Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat
Judul: Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat
Penulis: Lie Sau Fat alias X.F. Asali
Tahun Terbit: 2008
Penerbit: Muare Public Relation
Tebal: xiv + 159
ISBN: 978-979-1041-02-7
Ketika suatu hari saya berkunjung ke Manokwari, saya bertemu dengan komunitas orang Jawa yang dulu orangtuanya bertransmigrasi ke Papua. Saya senang karena ternyata mereka masih memelihara budaya Jawa meski mereka sudah generasi kedua yang sudah lahir di Tanah Papua. Mereka masih belajar tentang tembang macapat, belajar menabuh gamelan dan kadang-kadang mengundang dalang dari Jawa untuk menggelar wayang kulit dalam acara-acara tertentu.
Saat ini saya bekerja di Kalimantan Utara. Populasi orang Batak di Kota Tanjungselor, Kalimantan Utara tidaklah besar. Namun mereka mempunyai gedung gereja HKBP. Ketika mereka saling bertemu, maka mereka menggunakan bahasa Batak untuk berkomunikasi. Orang Batak yang populasinya kecil tetap memelihara budayanya.
Memang etnisitas tak bisa dipisahkan dari budayanya.
Buku “Aneka Budaya Tionghoa di Kalimantan Barat” karya Lie Sau Fat ini adalah bukti lain bahwa orang-orang Tionghoa yang tinggal di Kalimantan Barat juga masih memelihara budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Kita tahu bahwa populasi orang Tionghoa di Kalimantan Barat cukup besar. Mereka sudah ada di Kalimantan Barat jauh sebelum Negara Indonesia lahir. Mereka sudah ada di Kalimantan Barat bahkan sejak abad 13. Selama ini masyarakat Tionghoa hidup berdampingan dengan suku dan etnis lain.
Dalam kehidupan sehari-hari interaksi masyarakat Tionghoa dengan suku dan etnis lain berjalan dengan sangat baik. Meski sempat surut di era Orde Baru, budaya Tionghoa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan Barat. Saling mengenal budaya adalah cara untuk mempererat harmoni antaretnis. Hal ini diamini oleh Usman Ja’far, Gubernur Kalimantan Barat di pengantarnya. Sementara Zulfadhli, Kepala DPRD Kalimantan Barat melihat keanekaragaman budaya adalah sebuah potensi bagi kemajuan Kalimantan Barat.
Jika selama ini pengenalan budaya Tionghoa hanya melalui pertunjukan budaya, wawancara-wawancara singkat atau artikel-artikel yang muncul menjelang dan saat perayaan hari-hari besar, kehadiran buku ini membuat kita bisa mengenal dan mempelajari kebudayan Tionghoa Kalimantan Barat dengan cara yang lebih mendalam dan sistematis. Dalam hal ini kita patut mengapresiasi Lie Sau Fat alias X.F. Asali yang telah menulis buku ini.
Sebelum membahas berbagai budaya Tionghoa Kalimantan Barat, Lie Sau Fat memberikan konteks kedatangan orang-ornag Tionghoa di Kalimantan Barat (bab 1). Konteks ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa sesungguhnya masyarakat Tionghoa tak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah Kalimantan Barat jauh sebelum Indonesia lahir.
Lie Sau Fat menjelaskan tentang beberapa perayaan/hari besar Tionghoa yang masih dirayakan oleh masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat. Beberapa hari besar tersebut adalah Tahun Baru Imlek (hal. 7), Cap Go Meh (hal. 27), Tradisi Sembahyang Kubur (hal. 47) dan Festival Kue Bulan (hal. 73).
Selain dari perayaan-perayaan hari-hari besar tersebut, Lie juga memasukkan sebuah tradisi yang sudah diadaptasi dengan kondisi setempat. Tradisi Mandi U-Shi di Sungai Kapuas (hal. 31) adalah bentuk dari adaptasi tradisi yang dibawa oleh nenek moyang yang disesuaikan dengan situasi lokal.
Bukan hanya tentang perayaan-perayaan, Lie melengkapi tulisannya dengan sejarah dan makna dari setiap perayaan-perayaan. Ia juga memberikan pengetahuan kepada pembacanya tentang sesuatu yang berhubungan dengan perayaan tersebut, misalnya tentang kue ba cang, kue cot, air U-shi, liong, barongsai dan sebagainya. Lie menggali informasi sampai ke awal munculnya perayaan-perayaan di jaman dinasti-dinasti di Tiongkok.
Tentang Barongsai misalnya (hal. 23), Lie mengisahkan bahwa pertunjukan ini sudah ada di jaman Dinasti Xie Han (206 SM – 24 M). Pertunjukan barongsai ini dibawa oleh para imigran dari dataran Tiongkok ke Kalimantan Barat.
Lie melengkapi buku ini dengan tradisi perkawinan, aturan adopsi dan tentang marga orang-orang Tionghoa. Tiga artikel ini membuat nilai buku ini semakin tinggi. Pemaparan adat istiadat perkawinan orang Tionghoa di Kalimantan Barat berakar kuat pada budaya orang Hakka.
Tiga artikel terakhir ini membahas aspek lain dari budaya orang Tionghoa di Kalimantan Barat di luar perayaan dan ritual. Sebab budaya memang bukan sekadar perayaan atau ritual. Tapi juga aturan-aturan cara hidup dan cara bermasyarakat.
Di bagian akhir, dimuat tanggapan dari akademisi, tokoh-tokoh berbagai agama dan tokoh-tokoh adat dari berbagai etnis. Tanggapan-tanggapan ini, terutama dari Syarif Ibrahim Alqadrie membuat buku ini menjadi lebih bernilai dari sisi akademik. Syarif Ibrahim Alqadrie adalah seorang professor sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura. 718