harati kepada Danum.

“Hukh …, hukkh, hukkh! …,” Danum memegang mangkuk merah yang diberikan kepadanya, tubuhnya sangat lemah karena penyakit asma, kesulitan bernapas, bahkan beberapa tahun terakhir disertai pneumonia yang belum juga sembuh, setiap hari selalu batuk.

AAAAARGH
AAAAAAAAAAAAAA!
AAAAAAAAAAAAAAAAAAKH!

Di kejauhan terdengar suara Hante dan teman-teman lainnya.

Yang lain langsung tahu, Hante dan teman-teman yang menghadang para khuntien telah tewas.

Genggaman tangan orang-orang yang ada di ruangan tersebut mulai menguat pada mandau sinar masing-masing.

Mangkuk merah telah sampai pada orang terakhir yang ada di ruangan tersebut, semua hening, menunggu keajaiban.

CLAAAAAANG
CLAAAAAAANG
CLAAAAAAAANG
CLAAAAAAAAANG
CLAAAAAAAAAANG
CLAAAAAAAAAAANG
CLAAAAAAAAAAAANG

Terlihat lapisan pelindung terakhir telah hancur, di tengah kepulan asap dari metal yang terkoyak, muncul para khuntien, satu per satu bermunculan, mereka berjejer dengan rapi, sebanyak sepuluh khuntien, tidak berkurang satu pun.

“Demi Suku Dayaaaaaaaak!” teriak Djata. Kemudian Djata menerjang ke arah para khuntien. Sikap Djata diikuti oleh Nara, dan juga yang lainnya.

Harati tertegun, dan melihat ke arah Danum,”Danum, saat seperti ini, melarikan diri adalah langkah yang terbaik, agar suku kita bisa bertahan dan berkembang di masa depan,” ucap Harati dengan mata tajam ke arah Danum.

”Danum, saat seperti ini, melarikan diri adalah langkah yang terbaik, agar suku kita bisa bertahan dan berkembang di masa depan." 

“Tidak Bang, Danum juga sudah lama berlari, menderita karena sakit, dan juga tidak ada orang tua, mungkin mati sebagai kesatria adalah pilihan terbaik,” wajahnya terlihat putus asa.

“ARRRRRRGH” Djata berteriak tertahan saat pedang sinar salah satu khuntien menembus tubuhnya, mengoyaknya dan melemparkannya dan secara tidak sengaja jatuh di dekat Danum.

Satu demi satu orang yang ada di ruangan tersebut tewas dengan cepat. Harati berlari menjauhi area pertempuran dan mencari tempat persembunyian, meninggalkan Danum. Danum terisak di dekat tubuh Djata yang bersimpah darah, meregang nyawa. Tangannya menjangkau wajah Danum, belum sampai ke wajah, mendadak terkulai.

Danum semakin terisak. Perasaannya bercampur aduk, semuanya tidak ada harapan, harapan terakhirnya pada ritual mangkuk merah, dan ternyata hampa belaka, semuanya cuma mitos.

Kini pilihannya tinggal mati, terbebas dari derita, terbebas dari sakitnya, menyusul orang tuanya, menyusul Djata ayah angkatnya. Danum siap dengan semua itu, siap menerima segalanya, siap mati, mati. Mendadak pikirannya menjadi tenang, damai, karena kesiapan menyongsong mati.

Diambilnya mandau sinar yang tergeletak di dekat tangan kanan Djata. Kemudian Danum berjalan tenang, sangat tenang ke arah para khuntien, para khuntien tidak menyadarinya.

Mendadak sabetan mandau sinar mengenai satu kepala khuntien, ngayau! Satu kepala khuntien yang dadanya ada lubang besar terputus dengan lonjakan listrik di lehernya. Danum melayang turun dengan ringan, bagaikan burung enggang, sekilas terlihat samar seperti ada sepasang sayap energi plasma di belakang punggung Danum. Para khuntien lainnya terperangah, mengarahkan semua pandangannya ke arah Danum.

Belum pernah sekalipun sebelumnya seorang manusia mampu mengalahkan khuntien, kali ini rekor itu telah hangus, Seorang gadis muda yang tampak lemah, kurus, dan penyakitan kini bergerak sangat ringan, cepat, dan bagaikan burung melayang, menerjang sebarisan khuntien yang satu per satu berjatuhan dengan kepala putus, ngayau.

“Panglima Burung!” teriak Harati yang keluar dari tempat persembunyiannya.

Semua orang yang tersisa sebanyak dua puluh satu orang tergetar memandang kehebatan Panglima Burung yang mampu menghabisi sepuluh khuntien dalam waktu hitungan detik.

HOREEEEEEEEE!

Mereka berteriak penuh kemenangan, sembari berlari ke arah Danum, mengangkatnya sembari berteriak.

Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!
Panglima Burung!


Kemudian mendudukannya di atas pelataran di mana tempat awal ritual mangkuk merah dilakukan. Semuanya kemudian berjajar rapi, menunggu sesuatu dari Panglima Burung yang berdiri gagah di atas altar.

