Folklor: Legenda Asal Usul "Kota Besi" di Sampit
Tersebutlah seorang pemuka agama Islam bernama Kyai Abdullah.
Ia terkenal dengan kearifan dan kesaktiannya. Kyai ini berusia sekitar 50 tahun. Berbadan tinggi dan tegap. Seperti layaknya seorang kyai, beliau selalu mengenakan baju gamis dan surban di kepala.
Kyai ini hidup dengan seorang anak yatim piatu yang dikasihi layaknya anak kandung. Rohman nama yatim piatu yang berusia 15 tahun itu. Setiap pagi, Kyai dan Rohman pergi berladang. Sore hari, Kyai dan Rohman mengajar anak-anak kampung mengaji di tempat mereka tinggal. Kehidupan bagi Kyai dan Rohman adalah pengabdian dengan niat ibadah kepada Allah S.W.T.
Suatu pagi, Kyai dan Rohman pergi ke ladang. Saat dalam perjalanan, mereka mendengar teriakan seseorang yang ketakutan. Kyai dan Rohman segera berlari menghampiri suara teriakan itu. Sesampainya di tempat itu, Kyai dan Rohman melihat seekor harimau sedang mengelilingi seorang penduduk kampung bernama Salunting. Salunting tampak sangat ketakutan.
“Jangan takut, Salunting!” ujar Kyai menenangkan penduduk kampung. Kyai mendekati Salunting untuk melindunginya dari pandangan harimau.
Salunting memandang ketakutan dan dengan suara yang tergagap ia mengiba, ”Kyai tolong...tolong....”
“Salunting, jangan bergerak. Serahkan semua kepada Tuhanmu!” perintah Kyai, tegas. Kemudian Kyai duduk tafakur, memohon kepada Allah S.W.T pemilik alam semesta agar memberikan pertolongan. Salunting, peduduk kampung itu, juga duduk dan berdoa kepada Hyang Hatala, sesuai keyakinannya.
Harimau terus mengelilingi mereka seraya memandang Kyai dengan tajam seakan siap menerkam Kyai hidup-hidup. Keadaan sunyi dan mencekam itu berlangsung selama beberapa menit. Harimau dengan badan besar dan tegap terus mengelilingi mereka.Tiba-tiba sesuatu terjadi.
Harimau yang seakan siap menerkam beranjak perlahan meninggalkan mereka bertiga.
Kyai menghela napas panjang bersyukur kepada Allah S.W.T.pemilik semesta sebab tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka celaka. Rohman yang menyaksikan hal itu ternganga takjub melihat harimau meninggalkan mereka tanpa melukai siapa pun.
Isak tangis dari Salunting yang terharu telah terlepas dari bahaya. Kyai memandang Salunting yang terisak dan dengan bijak menenangkan Salunting.
“Bahaya telah lewat, Salunting. Sekarang pulanglah ke rumah dan tenangkan dirimu!” tubuh tegap Kyai sedikit membungkuk mengelus punggung Salunting.
“Terima kasih Kyai. Kalau Kyai tidak ada, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan saya” Salunting berkata pelan.
“Sudahlah, itu semua berkat pertolongon dari Tuhan.” Kyai menjawab bijak.
Salunting berdiri perlahan mengambil lanjung dan mandau yang dibawanya untuk memantat1 karet. Salunting pergi dengan perlahan menuju rumahnya.
Berita tentang Salunting yang diselamatkan Kyai dari terkaman harimau segera tersebar di seluruh kampung. Penduduk semakin menghormati Kyai yang selama ini mereka anggap hanya guru mengaji biasa. Ternyata ia punya kesaktian.
Penduduk tidak tahu Kyai yang menjadi petani dan guru mengaji anak-anak mereka dapat menghadapi harimau dengan tenang. Kekaguman terselip di hati setiap penduduk kampung mengingat Kyai yang mau menolong orang tanpa memandang agamanya.
Di sore hari Kyai dan Rohman sedang mengajarkan anak-anak kampung mengaji secara bergiliran. Tiba-tiba terdengar suara gaduh anak-anak yang belum mendapat giliran mengaji. Seorang anak diangkat teman-temannya mendekati Kyai.
