Budaya

Takjil War

Selasa, 19 Maret 2024, 12:00 WIB
Dibaca 484
Takjil War
Takjil war

Pepih Nugraha

Penulis senior

"Untukmu agamamu, takjilmu untukku".

Kelihatannya ucapan ini main-main, tetapi sesungguhnya punya arti yang sangat dalam terkait dengan fenomena "takjil war" di mana nonis (non Islam) berburu takjil, makanan untuk berbuka puasa bagi umat Islam. Di medsos beredar seorang pendeta khotbah bernada guyon, "Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan".

Kata "war" di belakang takjil terdengar mengerikan karena perang di manapun identik dengan kekerasan. Tetapi sedikit banyak ada benarnya karena berburu takjil juga memerlukan kekerasan, paling tidak keras dalam kemauan untuk mendapatkannya. Sebab, telat berburu sedikit saja, maka takjil pun tak kebagian. Apalagi sekarang banyak nonis yang akan berburu takjil lebih awal, jadi telat sedikit saja mereka tidak akan kebagian karena muslim membeli lebih dahulu untuk takjil.

Tetapi sekali lagi ini analogi yang sekedar main-main meski sedikit banyak ada benarnya. Kata "war" karena dipersatukan dengan takjil di sini bernuansa persahabatan, gayeng, mempersatukan, saling membutuhkan antara sesama umat beragama. Atau ini semacam kecerdikan tersendiri nonis mengingat adanya larangan tutupnya warung makanan (restoran) di bulan puasa.

Maka menjadi tidak aneh kalau takjil kemudian menjadi "eskapasi" (pelarian) nonis karena mereka sesungguhnya tidak bisa menahan lapar akibat larangan warung makan buka di bulan Ramadan. Bukankah nonis tidak wajib berpuasa sementara perut harus tetap terisi?

Lalu apa keuntungan dari "takjil war" ini bagi orang Islam (muslim) di mana nonis secara sengaja atau tidak, sekedar main-main atau serius, memborong makanan untuk takjil karena takut keduluan oleh orang-orang muslim yang akan berbuka puasa? 

Fenomena ini harus diletakkan sebagai suatu proses terciptanya kebersamaan antara nonis dan Islam di bulan Ramadan. Terbuktilah, hikmah "tersembunyi" Ramadan di mana kaum muslimin dan muslimat sesungguhnya mendapat keuntungan sekaligus kebahagiaan karena dagangan takjilnya cepat laku. Kalau cepat laku berarti dagangan cepat habis dan lekas mendatangkan keuntungan. Artinya kalau untung baju lebaran bisa segera dibeli.

Tentu saja "takjil war" ini tidak dimaknakan sebagai perang yang mengerikan antara Islam dan non islam, tetapi benar-benar sebuah hikmah, tepatnya hikmah bulan Ramadan. Media sosial telah menggaungkan "takjil war" dengan bumbu selebritis nonis sebagai pelakunya.

Karenanya makna "takjil" menjadi lebih dipahami dengan baik di tahun ini, di mana di tahun-tahun sebelumnya dagangan takjil banyak yang tidak laku terjual. 

Fenomena "takjil war" yang dalam khazanah filsafat bermakna sebagai gejala yang muncul ke permukaan, sesungguhnya menunjukkan kepada kita mengenai lahirnya sebuah budaya dan peradaban baru di mana umat Islam dan nonis dipersatukan oleh makanan (takjil). Makanan untuk berbuka puasa tentu saja dibuat oleh kaum muslimin dan dijual serta diperuntukkan bagi muslim. Gejalanya sekarang, makanan takjil banyak dibeli, bahkan diborong, oleh masyarakat nonis. 

Peristiwa ini mengingatkan saya pada proses interaksi ekonomi di Ambon pada saat konflik agama dulu, ternyata yang menyatukan umat Islam dan Kristen yang saat itu sedang berperang sengit adalah makanan di pasar. Ini saya saksikan sendiri saat bertugas sebagai jurnalis.

Jadi, pasar merupakan wilayah gencatan senjata dengan garis demarkasi yang tidak jelas lagi. Di pasar yang tentu saja berisi makanan, perang berhenti. Umat kristiani maupun muslim memerlukan makanan, bukan senjata, dan makanan itu adanya di pasar. Makanan menjadi alat "cease fire" alias gencatan senjata.

Di sini meski pasar takjil tempatnya sporadis, tetapi tidak ada lagi garis demarkasi yang terlarang dilalui. Nonis bisa bebas membeli takjil, makanan untuk berbuka puasa bagi umat Islam, dan umat Islam senang karena dagangannya cepat habis. Tentu saja tercipta interaksi yang baik antara Islam dan nonis karena makanan takjil telah mempersatukan, bukan mempertegas perbedaan.

Hidup takjil!

(Pepih Nugraha)

Catatan: tulisan ini lahir karena tantangan Pak Yansen Tipa Padan untuk fenomena yang terjadi kekinian di mana viral Nonis (non Islam) yang berburu takjil, yaitu makanan untuk berbuka puasa bagi Muslim.