Bila Pemimpin Dilanda Amarah
Marah, kesal, kecewa, adalah ungkapan emosi wajar manusia. Namun, menjadi tidak wajar ketika rasa itu diluapkan pada waktu dan kesempatan yang keliru. Amarah yang meluap-luap dipertontonkan Gubernur Jambi Zumi Zola (Januari 2017) ketika sidak di RSUD setempat, menjadi salah satu contoh amarah yang berlebihan.
Dia berteriak, memukul meja, hingga menendang tong sampah. Sama seperti amarah yang pernah ditunjukkan oleh para pemimpin lain sebelumnya. Pemimpin tidak layak marah-marah dengan cara seperti itu, apalagi pada situasi dan kondisi yang tidak pas.
Potret emosional pemimpin di Indonesia bukan hal baru. Kita sering melihat para pemimpin pada bermacam level, meluapkan emosi tak terkendali. Sekilas hal tersebut menunjukkan kekuatan sebagai seorang yang punya kuasa lebih. Sedangkan yang dimarahi biasanya adalah anak buahnya, atau orang yang levelnya di bawah sang pemimpin. Pada sudut pandang yang lain, bisa jadi pemimpin tersebut bakal mendapatkan cap sebagai pemimpin arogan dan sombong.
Semangat yang tinggi berbeda dengan emosi meluap-luap. Kadang, pemimpin yang penuh semangat kebablasan dalam bersikap, bertindak dan berucap. Emosinya melebar ke mana-mana. Selain kasus gubernur Jambi baru-baru ini, kita sudah akrab dengan tipikal pemimpin jenis ini pada diri Basuki Purnama atau Ahok. Gubernur petahana Jakarta ini terkenal ceplas ceplos dalam berbicara, memarahi anak buah di manapun berada, memaki dan sejenisnya. Kita juga kerap mendapatkan tontonan Bupati Lebak Banten Iti Octavia atau kepala daerah lainnya memperlihatkan emosi kemarahan yang meledak-ledak.
Buat sebagian kalangan, hal tersebut sangat tidak etis dan menyakitkan. Pemimpin seharusnya mampu menahan diri dan menyesuaikan pola komunikasinya dengan situasi dan kondisi. Tidak asal emosi.
Pada cakupan yang lebih luas, emosi yang meluap tersebut bisa menjadi tolok ukur kemampuan mengelola emosi seorang pemimpin. Hal yang wajib dimiliki oleh pemimpin di bidang apapun. Kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan dalam merespon beragam hal yang membutuhkan keputusan cepat dan tepat. Bayangkan kalau seorang jenderal pemimpin pasukan perang memiliki karakter emosional, meluap-luap, asal jeplak bicara dan kemampuan mengelola emosinya rendah. Begitu ada musuh mempermainkan rasanya, bisa-bisa pasukan langsung dikerahkan untuk berperang. Atau kalau ada anak buah yang bandel, mungkin pistol akan segera menyalak.
Indonesia butuh pemimpin yang jujur, bersih, tegas, berani, galak… tapi bukan berarti emosional. Emosi yang tak terkenal berbeda sekali dengan tegas, berani dan galak. Indonesia saat ini, yang sedang menghadapi ujian keberagaman, ujian kebhinekaan, ujian pembangunan ekonomi dan tantangan lainnya, sangat butuh pemimpin yang jujur, bersih, tegas, berani, dan galak, namun tetap bijaksana, teduh dan meneduhkan serta mengayomi seluruh rakyat.
Semoga para pemimpin kita, baik di daerah maupun di pusat, di semua level, baik pemimpin politik maupun pemimpin agama, mampu introspeksi dalam mengelola emosinya. Negeri ini bakal selalu ramai dan terganggu oleh hal-hal tidak perlu, jika emosi tak dikelola dengan baik. Para pemimpinlah yang bisa menjadi contoh buat kita dalam hal tersebut.