Kyai yang sedang mengajar mengaji terkejut melihat penduduk mendatanginya beramai-ramai. Ternyata anak yang dibopong itu dipatok ular. Dengan sigap, Kyai mengikat kaki anak itu dan meminta Rohman mengambil beberapa tumbuhan di hutan dekat rumah mereka.
Tak berapa lama, Rohman datang membawa beberapa daun dan akar tumbuhan yang diminta Kyai. Kyai melumatkan tumbuhan itu dan menempelkan ke luka gigitan ular.
“Insya Allah racun ular ini akan keluar diserap tumbuhan ini!” Kyai berkata menenangkan mereka. Tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar rumah Kyai.
“Udin, mana Udin?” Sebuah teriakan memekakkan telinga terdengar dari luar rumah. Tampak seorang lelaki tua diikuti beberapa orang kampung datang tergopoh-gopoh.
Lelaki setengah baya itu datang dengan wajah khawatir. Kyai meminta mereka untuk masuk. Ternyata saat Kyai mengobati anak yang tergigit ular beberapa anak lain memberitahu orang tua Udin tentang kejadian yang menimpa Udin.
“Jangan khawatir, Pak! Udin sudah saya beri obat, Insya Allah dalam beberapa hari lagi dia akan bisa kembali berlari.” Kyai menunjuk Udin yang sudah tampak tidak pucat lagi.
“Terima kasih, Kyai.” Ucap tulus Udin ketika akan meninggalkan rumah.
Rohman yang tinggal berdua dengan Kyai memandang Kyai dengan penuh kekaguman. “Kyai sungguh hebat,” ucapnya dengan bangga.
Kyai memandang Rohman dan geleng-geleng kepala.” Rohman, kau kan sudah kuajarkan bahwa semua yang kita miliki adalah kepunyaan Allah. Kemampuan kita berpikir, tubuh kita semua milik Allah. Jadi, bukan Kyai yang hebat. Tapi Allah yang Maha Kuasa,” kata Kyai sambil memandang Rohman dengan penuh kasih sayang.
Kampung yang mereka tinggali hanya sebuah kampung kecil. Rata-rata penduduknya petani. Hidup dari berladang yang kemudian dipasarkan di Sampit atau Talaga. Akhir-akhir ini, penduduk di sekitar kediaman Kyai sering mengeluhkan harga hasil perkebunan mereka yang merosot jauh. Sejak kedatangan Belanda di daerah mereka, harga hasil perkebunan tidak menentu.
Kolonial Belanda dengan semena-mena menentukan harga karet, rotan, dan kayu. Apabila penduduk kampung berani menjual hasil kebunnya bukan kepada Belanda mereka akan diintimidasi. Penduduk tidak punya pilihan lain selain menjual hasil kebunnya kepada Belanda.
Penduduk kampung mulai resah dengan kehadiran kompeni Belanda. Mereka mulai melakukan perlawanan. Tetapi nasib naas menimpa mereka yang berani melawan Belanda. Beberapa orang dibunuh dan keluarganya disakiti Belanda.
Kyai prihatin dengan keadaan penduduk desa. Banyak dari mereka yang menjadi fakir miskin sejak kedatangan kompeni Belanda. Kekurangan makanan terjadi di mana-mana. Kompeni mengangkut kekayaan alam yang ada untuk memakmurkan negaranya.
“Rohman, bisakah kau kumpulkan penduduk desa ini malam nanti!” Kyai meminta Rohman mengumpulkan penduduk desa untuk mengadakan pertemuan.
Angin malam membelai lembut. Bulan sabit tampak bersahabat memberikan sinarnya yang temaram. Suasana rumah Kyai tampak ramai saat penduduk kampung berdatangan. Tanpa diminta, dua kali penduduk berkumpul di rumah Kyai saat diminta datang. Wajah-wajah kebingungan penuh harap menanti penjelasan dari Kyai tampak menghiasi wajah penduduk yang hadir malam itu.
Mereka bertanya-tanya mengapa diminta berkumpul di tempat itu. Saat yang dinanti pun tiba. Kyai duduk dan memulai pembicaraan.
“Apa maksud Kyai? Kami tidak mengerti” tanya seorang penduduk kampung.