“Dengarkan Suku Dayak yang aku cintai, tidakkah kau tahu bahwa kau tidak tinggal di suatu area pertanian, pedesaan, perkotaan, atau hutan, perlu waktu bagi memoriku untuk mencari di lokasi mana kalian berada,” ucap Panglima Burung.

“Bukankah selama ini kami tinggal di perkotaan, pedesaan, dan hutan?” jawab Harati.

“Tidak, kalian tinggal di pesawat ruang angkasa yang menuju ke planet baru, di mana planet kalian yang lama telah hancur karena bencana oleh robot yang telah di-hack oleh seseorang yang serakah, sehingga dengan menggunakan robot yang kalian sebut sebagai khuntien dari kata sentien, robot buatan untuk menguasai planet lama dan memburu lawan politiknya, dan kalianlah lawan politik tersebut …” ucap Panglima Burung.

“Kedua lawan politik saling menggunakan sentien untuk membunuh lawan dan pengikut politik lainnya, sehingga semua manusia, tidak hanya Suku Dayak, juga ikut punah, beberapa berhasil melarikan diri, tetapi ada sepuluh sentien yang berhasil menyusup dan mengejar kalian selama seribu tahun ini di pesawat ini,” jelas Panglima Burung.

“Seribu tahun, Pesawat?” Harati tertegun.

“Ya pesawat ruang angkasa, secara sengaja sekitar tujuh puluh tahun lalu seseorang berhasil membuka ruang isolasi dan pembeku sentien robot tersebut, ” Panglima Burung kemudian berjalan ke suatu tempat, dan melakukan sesuatu secara manual. Mendadak ruangan seperti hutan berubah menjadi ruangan penuh dengan layar dan panel.

“Ilusi yang seolah nyata?” kata Harati.

“Ya hologram dengan teknologi tinggi,” jelas Panglima Burung, “kalian lihat, di jendela sana terlihat bintang-bintang dan luar angkasa yang luas, aku yakin kalian akan melihat laut di planet tujuan kalian,” jelas Panglima Burung.

“Laut?” gumam Harati.

“Laut? Laut yang berupa hamparan air tetapi bukan air hanya garis pemandangan saja selama ini itukah” kata wanita yang ada di kanan Harati.

“Ya laut,” jawab Panglima Burung,”karena di pesawat ini tidak ada laut, hanya pemandangannya saja, maka di planet tujuan kalian akan melihat laut yang sesungguhnya.”

“Dalam waktu 172 jam, pesawat ini akan mendarat secara otomatis ke planet baru kalian, nikmati hidup kalian, dan hiduplah sebagai Suku Dayak yang menyatu dengan alam. Jadilah Dayak Laut, Dayak Sungai, dan Dayak Darat seperti leluhur kalian, hiduplah dengan damai, sampai suatu saat keturunan kalian akan menjadi Dayak Ruang Angkasa lagi di suatu masa,” jelas Panglima Burung.

“Selama di sini, satu hal yang pasti, kalian bisa menggunakan kata-kata untuk meminta obat atau makanan dari pesawat ini,” jelas Panglima Burung.

“Akses obat pneumonia,” perintah Panglima Burung. Mendadak seberkas cahaya muncul di telapak Panglima Burung, sebotol obat pneumonia ada di sana,”berikan obat ini kepada Danum,” diberikannya kepada Harati.

“Setelah ini kau akan ke mana?” tanya Harati.

“Aku akan kembali lagi saat generasi penerus kalian memanggilku lagi, selamat tinggal,” ucap Panglima Burung.


*

Danum terduduk lemas, napasnya tersengal. Dia heran mengapa semua orang melihat kepada dirinya.

Harati bergegas ke arahnya, membimbingnya, serta mendudukan Danum di altar, Harati berkata, ”Akses air,” kemudian air dalam botol muncul di depan Harati.

“Whaow!,” Danum kagum dengan hal itu, Harati kemudian membuka tutup botol obat dan memberikan satu kapsul obat pneumonia untuk diminum oleh Danum.

“Nanti kau juga akan bisa,” bisik Harati kepada Danum.

Danum tersenyum kepada Harati, Harati senyum balik.


*

Musik sape mengalun dengan indah, menenteramkan pikiran.

“Satu jam lagi kita akan mendarat di planet tujuan yang telah ditetapkan oleh leluhur kita, akan kita beri nama apa planet ini?” ujar seorang wanita bagian navigasi.

“Humi,” jawab Harati.

“Humi, bumi, home, rumah?” tanya Danum.

“Ya rumah,” Harati melihat ke arah Danum yang berpakaian bersih, sudah sehat, dan tampak cantik.

“Pak Ketua Suku Harati, kita akan mendarat di area yang paling datar yang telah diperhitungkan oleh nenek moyang kita,” kata wanita bagian navigasi.

“Baik, siapkan semuanya sesuai keperluan, kita akan memiliki rumah yang sesungguhnya di Planet Humi ini,” perintah Harati.


*

Author:

M.S. Gumelar

Twitter @MSGumelar

Instagram @bubblegumelar

Cerita mini (cermin) ini juga terpublikasi di An1magine

Cerita terkait yang juga melibatkan Panglima Burung