Memandang Pasukan Merah Dayak dalam Terang Iman Katolik (2)
Pernah mendapat respon negatif dari Vatikan
Teologi pembebasan memang mendasarkan refleksi teologisnya atas praksis iman pada Kitab Suci. Namun demikian, harap diingat, teologi pembebasan pernah mendapat tanggapan negatif dari Vatikan. Kongregasi Ajaran Iman, yang kala itu Prefeknya ialah Kardinal Joseph Ratzinger (kemudian menjadi Paus Benediktus XVI), pernah menerbitkan sebuah instruksi Tentang Aspek-aspek Khusus dari “Teologi Pembebasan” (Libertatis Nuntius).
Di dalamnya dengan tegas dikatakan bahwa teologi pembebasan menawarkan sebuah interpretasi baru terhadap isi iman dan eksistensi Kristiani yang dengan serius menyimpang dari iman Gereja (Libertatis Nuntius, VI. 9). Interpretasi tersebut menyentuh keseluruhan misteri Kristiani (X.13).
Komisi Teologi Internasional, dalam dokumennya Human Development dan Christian Salvation, memang telah mengingatkan agar jangan ada orang yang mengutuk sistem teologi ini jika ia sendiri pada saat yang sama tidak mendengarkan tangisan orang-orang miskin dan mencari jalan yang lebih dapat diterima untuk meresponnya. Namun demikian, alangkah baiknya kita juga melihat dan memahami apa saja yang menjadi poin penting dari instruksi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman.
Dipengaruhi oleh ideologi Marxisme
Interpretasi baru yang ditawarkan oleh teologi pembebasan dikatakan dengan serius menyimpang dari iman Gereja sebab interpretasi tersebut dipengaruhi oleh ideologi Marxisme dalam menganalisis masalah sosial.
Pertama, antropologi materialis. Dalam instruksi tersebut, Kongregasi Ajaran Iman dengan tegas mengatakan kalau yang menjadi inti dari teori Marxisme ialah ateisme dan penyangkalan terhadap pribadi manusia, hak-hak dan kebebasannya. Teori ini mengandung kesalahan yang secara langsung mengancam kebenaran iman terkait dengan tujuan kekal dari setiap pribadi manusia (VII, 9). Berkaitan dengan martabat pribadi manusia, Marxisme melihat dan memahami manusia tidak lebih dari sekadar materi.
Kedua, soal transformasi sosial. Marx pernah mengatakan: “Para filosof hanya memberi interpretasi lain kepada dunia. Yang perlu ialah mengubahnya”. Perubahan atau revolusi dengan demikian menjadi kata kunci. Bagi Marx, revolusi dilihat sebagai obat mujarab bagi setiap permasalahan sosial: revolusi dan berikut kolektivisasi dari sarana-sarana produksi akan dengan segera mengubah segala sesuatu menjadi lebih baik (Deus Caritas Est, 27).
Ketiga, pembacaan kembali secara politis atas Kitab Suci. Oleh karena tujuannya ingin menyuarakan pengetahuan dan pengalaman dari mereka yang suaranya tidak terdengar, di mata Kongregasi Ajaran Iman, teologi pembebasan melakukan penafsiran ulang atas Kitab Suci secara politis. Sedemikian rupa, kisah eksodus bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, perjalanan mereka menyeberangi Laut Merah, yang sejatinya merupakan simbol Sakramen Baptis, oleh teologi pembebasan ditafsirkan sebagai pembebasan dari perbudakan politis.
Memberikan prioritas pada dimensi politis, orang akan menempatkan dirinya ke dalam perspektif mesianisme temporal. Di mata Kongregasi Ajaran Iman, perspektif ini merupakan salah satu ekspresi yang paling radikal dari sekularisasi Kerajaan Allah (X.6). Injil, kemudian, direduksi kepada injil yang serba duniawi. Sementara Tuhan Yesus sendiri mengatakan: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4).
Penafsiran ulang secara politis atas Kitab Suci menghasilkan apa yang disebut dengan pembalikan simbol-simbol (inversion of symbols). Pembalikan simbol itu menyentuh juga area sakramen, secara khusus sakramen Ekaristi. Ekaristi menjadi sumber kekuatan bagi Gereja sebagai sebuah komunitas dalam menjalankan karya belas kasihnya.
Akan tetapi, teologi kelas yang diusung oleh teologi pembebasan menyebabkan terjadinya pereduksian terhadap makna sakramen Ekaristi. Ekaristi tidak lagi dipahami sebagai kehadiran sakramental yang nyata dari pengorbanan yang mendamaikan, dan sebagai anugerah atas Tubuh dan Darah Kristus.
Ekaristi tidak lebih sebagai perayaan dari orang-orang dengan segala pergulatannya. Sebagai konsekuensi, kesatuan Gereja secara radikal ditolak. Kesatuan, rekonsiliasi dan persukutuan dalam cinta tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang kita terima dari Kristus. Kelas orang miskin yang lewat perjuangan mereka, itulah yang akan membangun kesatuan. Bagi mereka, perjuangan antarkelas sosial merupakan jalan menuju kepada kesatuan. Ekaristi dengan demikian hanya menjadi simbol perjuangan kelas (X.16).