Budaya

Malanutrisi

Jumat, 28 Agustus 2020, 15:27 WIB
Dibaca 736
Malanutrisi

Dari kata latin "mala" berarti: buruk. Ditambah kata "nutrisi", Pembaca tentu mafhum maknanya. Pandemi Covid-19 bisa membawa bangsa ke tubir malanutrisi. Lakukan dan kerjakan sendiri 4 sehat 5 sempurna di pekarangan dan lahan yang ada, bisa memperbaiki malanutrisi.

Waktu Googling, begini si mbah pintar menejaskannya. "Malnutrition is a condition that results from eating a diet in which one or more nutrients are either not enough or are too much such that the diet causes health problems. It may involve calories, protein, carbohydrates, fat, vitamins or minerals."

Amit amit jabang bayi. Jangan sampai, gizi buruk melanda negeri ini.

Gizi buruk, malanutrisi, dan rentannya Indonesia menghadapi krisis pangan, akhir-akhir ini mengemuka sebagai persoalan yang tidak dapat dipecahkan pemerintah. Lepas dari komoditas politik, masalah gizi buruk dan ketahanan pangan adalah bencana nasional. Kendati pemerintah mencoba menjelaskan duduk perkaranya, bukti menunjukkan, busung lapar dan kekurangan pangan terjadi di berbagai pelosok Tanah Air. Fakta ini sulit dibantah.

Gizi buruk bukan saja malapetaka dilihat dari sisi fisik, melainkan juga bisa menyebabkan malafungsi yang lain. Terlebih, gizi buruk dapat menyebabkan rendah atau menurunnya kadar inteligensi. Itu sebabnya, dunia melalui FAO, terus-menerus mengumandangkan perang terhadap gizi buruk.

Pada paruh dekade 70-an, ketika krisis pangan melanda dunia termasuk Indonesia, masih segar dalam ingatan kita Pemerintah RI mengambil langkah taktis. Meski tidak sepenuhnya ideal mengatasi kekurangan gizi, kepada kita masih disuguhkan bulgur yang sarat gizi, tepung susu beku, dan WSB yang rasanya nikmat. Tidak membuat kenyang, namun upaya pemerintah cukup solutif mengatasi kekurangan gizi pada waktu itu.

Mengapa kecukupan gizi dan nutrisi penting? Adakah kaitan antara gizi dan perkembangan inteligensi anak?

Jelas ada! Buktinya, dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk tingkat melek huruf, kecerdasan, dan produktivitas masyarakat pun tinggi. Kita juga mempunyai pengalaman, semakin hari, semakin pintar anak-anak dan postur tubuh mereka umumnya tinggi besar, berbeda dengan generasi sebelumnya.

Faktor apa yang mempengaruhinya? Salah satu di antaranya adalah gizi. Gizi yang baik dan cukup, menurut para pakar, sangat bertautan dengan perkembangan inteligensi anak. Dan rentang usia pendidikan anak usia dini (PAUD) 0-6 tahun adalah masa keemasan untuk mencukupi suplai gizi.

Oleh karena itu, para pengelola dan pendidik anak usia dini sangat perlu peduli pada kecukupan dan pemenuhan gizi anak. Sering produsen makanan/minuman tepercaya sengaja diundang ke sekolah untuk memberikan tambahan gizi pada anak-anak, sambil, tentu saja, berpromosi.

Sehat dan Cerdas

Di taman kanak-kanak (TK) secara rutin diperiksa badan anak. Berat badan ditimbang, tinggi badan diukur. Banyak TK yang mendatangkan dokter untuk pemeriksaan secara rutin. Sekolah yang mampu bahkan mempunyai dokter sekolah. Apa filosofi di balik semua itu?

Yang ingin dicapai ialah anak yang sehat dan cerdas. Sebab, kesehatan adalah syarat mutlak sebuah bangsa berkualitas. Bagaimana mungkin mengharapkan suatu bangsa tinggi tingkat produktivitasnya kalau rakyatnya tidak sehat? Biaya dan waktu akan terkuras untuk investasi dan pemeliharaan kesehatan. Padahal, kita sering diingatkan, dalam hal kesehatan lebih baik mencegah penyakit daripada mengobatinya.

Hal ini penting sebab penelitian menunjukkan setiap anak yang berstatus gizi buruk mempunyai risiko kehilangan IQ 10 - 13 poin. Pada 1999, diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta anak bergizi buruk, berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin (RI dan WHO, Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001 - 2005, Jakarta, Agustus 2000).

Karena itu, tindakan preventif (pencegahan) harus sedini mungkin dilakukan. Pemberian air susu ibu (ASI) selama enam bulan sejak bayi lahir, sangat mempengaruhi daya tahan tubuh dan tingkat inteligensi bayi. Namun, benar pula bahwa perbaikan dan suplai gizi yang cukup secara terus-menerus selama masa pertumbuhan anak juga mempengaruhi tingkat kecerdasannya.

