Budaya

Memikirkan kembali Ritual Tolak Bala Suku Dayak

Rabu, 1 September 2021, 22:02 WIB
Dibaca 795
Memikirkan kembali Ritual Tolak Bala Suku Dayak
Sumber: pontianak.tribunnews.com

Apakah Ritual Adat Tolak Bala dengan segala pelaksanaannya merupakan sesuatu yang sudah selesai? Sudah lengkap atau sempurna? Sehingga tidak diperlukan lagi adanya koreksi, masukan, kritikan dan sejenisnya?

Ada dua buah peristiwa yang memantik munculnya pertanyaan di atas. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, penting bagi saya untuk menegaskan kalau motif saya mengangkat isu ini murni berangkat dari rasa cinta saya terhadap suku Dayak dengan segala keluhuran dan kekayaan budayanya. Saya adalah putra asli suku Dayak. Tepatnya dari sub suku Dayak Desa. Salah satu sub suku yang masuk dalam rumpun Ibanic.

Oleh karena itu, segala unek-unek, pemikiran yang tertuang dalam tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk merendahkan tradisi, budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Pun juga bukan dimaksudkan untuk  menyinggung perasaan sesama saudaraku orang Dayak.

 Semua saya kemukakan dengan tujuan ingin mengajak kita mengagumi keluhuran dan kekayaan budaya kita orang Dayak. Namun di tengah rasa kagum itu, saya juga ingin mengajak kita melihat dan memikirkan kembali barangkali saja ada satu dan lain hal yang masih perlu untuk dibenahi.

***

Kembali ke topik. Peristiwa pertama yang memunculkan pertanyaan di atas ialah terkait dengan video pelaksanaan ritual adat tolak bala yang dikirim oleh seorang rekan.

Jujur, saya sama sekali belum pernah mengikuti ritual adat tolak bala secara langsung. Saya penasaran seperti apa bentuk pelaksanaannya. Namun, yang membuat saya sangat penasaran ialah isi dari doa permohonan/mantra yang dilambungkan dalam ritual.

Karena itu, suatu kali saya membuat status di akun Facebook begini: “Karena belum pernah secara langsung menyaksikan ritual Tolak Bala, jadi penasaran bagaimana isi dari doa atau permohonan yang disampaikan selama ritual berlangsung. Barangkali ada yang berkenan berbagi tentang isi doa/permohonan tersebut? Atau mungkin doa itu sendiri tidak boleh diketahui oleh publik?”

Salah seorang rekan lalu mengirimkannya lewat kolom komentar. Rasa penasaran dan ingin tahu saya pun terobati setelah melihat video tersebut. Akan tetapi, ada satu hal yang masih mengganggu hati dan pikiran saya. Saya kaget dan merasa tidak percaya dengan apa yang saya dengar ketika di dalam doa permohonan/mantra, pemimpin ritual memohon agar virus korona jangan sampai masuk ke kampung mereka, tapi cukup di pulau Jawa sana saja.

Video tersebut tidak saya simpan (save) karena berpikir kalau suatu saat hendak melihatnya lagi, tinggal membuka link yang telah dikirim oleh rekan tersebut.

Lalu, suatu kali saya pun berniat ingin melihat video itu kembali. Saya pun membuka akun FB lalu mengklik link yang pernah dikirim oleh rekan saya tersebut. Saya kaget karena video itu tidak bisa diakses lagi. Saya hanya menemukan kalimat berikut: “This video has been removed for violating Youtube’s Community Guidline.”  

Artinya, video tersebut telah melanggar Syarat & Ketentuan yang ditetapkan oleh Youtube. Karena itulah ia dihapus. Saya tidak tahu pada bagian mana dari video tersebut yang dikategorikan sebagai bentuk pelannggaraan.

Saya hanya menduga kalau pelanggaran itu terletak pada kata-kata yang diucapkan oleh si pemimpin ritual saat menyampaikan doa permohonan/mantra. Mungkin, sekali lagi mungkin, dalam pandangan pihak Youtube, ada beberapa kata yang mengandung ujaran kebencian (hate speach).

Dugaan saya tersebut kemungkinan besar keliru. Namun terlepas dari konten pelaksanaan ritual tolak bala itu melanggar S & K YouTube atau tidak, rasanya berat untuk menerima ketika orang mendoakan keselamatan seluruh warga kampungnya, namun pada saat yang sama meminta agar wabah dan bencana menimpa saudara-saudari yang ada di tempat lain.