Kyai tersenyum tenang, kemudian berkata, ”Selama ini Belanda sudah membuat kita menderita, sekarang saatnya kita bangkit dari keterpurukan. Mari kita bergenggam tangan, bersatu untuk mengusir Belanda dari kampung kita ini. Sudah cukup penderitaan kita yang disebabkan keserakahan Belanda.”
“Tapi Kyai, kita tidak cukup kuat. Kyai lihat sendiri bagaimana nasib penduduk yang melawan Belanda. Mereka dibantai, dihabisi!” seorang warga berkata dengan emosi.
“Benar Kyai, mereka punya bedil, meriam, kita punya apa? Kita cuma punya mandau.” Penduduk lain menimpali.
Hening mengitari teras rumah Kyai. Semua orang merenungi ucapannya yang luar biasa. Beberapa orang mengangguk mengerti. Yang lain tampak tidak tahu harus berbuat apa. Rohman memandang seluruh penduduk dengan antusias. Dia mengerti sekarang mengapa diminta Kyai mengumpulkan warga. Selama ini,
Rohman juga dapat merasa kesengsaraan yang melanda penduduk tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Kyai, Rohman akan ikut berjuang dengan Kyai! Rohman akan ikut menumpas Belanda!”
Kyai mengangguk dan tersenyum menatap Rohman dengan bangga. Beberapa penduduk memandang Rohman. Walaupun umurnya masih belasan tetapi karena ditempa dengan berbagai penderitaan sebelum bertemu dengan Kyai, Rohman tampak dewasa melampaui umurnya.
Penduduk tampak terpukau dengan ucapan Rohman. Mereka tidak menyangka Rohman akan berkata tegas seperti itu.
“Saya juga ikut berjuang bersama Kyai.” Seorang penduduk berkata lantang.
“Ya, saya juga, Kyai.”
“Saya juga!”
Ramailah suasana teras rumah Kyai karena semangat penduduk yang terbakar untuk memperjuangkan hidup dan tanah kelahiran mereka. Senyum terurai di wajah tua Kyai.
Kampung tempat Kyai tinggal mulai menggeliat bangun. Beberapa penduduk mulai pergi ke ladang-ladang mereka, sementara beberapa yang lain mencari ikan di Sungai Mentaya.
Tampak beberapa tentara Belanda mulai berkeliling kampung. Mereka mengawasi penduduk yang membawa hasil kebun untuk disetorkan kepada mereka. Seringai dari bibir tentara Belanda itu menakuti beberapa anak-anak kecil yang bergegas pergi menjauh. Beberapa penduduk memandang dengan kebencian ke arah tentara Belanda itu. Tiba-tiba mereka melihat sosok Rohman berjalan menghampiri mereka. Segera mereka mengajak Rohman ke tempat yang tersembunyi.
Rohman menyampaikan pesan Kyai. Secara berantai pesan itu disampaikan ke penduduk yang lain. Penduduk mengetahui strategi yang akan mereka jalankan dengan cara pesan berantai. Perjuangan di kampung itu dimulai dengan strategi gerilya. Mereka menyerang Belanda apabila ada kesempatan. Kesempatan itu dapat di mana saja dan kapan saja.
Suatu ketika, mereka mendapati tentara yang tertidur saat sedang mengawasi penduduk di ladang. Saat itu, tidak ada tentara yang lain. Dengan sigap salah satu penduduk mengambil bedil yang dibawa Belanda dan menyerahkannya kepada Kyai.
Semangat yang membara dari penduduk menghadapi Belanda bukan tanpa hambatan. Belanda mulai mencium adanya pergerakan penduduk melawan mereka. Belanda segera melakukan berbagai cara mencegah meluasnya perlawanan.
Rumah-rumah penduduk didatangi tentara Belanda untuk mencari senjata mereka yang hilang. Penduduk yang dicurigai terlibat dalam pergerakan perjuangan ditangkap dan dibunuh. Kyai dengan segala ketenangan berusaha meyakinkan penduduk bahwa perjuangan mereka memang membutuhkan pengorbanan.