Gizi merupakan unsur yang sangat penting dalam tubuh manusia. Gizi yang baik akan menjadikan tubuh sehat dan segar, sehingga sese- orang dapat melakukan aktivitas dengan baik.

Sejak kapan gizi yang cukup diperlukan tubuh manusia? Gizi justru harus dipenuhi sejak masih anak-anak. Mengapa? Sebab, selain dibutuhkan bagi pertumbuhan badan, gizi juga penting untuk perkembangan otak. Untuk itu, orangtua dan pendidik harus paham dengan kebutuhan gizi anak agar anak tidak mengalami kurang gizi. Orangtua dan pendidik juga harus mengetahui apa dan bagaimana kurang gizi itu.

Sayangnya, banyak penyelenggara pendidikan prasekolah belum terlalu peduli pada pemenuhan dan perbaikan gizi anak. Sebagai negara berkembang, kecuali di kota-kota besar, kecukupan gizi masih merupakan hal yang masih perlu ditingkatkan. Merupakan tanggung jawab sekolah, orangtua, dan masyarakat untuk bahu-membahu memenuhi kecukupan gizi anak.

Tentu saja untuk menanggulangi masalah gizi anak orangtua dan pendidik sebaiknya memahami tanda-tanda anak yang kekurangan gizi. Dengan demikian, sudah sejak dini dapat dilakukan tindakan preventif.

Warna Rambut

Apakah tanda-tanda anak yang kekurangan gizi?

Menurut Sri Kurniati MS, Dokter Ahli Gizi Medik Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta, kurang gizi pada anak terbagi menjadi tiga. Pertama, kurang energi protein ringan. Pada tahap ini, belum ada tanda-tanda khusus yang dapat dilihat dengan jelas. Hanya saja, berat badan anak hanya mencapai 80 persen dari berat badan normal.

Kedua, kurang energi protein sedang. Pada tahap ini, berat badan anak hanya mencapai 70 persen dari berat badan normal. Selain itu, ada tanda yang dapat dilihat dengan jelas, yakni wajah pucat dan warna rambut berubah agak kemerahan.

Ketiga, kurang energi protein berat. Tahap ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu kurang sekali yang disebut maramus. Tanda pada maramus adalah berat badan anak hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal. Selain maramus, ada lagi yang disebut sebagai kwasiorkor. Pada kwasiorkor, selain berat badan, ada beberapa tanda lainnya yang bisa secara langsung terlihat. Antara lain, kaki mengalami pembengkakan, rambut berwarna merah dan mudah dicabut, kemudian karena kekurangan vitamin A, mata menjadi rabun, kornea mengalami kekeringan, dan terkadang terjadi borok pada kornea, sehingga mata bisa pecah.

Selain itu, ada tanda lainnya, seperti, penyakit penyertanya. Penyakit-penyakit penyerta tersebut, misalnya anemia atau kurang darah, infeksi, diare yang sering terjadi, kulit mengerak dan pecah sehingga keluar cairan, serta pecah-pecah di sudut mulut.

Bagaimana mengidentifikasi anak kurang gizi? Menurut Sri Kurniati, untuk mengetahui anak kurang gizi adalah melihat berat dan tinggi badan yang kurang dari normal. Jika tinggi badan anak tidak terus bertambah atau kurang dari normal, itu menandakan bahwa kurang gizi pada anak tersebut sudah berlangsung lama.

Lebih jauh Sri menjelaskan, ada beberapa faktor penyebab kurang gizi pada anak. Pertama, jarak antara usia kakak dan adik yang terlalu dekat. Akibatnya, perhatian ibu untuk kakak sudah tersita dengan keberadaan adiknya, sehingga kakak cenderung tidak terurus dan tidak diperhatikan makanannya. Akhirnya, si kakak menjadi kurang gizi.

Kedua, anak yang mulai bisa berjalan mudah terkena infeksi atau juga tertular oleh penyakit-penyakit lain. Ketiga, lingkungan yang kurang bersih dapat menyebabkan anak mudah sakit-sakitan. Hal ini memicu anak menjadi kurang gizi.

Keempat, kurangnya pengetahuan orangtua, terutama ibu, mengenai gizi. "Kurang gizi yang murni adalah karena makanan," kata Sri. Ibu harus dapat memberikan makanan yang kandungan gizinya cukup. Tidak harus mahal, bisa diberikan makanan murah, asal baik kualitasnya. Seorang ibu dituntut bijak memilihkan makanan bagi anak.

Kelima, kondisi sosial ekonomi keluarga yang sulit. Faktor ini cukup banyak mempengaruhi, karena jika anak sudah jarang makan maka otomatis akan kekurangan gizi.

Keenam, selain faktor makanan, anak kurang gizi bisa juga dipicu penyakit bawaan, yang memaksa anak harus dirawat. Misalnya, penyakit jantung dan paru-paru bawaan.

Jika kita yakin bahwa masa depan bangsa dan negara ada di pundak anak-anak sebaiknya kita juga memperhatikan kecukupan gizi demi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak bangsa.

Tags : budaya