Peristiwa kedua bersumber dari diskusi para gembala umat (pastor) yang bertugas melayani di Keuskupan Sintang.

Suatu kali salah seorang rekan pastor membagikan di WA grup foto pelaksanaan ritual tolak bala di paroki tempat ia bertugas. Sebagai seorang pastor yang berasal dari luar pulau Kalimantan, rekan pastor tersebut rupanya  sedang mengalami kegalauan setelah menyaksikan ritual adat tolak bala yang dilangsungkan di wilayah parokinya.

Masalah utama yang menjadi sumber kegalauan dan kegelisahan rekan pastor tersebut ialah soal kepada siapa  doa/mantra dalam ritual tolak bala itu ditujukan. Bahwa doa mohon perlindungan yang disampaikan selama ritual ditujukan kepada Jubata/Petara, bukan kepada Allah yang mahakuasa, dalam pandangan rekan pastor tersebut sebagai sikap menduakan Tuhan.

Rekan pastor tersebut tidak sendirian dalam berpandangan demikian. Seperti yang ia sampaikan dalam grup perpesanan, ada juga sebagian umat yang berpandagan sama dengan dirinya. Untuk itulah dia meminta masukan dari Bapa Uskup dan rekan-rekan pastor yang lain bagaimana Gereja seharusnya bersikap.

Kegelisahan rekan pastor itu ditanggapi dengan ragam pendapat dan masukan. Namun, intinya sebagian besar dari para pastor sepakat kalau Gereja harus hadir dan terlibat dalam ritual tolak bala. Hanya seperti apa bentuk kehadiran dan keterlibatan dari Gereja tersebut, belum ada kata final.

 

***

Dari kedua peristiwa yang saya sajikan di atas harus diakui bahwa masih ada hal yang meminta untuk disempurnakan dalam ritual adat tolak bala. Bila demikian, bagaimana kemudian kita menyikapinya?

Saya ingin mulai dari diskusi kami para pastor yang terjadi di grup perpesanan. Saya sendiri sependapat dengan rekan-rekan pastor yang menghendaki agar Gereja turut hadir dan terlibat dalam ritual adat tolak bala.

Mengapa Gereja mesti hadir dan terlibat karena terdapat kaitan yang sangat erat antara pewahyuan diri Allah dan pengalaman eksistensial manusia. Gereja Katolik, dalam Teologi Wahyu dan Iman, memberikan penekanan akan pentingnya pengalaman manusia.

Wahyu dilihat sebagai komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia yang di bumi ini. Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa mereka, bergaul dengan mereka, bersekutu dengan mereka. Inilah hakikat dari wahyu. Dan aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia menjadi aspek yang paling digarisbawahi (Nico Syukur Dister 2004:66-67).

Pertemuan pribadi ini dialami oleh manusia dalam berbagai pengalaman hidupnya. Pengalaman dengan demikian merupakan medium yang melaluinya manusia menjumpai pewahyuan diri Allah (Gerard O’Collins 2011:42).

Dalam ritual tolak bala, pengalaman eksistensial manusia yang dijumpai oleh Gereja ialah pengalaman akan penderitaan yang dalam hal ini hadir dalam rupa pandemi Covid-19. Sebuah wabah yang telah mendatangkan banyak kesengsaraan dalam hidup kita manusia. Jutaan manusia telah kehilangan nyawa. Banyak yang kehilangan orang-orang terkasih. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan.

Kenyataan pahit itu sudah cukup menjadi alasan bagi Gereja untuk hadir di tengah umat, turut merasakan dan menanggung beban derita mereka. Karena itu, bila Gereja hadir dan melibatkan diri dalam ritual tolak bala, semata-mata bukan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap budaya lokal. Kehadirannya adalah untuk memberi peneguhan dan penghiburan. Juga untuk membangkitkan semangat dalam diri umat agar terus melanjutkan hidup dengan penuh iman dan harapan.

Gereja mesti hadir karena sebagaimana ditandaskan dalam dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes (Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini), “KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (art. 1).

 

***

Lalu terhadap peristiwa pertama, bagaimana kita mesti menyikapinya?

