Siasat Kebudayaan
Judul: Siasat
Penulis: Abidin Kusno, dkk.
Penyunting: Hafiz dan Ronny Agustinus
Tahun Terbit: 2012
Penerbit: Yayasan Ruangrupa
Tebal: vii + 289
ISBN: 978-979-19069-2-0
Saya bukan seniman dan juga tidak mendalami informasi tentang kesenian. Namun saat kulihat buku ini, saya menjadi tertarik untuk membacanya. Tertarik karena judulnya membikin penasaran – “Siasat.” Mengapa buku yang membahas tentang kesenian diberi judul “Siasat?” Bukankan judul itu membuat kita bertanya-tanya? Apakah buku ini membahas hubungan siasat dengan kesenian? Atau membahas tentang seni bersiasat?
Karena rasa penasaran itulah maka saya memutuskan untuk membaca buku ini. Sesekali mencicipi sesuatu yang bukan bidangnya pasti menarik.
Sebagai seorang yang awam dengan isu kesenian, saya terseok-seok membaca artikel-artikel dalam buku ini. Untunglah tulisan Agung Kurniawan dan Ade Darmawan memberikan saya peta yang membuat saya tidak tersesat dalam lorong-lorong artikel yang tidak saya pahami.
Tulisan Agung Kurniawan yang berjudul “Bukan Cinta Semalam” memberikan ulasan tentang organisasi seni rupa, seniman dan hubungannya dengan negara. Ulasan Agung Kurwiawan ini membuka wawasan saya tentang hubungan seniman dan organisasinya dengan dinamika politik negara. Dari ulasan inilah saya menjadi paham mengapa di awal republic orang seperti Idrus, Daoed Joesoef, Tino Sidin hijrah dari Sumatra ke Jawa untuk bergabung dengan organisasi seni rupa. Melalui ulasan di artikel ini saya juga menjadi paham mengapa Soedjojono membuat sanggar melukis.
Penjelasan Agung Kurniawan tentang dinamika hubungan seniman dengan negara di era Orde baru membuat saya tahu mengapa tidak banyak hingar binger kesenian di era tersebut. Memang ada beberapa seniman yang “mbeling” yang berani mengritik rezim. Namun dinamikanya sungguh sangat berbeda dengan era Orde Lama. Di era Orde Baru, seniman hanya bisa berteriak di luar pagar. Itu pun tak semua berani berteriak.
Bagian akhir dari tulisan Agung Kurniawan sungguh menjadi suluh bagiku untuk berani menjelajahi artikel-artikel di buku ini. Bagian yang saya maksud adalah penjelasan Agung Kurniawan tentang seni di era pasca 1998. Di bagian ini Agung Kurniawan mengajukan sebuah pendapat bahwa pasca 1998, negara tidak memiliki otoritas. Dalam situasi negara tanpa otoritas inilah seniman juga menyesuaikan dirinya dalam hal hubungannya dengan negara. Jika di era Orde Lama seniman dan organisasi seni berpeluk cukup mesra dengan negara, dan di era Orde baru mereka hanya bisa berteriak di luar pagar, di era pasca 1998, seminam mencoba untuk masuk sistem. Demikianlah thesis Agung Kurniawan dalam melihat strategi seniman.
Cara pandang Agung Kurniawan inilah yang membuat saya menikmati artikel-artikel yang bagi saya kelewat teknis di buku ini.
Artikel Ade Darmawan yang dijuduli “Bersiasat Dalam Masyarakat” memberikan contoh-contoh kiprah para seniman di era reformasi. Tulisan Ade Darmawan ini bagaikan google map yang memandu saya memahami secara teknis artikel-artikel yang ada. Ade Darmawan menulis: “bersamaan dengan tren keterbukaan dan perubahan, gelombang tumbuhnya ruang inisiatif dan komunitas seniman dirayakan banyak orang. Ada yang merayakannya sebagai pilihan sesaat tanpa orientasi jangka panjang … ada pula yang berhasil mengembangkan ruang inisiatif….”
Artikel-artikel yang termuat dalam buku ini menunjukkan tipe yang berhasil mengembangkan ruang inisiatif sehingga berhasil membawa pengetahuan, ideology dan posisi kesenian di era reformasi. Tulisan-tulisan yang dikumpulkan di bab 2 menunjukkan bagaimana para seniman berupaya membangun wadah yang mampu melestarikan arsip dan dengan demikian memberi ruang untuk mengembangkan pengetahuan.
Bab 3 berisi artikel-artikel yang lebih ideologis. Bab ini dijuduli “Anak Muda dan Sub Kultur.” Sub kultur Islam, keterbukaan (dalam fesyen), perempuan dan media, music (rock) adalah contoh-contoh yang membahas orang muda mengekspresikan kiprahnya dalam seni di era reformasi.
Bab 4 dan bab 5 secara khusus membahas tentang senirupa. Bab 4 membahas seni rupa di era digital. Tiga artikel yang tersaji di bab ini menggambarkan bagaimana perubahan seni rupa terhadap wahana baru yang tercipta karena teknologi digital. Sedangkan bab 5 membahas tentang aktivisme dalam seni rupa.
Bab 6 membahas kesenian di ruang terbuka. Ada 4 artikel di bab ini. Artikel-artikel tersebut membahas tentang Kota Tubuh dan Hasrat Mata; Dilema Ruang pasca-Suharto; Membangun Komunitas Kecil untuk Perubahan yang Lebih Besar; dan Membuka Ruang Tanpa Meraba Warga.
Buku ini ditulis untuk menggambarkan gagasan tentang seni kontemporer di Indonesia sepuluh tahun terakhir. Penerbitan buku ini adalah sebuah upaya yang perlu didukung. Selain memberikan sumbangan berupa gagasan-gagasan bagaimana memanfaatkan ruang terbuka di era reformasi, artikel-artikel yang terkumpul dalam buku ini juga bisa menjadi arsip tentang berbagai upaya yang telah dan pernah dilakukan oleh para seniman di era reformasi. 803