Suatu hari, datang beberapa tentara ke kediaman Kyai. Dengan beingas mereka memorakporandakan rumah Kyai. Saat itu Kyai sedang tidak ada di rumah.
Rohman yang ada di rumah berusaha menghalangi Belanda menghancurkan rumah mereka. Apa daya Rohman yang seorang diri tidak mampu mengahalangi mereka. Rohman dipukuli tentara Belanda yang melampiaskan kemarahannya karena tidak menemui Kyai dan persenjataan di tempat itu.
Kyai yang sedang berada di hutan tempat persediaan senjata segera pulang mendengar Rohman dipukuli Belanda. Betapa hancur hati Kyai melihat rumahnya tinggal puing-puing karena telah dibakar Belanda. Kyai bergegas mencari Rohman. Tetapi setelah beberapa lama tidak ditemuinya Rohman di mana-mana.
Sampai di rumah Salunting terlihat beberapa penduduk sedang mengerumbungi seseorang yang terbaring di lantai. Kyai bergegas mendatangi mereka. Terlihat Rohman dengan wajah babak belur terbaring di lantai. Kyai duduk bersimpuh di dekat Rohman. Diusapnya Rohman, segera Kyai mengetahui bahwa Rohman telah tiada. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah.
Kerut di wajah Kyai semakin tampak. Kyai mengusap mata Rohman dengan lembut. Penduduk menatap Kyai dengan iba. Mereka mengetahui kesedihan Kyai. Walaupun bukan anak kandung, Rohman telah sejak kecil ikut dengan Kyai. Tidak terlihat sebutir air mata di wajah Kyai.
Dengan tabah Kyai meminta warga menyiapkan pemakaman untuk Rohman.
Kyai memandikan Rohman untuk terakhir kalinya. Mereka kemudian menguburkan Rohman di dekat rumah Kyai yang telah hangus terbakar.
Wajah-wajah penuh keprihatinan mewarnai pemakaman. Tidak ada isak tangis tetapi duka tampak menggores dalam di hati mereka. Mereka sangat kehilangan Rohman. Remaja yang penuh dengan sikap mulia. Remaja yang penuh keberanian dalam menghadapi Belanda. Remaja kesayangan penduduk kampung dan anak-anak mereka.
Kyai menancapkan kayu sebagai penanda di atas kubur Rohman, mengelus kayu itu perlahan seakan mengucapkan selamat jalan. Kemudian berbalik dan melangkah perlahan.
Kyai mendahului penduduk kampung meninggalkan pemakaman. Melihat Kyai meninggalkan pemakaman, penduduk segera mengikutinya dari belakang.
“Kyai tidak bisa tinggal di kampung ini lagi. Belanda sedang mencari-cari Kyai!” Salunting yang berada di sisi Kyai mencegah Kyai berjalan memasuki kampung.
“Benar Kyai, mereka sudah mengetahui pemimpin pergerakan melawan mereka adalah Kyai.”
“Lebih baik Kyai tinggal di hutan dulu. Kalau Kyai tertangkap kami tidak tahu lagi harus berbuat apa?” penduduk yang lain berkata cemas.
Kyai menghela napas. Melihat kecemasan di wajah penduduk kampung. Dengan enggan Kyai memutar langkah tidak jadi menuju kampung.
Penduduk terlihat lega kemudian mengkuti langkah Kyai menuju hutan.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Kyai melihat penduduk kampung mengikutinya.
“Belanda akan semakin marah kalau tidak menemui kalian di kampung. Kalian harus kembali dan bersikap seperti biasanya.” Kyai meminta warga untuk kembali ke kampung.
“Benar kata Kyai, kalian harus kembali ke kampung. Biar aku yang menggantikan Rohman sebagai penghubung dengan kalian.” Salunting berkata nyaring.
Kyai memandang Salunting dengan bingung.
“Kyai, keluargaku sudah dihabisi Belanda. Sekaranglah saatnya aku membalas kematian mereka!” Salunting berkata berapi-api.
Kyai memandang Salunting dan menggeleng-gelengkan kepala. ”Kalau niatmu menumpas Belanda karena balas dendam, jangan mengikutiku! Kau berjuanglah sendiri! Niatmu berbeda dengan niat kami!”