Kita patut berterima kasih kepada para leluhur yang telah mewariskan kearifan lokal dalam bentuk ritual adat tolak bala kepada kita. Ada banyak sekali pengajaran yang dapat kita petik dari ritual adat ini bagi kehidupan pribadi maupun bersama.

Saya sendiri melihat bahwa dengan menciptakan ritual adat tolak bala, nenek moyang kita ingin mengingatkan bahwa bencana dan penyakit (penderitaan) akan selalu menjadi bagian dari peziarahan hidup kita sebagai mensia (manusia).

Selain itu, nenek moyang kita ingin mengajarkan agar kita tidak menyerah pasrah begitu saja terhadap segala penyakit dan penderitaan. Manusia boleh berupaya, namun selebihnya kita serahkan dalam tangan Tuhan (Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ranying Hatalla Langit). Itulah kiranya pengajaran yang hendak disampaikan kepada kita.

Dan bahwa upaya tersebut tidak dilakukan seorang diri, tapi melibatkan semua anggota komunitas, juga mau mengajarkan kepada kita betapa pentingnya gotong royong dan kebersamaan dalam menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan dan tantangan hidup.

Salah seorang sahabat, yang juga turut menuliskan komentar pada status yang saya unggah di akun facebbok itu, mengatakan bahwa dalam suku Iban ritual tolak bala juga disebut dengan ngampun. Yang artinya sudah jelas, yakni manusia memohon ampun kepada Yang Kuasa atas segala dosa dan kesalahan yang telah mereka perbuat.

Dari pengajaran-pengajaran di atas memang sudah tak terbantahkan lagi bila ritual tolak bala kita kategorikan sebagai sebuah kearifan lokal. Mengapa? Karena kearifan lokal itu sendiri dipahami sebagai filsafat yang hidup di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat dan sejenisnya. Dia merupakan produk berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan relasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya (Armada Riyanto dkk, 2015:28).

Betapa kita terkagum-kagum akan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ritual tolak bala. Namun bila melihat kembali peristiwa pertama yang saya tampilkan di atas, pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini kembali mengemuka.

Mungkin saja ada dari antara kita yang tidak mau ambil pusing karena peristiwa yang saya jadikan sebagai contoh itu terjadi di sub suku Dayak lain. Kita lalu beranggapan bahwa ritual tolak bala di tempat kita selama ini sudah berjalan seturut yang diwariskan oleh leluhur. Sehingga tidak perlu lagi ada yang harus dibenahi.

Sikap demikian rasanya kurang bijak. Sebagai orang yang beradab, beradat dan beragama, saya rasa Anda sependapat dengan saya bahwa sangatlah tidak elok berdoa mohon keselamatan untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat, tapi pada saat yang sama meminta agar bencana dan malapetaka menimpa orang lain.

Apakah barangkali itu yang menyebabkan pandemi Covid-19 ini tidak kunjung selesai karena seperti yang ditulis oleh Rasul Yakobus dalam suratnya: “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yak 4:3)? Entahlah...!

 

***

Bila demikian, apa yang harus kita perbuat? Wabah virus corona tentulah bukan satu-satunya penyakit yang membuat manusia menderita. Untuk mau mengatakan bahwa penderitaan akan selalu hadir dalam aneka rupa.

Bila kita meyakini bahwa ritual tolak bala memiliki kemujaraban dalam menghalau segala penyakit, bencana dan marabahya, maka kita harus memikirkan bersama-sama bagaimana agar ritual adat ini tidak hanya sebatas ritual, tapi sungguh berkenan di hadapan Yang Mahatinggi.

Oleh karena itu, saya mengusulkan agar suatu waktu mungkin baik bila diadakan pertemuan untuk semua rumpun suku Dayak. Adapun pokok pembahasannya ialah menyeragamkan, katakanlah demikian, isi dari doa permohonan/mantra yang disampaikan dalam ritual.

Setiap rumpun memang mempunyai bahasa yang berbeda. Namun sejak ritual tolak bala ada dalam setiap rumpun, dan juga tujuannya sama, yakni memohon perlindungan dan keselamatan dari Yang Mahakuasa agar terhindar dari bencana dan marahabaya, rasanya bukan hal yang mustahil bila penyeragaman itu dilakukan.