Budaya

Jangan Remehkan Kata Terima Kasih

Rabu, 20 Januari 2021, 06:32 WIB
Dibaca 580
Jangan Remehkan Kata Terima Kasih
Foto: @zoelfick

"Terima kasih!"

Pernah terharu karena ucapan ini dan terkadang kita jengkel. Samalah, orang-orang yang pernah kita temui pun bisa senang atau mungkin jengkel karena dua kata itu. Kok bisa?

Lha iya, selugu-lugunya anak manusia, biasanya akan mampu meraba ketulusan di balik kedua kata ini. Anda juga begitu, kan?

Samalah. Setiap kali Anda mendengar ucapan itu, bisa merasa mendapatkan pengaruh baik atau sebaliknya buruk. Pengaruh baik, Anda bisa merasa lebih antusias karena kebaikan Anda dihargai karena terasa diucapkan tulus setelah mendengar kalimat pendek itu. 

Anda merasa mendapat pengaruh buruk, jika ucapan itu dikeluarkan mulut yang sulit sinkron dengan bagian tubuh lainnya. Anda bisa meraba ketidaktulusan di sana, dan ini terkadang bikin Anda gusar, berang, atau bahkan sakit hati.

"Ah! Ini orang nggak tahu terima kasih banget. Ngucapin terima kasih doang nggak tulus!"

Eit! Apakah kita sendiri tulus? Sebab, orang yang tulus cenderung takkan gampang sakit hati. 

Lha, kita semua sadarlah jika melakukan sesuatu dengan tulus, orang lain mau berterima kasih atau tidak, bodo amat! Atau, kalau seseorang berterima kasih dengan tulus atau tidak, terserah dia sajalah. 

Ini bukan sedang ngatain Anda, sih. Beneran ini cuma lagi ngatain diri sendiri doang, kok. 

Tahu berterima kasih. Apakah aku sudah di titik ini? Ini sih yang sering kupertanyakan ulang kepada diri sendiri. Terkadang, hati kecil memang lebih jujur, "Gue ngerasa belum cukup berterima kasih. Banyak orang baik gue temui, tetapi terima kasih gue kok terasa cuma basa-basi yang beneran basi?" 

Hati kecil memang menyimpan kejujuran besar. Bedakan dengan berkecil hati, lho. Berkecil hati, ya, itu perasaan yang muncul karena merasa ciut, minder, dlsb.

Kenapa banyak orang malah jadi berkecil hati karena merasa tidak mendapatkan terima kasih? Jangan orang lain deh, aku sendiri, misalnya. Kenapa bisa kecil hati?

Ya, bisa jadi karena aku sendiri tergila-gila mendapatkan terima kasih, sementara aku sendiri tidak tahu berterima kasih. Gitu nggak, sih? 

Inilah yang melemparkan ingatanku saat berkunjung ke beberapa pelosok Tanah Air, entah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, atau di Pulau Jawa yang kini jadi tempatku bersama anak dan istri. 

Di kampung-kampung, biasanya jika Anda bertamu ke rumah penduduk, justru Anda yang mendapatkan ucapan terima kasih. "Terima kasih, Pak. Walaupun kami cuma tinggal di rumah sederhana, di dusun gini, Bapak masih sempatkan datang ke sini." 

Padahal, yang repot justru tuan rumah. Entah repot harus mendadak merapikan rumah lagi karena terkadang centang perenang karena anak-anak bermain. Mereka bersih-bersih lagi hanya supaya Anda merasa nyaman sekaligus merasa dihargai si empunya rumah. Juga, bisa karena repot mengurus minuman apa dan makanan apa yang bisa disajikan. 

Misalnya di Aceh, kampungku sendiri, tradisi di sana, jika ada tamu maka harus segalanya manis! Disambut dengan senyuman manis, disapa dengan sapaan manis, dan makanan dengan minuman pun banyak disajikan yang manis-manis.

Tak jarang, mereka rela berutang gula ke warung yang ada di kampung, atau meminjam ke tetangga jika kebetulan di rumah kehabisan gula, cuma demi menyajikan yang manis-manis untuk tamunya.

Baca Juga: Salah Kaprah Budaya "Toleransi"

Ini juga yang bikin aku terngiang candaan romantis ala bapakku kepada ibuku, "Kau itu selalu manis setiap kali orang bertamu, tapi suka pedes ke suamimu sendiri." Maklum, bapak mana yang benar-benar selamat dari pedesnya mulut istri, kan? 

Kembali lagi, begitulah gambaran akrabnya terima kasih dengan mereka di kampung.

Tidak cuma kata-kata "terima kasih sudah mau singgah kemari" tetapi juga diikuti sikap dan perlakuan yang sangat mencerminkan rasa terima kasih itu.

Mereka bisa tak peduli cibiran karena buat sekilo gula saja terpaksa berutang. Mereka bisa menerima sakit hati saat dipandang rendah karena untuk menyajikan segelas teh manis saja mesti ngutang. Cuma untuk satu bukti yang ingin mereka beri, bahwa terima kasih dari mulut kami bukan karena memang bibir terlalu ringan untuk digerakkan. Melainkan, kami benar-benar berterima kasih. 

Ini nih, yang setiap kali kurenung-renung lagi, bikin kepala sendiri terus bertanya-tanya; "Apa iya aku sendiri selama ini sudah benar-benar berterima kasih? Atau terima kasihku benar-benar cuma basa-basi yang benar-benar basi?"

***