“Apa maksud Kyai? Apa pun niatnya yang penting Belanda pergi dari kampung kita kan?” Salunting menjawab marah.
“Salunting, niat kita melawan Belanda adalah menumpas kezaliman mereka. Kita melawan mereka karena kesemena-menaan mereka kepada kita. Kita melawan mereka untuk kemerdekaan kita. Merdeka dalam beribadah, merdeka dalam bekerja, merdeka dalam melakukan apa yang kita inginkan. Kita melawan mereka untuk kesejahteraan keluarga kita, bukan untuk membalas dendam.” Kyai menjelaskan dengan panjang lebar kepada Salunting. Salunting diam tak bisa bicara sepatah kata pun.
“Kalau kau sudah memahami hal itu baru temui aku!’ Kata Kyai tegas.
Sejak itu, perjuangan melawan Belanda dipimpin langsung oleh Kyai. Perjuangan penduduk kampung semakin sengit dalam menghadapi Belanda. Tidak hanya dengan sembunyi-sembunyi, terkadang mereka melakukan serangan terbuka ke pos-pos Belanda.
Belanda semakin meningkatkan pertahanan. Prajurit Belanda ditambahkan dari Sampit dan Talaga ke kampung untuk mengatasi perlawanan penduduk.
Belanda juga semakin keji kepada buruh-buruh yang mereka pekerjakan di ladang rotan dan karet. Padahal ladang itu milik penduduk, tetapi Belanda menguasai ladang dan memperlakukan penduduk seakan mereka adalah buruh kasar mereka.
Kebencian penduduk semakin menjadi. Mereka berbondong-bondong membantu perjuangan Kyai. Mereka merelakan harta benda digunakan untuk perjuangan. Penduduk yang lain bergabung dengan Kyai ke hutan dan melancarkan perjuangan.Termasuk Salunting yang ikut bergabung setelah menyadari kesalahannya.
Beberapa penduduk sudah menggunakan bedil rampasan untuk menyerang Belanda. Mereka menyerang malam hari untuk mempermudah meraih kemenangan. Dengan menyerang malam hari mereka dapat berlindung di tempat-tempat yang tidak terpantau oleh Belanda.
Kampung itu mereka kenal betul seluk beluknya. Bila penduduk merasa terdesak maka mereka lari ke hutan atau tempat-tempat tersembunyi lainnya.
Belanda seperti kebakaran jenggot. Pasukannya mulai merasa terdesak. Pergerakan perjuangan penduduk kampung semakin berani. Mereka melakukan penyerangan di segala lini. Di pos penjagaan Belanda, saat prajurit patroli atau saat prajurit Belanda memeriksa ladang.
Pergerakan perjuangan semakin membara membuat pimpinan Belanda saat itu meminta bantuan ke Banjarmasin. Mereka meminta dikirimkan pesawat untuk membom kampung-kampung yang melakukan perlawanan.
Kabar tentang kampung mereka akan dibom Belanda membuat penduduk ketakutan. Ketakutan mereka sampai kepada Kyai.
Kyai mengumpulkan tetua-tetua kampung di hutan persembunyiannya.
“Apakah kabar Belanda akan mengirimkan pesawat pengebom itu benar adanya?” tanya Kyai dengan penuh selidik.
“Benar Kyai, kabar ini datang dari Jagau. Jagau mendapat kabar ini dari mata-mata kita yang menjadi pembantu meester2 Belanda,” seorang tetua kampung berkata pelan.
Kyai memandang berkeliling.”Baiklah perintahkan semua penduduk untuk mengungsi! Segera!“ kata Kyai dengan tegas.
Saat malam hari, Kyai dan tetua kampung memimpin pergerakan penduduk mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri dari bom yang akan dilancarkan Belanda.
Pengungsian itu berlangsung sepanjang malam. Setelah semua penduduk kampung mengungsi ke hutan, Kyai beranjak pergi.
Tetua kampung yang melihat Kyai akan pergi menghalangi langkah Kyai, “Mau kemana Kyai?” tanya tetua kampung itu.
“Aku akan menjaga kampung kita!” jawab Kyai tegas.
