Diaspora Kaltara di Ngayogyakarta
Saya dan mantan pacar menyengajakan diri "nglencer" ke Yogyakarta dari Karanganyar, Solo, menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 70 kilometer, lalu bertemu di satu titik: Bakmi Jawa Pariharto.
Di sana sudah menunggu Arie Saptaji dan Lio Bijumes, sesama alumnus Batu Ruyud Writing Camp yang "njomplang" generasi. BRWC adalah kegiatan literasi di pedalaman Nunukan yang diprakarsai Yansen Tipa Padan, wakil gubernur Kalimantan Utara.
Sedang resto Bakmi Jawa milik Dian Wulandari, sesama pensiunan Kompas yang asli Ngayogyakarta. Di aréna terbuka beratapkan langit yang mulai melegam, hati dan pikiran kami malah terang-benderang oleh percakapan yang gayeng.
Saya lebih banyak bertanya ke Pak Arie mengenai kegiatan literasinya, yang ternyata banyak bergulat dengan penerjemahan. Tidak lupa saya mengomentari tulisannya tentang BRWC yang akan segera diterbitkan menjadi buku, berhubung saya membaca detail semua naskahnya, kecuali karya Herman Syahara yang belum disisipkan. "Tulisan yang dahsyat," saya memuji. Yang dipuji tidak bereaksi, kalem saja.
Sedang kepada Lio seperti biasa saya lebih banyak memberi motivasi. "Ingat, Lio," saya bilang begitu, "Generasi orang Binuang yang sukses itu demikian senjang, dari Pak Yansen lalu ke kamu. Hal ini karena Pak Samuel, penerus langsung sukses Pak Yansen meninggal, jadi kamu harus berhasil."
Lio manggut-manggut sambil menunggu bakmi Jawa pesanannya tiba. Saya bilang, "Jika kamu menempuh jalur akademi di mana sekarang gelar doktor sudah di ambang pintu, jangan ragu masuk dan ambil gelar profesor itu di balik pintu. Jangan tanggung!"
Lio tersenyum. "Saya bertekad menuju ke sana (akademik), mudah-mudahan bisa," katanya. "Ya harus bisa," saya bilang begitu.
Berbagai tema berseliweran selama kami menikmati bakmi Jawa, sampai rencana reuni anggota BRWC di Cikeas, di tempatnya Kang Dodi Mawardi.
"Saya berharap Lio, Pak Arie dan juga Pak Johan bisa hadir di Cikeas dengan menumpang kereta," kata saya yang dikomentari antusias Lio. "Wah, asyik tampaknya," katanya.
Si empunya resto kemudian memperkenalkan kasirnya yang ternyata orang Kalimantan Utara, bahkan tepatnya dari Malinau. Aizan namanya. "Wah, sekampung dengan Pak Yansen," teriak saya. Aizan mengenal baik Pak Yansen.
Sebelum bubar, saya kemudian memanggil Aizan mendekat dan memperkenalkan kepada Lio, sebagai sesama orang Kalimantan Utara. Aizan cerita, dirinya baru dua semester kuliah di Universitas Alma Alta jurusan teknik informasi. Ia kos di belakang resto yang juga milik Mbak Dian. Aizan harus merogoh Rp1 juta sebulan untuk sewa kamar kos, tetapi sebagai kasir resto ia mendapat upah Rp1,5 juta.
Beruntung sekali Aizan, pikir saya. Itung-itung kos gratis dibayar pula Rp500 ribu. Aizan mengaku tinggal dekat Islamic Centre Malinau dan mendapat informasi tentang kos Mbak Dian dari Facebook.
Saya kemudian memberi kesempatan diaspora Kaltara ini bercakap-cakap sebelum kami berpisah karena saya harus kembali lagi ke "home base" kami di Karanganyar, Solo.
Benar-benar sebuah pertemuan yang hangat dan bersahabat.
***