“Kyai apa yang kau lakukan? Tidak ada yang perlu dijaga. Semua penduduk sudah mengungsi jadi tidak perlu lagi kembali ke kampung!” timpal yang lain.
“Aku mesti kembali! Jangan halangi aku!” kata Kyai tegas.
“Kalau Kyai kembali ke kampung kita, aku ikut!” Salunting berkata dengan tak kalah tegasnya.
“Tidak! Kau tetap di sini menjaga penduduk!” Kyai kembali berkata tegas.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan Kyai sendirian!” Salunting berkata histeris.
Kyai menghela napas memandang ke arah Salunting yang tidak mau melepaskan tangannya dan berkata,”Baiklah Salunting kau ikut denganku!’
Penduduk kampung melepas kepergian Kyai dan Salunting dengan kecemasan. Mereka memandang keduanya sampai hilang dari pandangan.
Matahari beranjak dari peraduan, tetapi sinar redupnya seakan turut merasakan kesedihan warga kampung di pengungsian.
Dua pasang kaki melangkah dengan pasti menuju kampung. Sosok seorang lelaki tua dan seorang lelaki dewasa memasuki kampung dengan pasti. Sosok itu adalah Kyai dan Salunting.
Kyai mengambil beberapa kayu ulin lalu meletakkannya di ujung-ujung kampung. Salunting yang mengikuti dan ingin membantu ditolaknya. Akhirnya, Salunting hanya mengikuti Kyai dan melihat apa yang dikerjakan Kyai.
Setelah menancapkan kayu ulin di beberapa tempat di kampung mereka yang berada di tepi Sungai Mentaya, Kyai berjalan ke tengah kampung. Kemudian dengan santainya Kyai duduk di jalan tengah kampung. Kyai duduk tafakur.
Di tempat itu, Kyai sholat dan berdoa. Salunting memperhatikan dari jarak beberapa meter. Dia tidak mau mengganggu Kyai yang sedang khusuk berdoa. Lama Kyai melakukan hal itu, Salunting yang mulai bosan berkeliling kampung mencari sisa-sisa makanan yang ditinggalkan penduduk kampung.
Tiba-tiba Salunting mendengar deru pesawat terbang di atas kampung. Salunting menoleh ke langit. Dilihatnya dua pesawat Belanda sedang berputar-putar di atas kampung mereka.
Salunting bergegas lari dan menemui Kyai yang berdoa di tengah kampung. Tetapi Salunting mengurungkan langkah ketika dilihatnya Kyai masih khusuk berdoa. Salunting berdiri beberapa langkah di belakang Kyai. Deru pesawat semakin terdengar jelas. Salunting kembali melihat ke atas dengan penuh kekhawatiran.
Pesawat itu terus berputar di atas kampung mereka, tetapi tidak satu kali pun pesawat itu melontarkan bom ke arah kampung. Kekhawatiran Salunting menghilang. Dia yakin kalau pesawat itu tidak akan melontarkan bom ke kampung mereka. Sekarang dia mengerti mengapa Kyai ingin kembali ke kampung dan melindungi kampung mereka.
Deru pesawat di atas kampung tidak lagi menakuti Salunting. Salunting yakin pesawat itu tidak membom kampung mereka karena kesaktian Kyai. Ia memandang ke atas dan dilihatnya kedua pesawat itu terbang meninggalkan kampung.
Kyai menghentikan tafakur setelah kedua pesawat itu pergi. Salunting menghampiri Kyai dan berteriak girang,” Kyai, pesawat itu tidak jadi mengebom kampung kita.”
Kyai tersenyum memandang Salunting. Seulas senyum merekah.”Berkat pertolongon Allah, kampung kita tidak jadi musnah Salunting.”
Keesokan harinya. Tersiar kabar bahwa Belanda tidak jadi membom kampung mereka karena pilot dan awak pesawat tidak menemukan kampung mereka. Menurut kabar yang tersiar, kampung mereka saat itu tertutup besi. Pilot dan awak pesawat menyebutnya ijzer stad atau Kota Besi.
Sejak itu, kampung kecil itu terkenal dengan nama Kota Besi.
Catatan:
1. Memantat : menoreh pohon karet untuk diambil getahnya.
2. Meester : tuan.