Terbang Bersama Kumbang di Langit Kaltara
Saat saya kanak-kanak dan tinggal di pemukiman kumuh Jakarta Barat, kerap melintas di atas kepala saya pesawat kecil yang terbang rendah saat kami bermain-main di halaman rumah petak. Anak-anak seusia saya menyebutnya "pesawat capung" karena ukurannya mungil hanya berpenumpang dua atau bahkan satu orang. "Kapal minta duit, kapal minta duit," teriak kami kala itu.
Mengapa minta uang ke kapal terbang? Karena dalam pikiran kami, pesawat selalu mengangkut uang dan berharap sang pilot atau penumpang kaya yang banyak duit di dalam pesawat itu melempar uang kertas melalui jendela, kemudian kami berebutan untuk mendapatkannya. Demikian imajinasi kami bekerja yang tak pernah menjadi kenyataan. Satu hal, pesawat identik dengan orang berduit.
Berbilang dekade setelah peristiwa yang membekas dalam ingatan itu, saya berada di atas langit Kalimantan Utara menggunakan pesawat MAF berpenumpang 8 orang, termasuk pilot dan kaki tangannya yang nama kerennya disebut "co-pilot". Jika pesawat kecil yang melintas di langit Jakarta saya sebut "pesawat capung", padanan yang pas untuk menyebut pesawat MAF ini adalah "pesawat kumbang". Sebab, jelajah kumbang lebih jauh dan serangga itu tentu lebih kuat dan garang dibanding capung.
Dengan kumbang udara inilah beberapa kali saya terbang di atas langit Kalimantan Utara. Hamparan pepohonan yang membentang kehijauan berada di bawah perut kumbang, jenis Quest Kodiak yang kami tumpangi saat penerbangan pertama saya alami bersama rombongan pegiat literasi lainnya yang dipimpin Yansen Tipa Padan (kala itu masih menjabat bupati Malinau sebelum menjadi wakil gubernur Kaltara). Penerbangan dari Malinau ke Binuang di Kabupaten Nunukan itu hanya memakan waktu 25 menit, tetapi berdebarnya jantung mungkin lebih dari satu jam.
Maklum pertama terbang dengan pesawat kecil yang ketika tertiup angin dari arah bawah sangat terasa. Namun dengan "mikrolet udara" ini mata bisa memandang hutan yang membentang, sebagai paru-paru negeri ini, yang di Kalimantan Utara masih terlihat menghijau, tidak gersang seperti rambut saya sekarang.
Pak Yansen -demikian kami biasa memanggilnya- tenang-tenang saja saat duduk di kursi paling belakang dan badannya terbalut "seat belt", sementara pikiran saya hinggap di landasan kengerian tak mendasar: jangan-jangan saya dan pesawat yang saya tumpangi jatuh dan hilang ditelan lebatnya hutan Kalimantan saat melintasi udara Malinau-Binuang sejauh 125 kilometer.
Quest Kodiak hanyalah satu jenis pesawat yang dioperasikan MAF, sebab ada juga pesawat Pilatus, Cessna dan Twin Otter. Masing-masing pesawat punya karakteristik berbeda, tetapi harus saya akui Quest Kodiak lebih memberi saya keamanan, juga kenyamanan. Tetapi senyaman-nyamannya Quest Kodiak, ponsel saya yang saya gunakan merekam suasana sempat terlempar ke udara saat pesawat mendarat di bandara berlapis tanah berumput. Jantung saya nyaris ikut melompat, mengira as roda pesawat patah saking kerasnya empasan badan pesawat.
Setelah agak tenang, saya iseng bergumam kepada Craig Hollander, pilot MAF asal California, Amerika Serikat, yang mengemudikan pesawat MAF kala itu. "Wah, pendaratannya keras sekali ya, Craig?" kata saya. Craig mungkin tersinggung dengan celetukan saya. Dalam hatinya, "bukannya bersyukur sudah saya bawa dengan selamat, dasar penumpang tidak tahu diuntung!" Mungkin. Karena kesal, Craig menjawab sambil sedikit merengut, "Kalau mau mendarat mulus ya di Bandara Soekarno-Hatta." Saya tak kuasa menahan tawa melihat wajah Craigh yang kemerahan bagai kepiting rebus.
Itu dulu, tiga tahun lalu. Akan tetapi ketika setahun lalu saat berlangsungnya pesta literasi Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) pertama yang diselenggarakan selama lima hari di pedalaman Krayan, akhir Oktober 2022, Bandara Binuang yang sudah berganti nama menjadi Bandara Samuel Tipa Padan (diambil dari nama ayahanda Yansen TP) sudah berlandas pacu aspal keras yang rata, juga telah berpagar kawat besi di kiri-kanan landasan.
Dalam beberapa kesempatan Jeremy menjadi pilot bagi kami. Sebagai "sopir mikrolet udara", Jeremy bisa dihubungi melalui ponselnya saat bertanya terkait slot penerbangan dan kemungkinan MAF bisa dicarter jika tidak sedang menjalankan misi utamanya: kemanusiaan dan keagamaan.
MAF atau Mission Aviation Fellowship adalah sebuah lembaga penginjilan internasional yang bermarkas di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Ia tak ubahnya organisasi non-pemerintah alias LSM yang bergerak di bidang penerbangan untuk melayani masyarakat terpencil dan miskin di seluruh dunia, termasuk untuk memberitakan Injil.
Tidak hanya beroperasi di pedalaman Kalimantan dan Papua, MAF juga beroperasi di Haiti, Mozambik, Republik Demokratik Kongo, Lesotho dan Papua Niugini.
Di Indonesia, Cessna Grand Caravan 208B yang dioperasikan MAF telah ada sejak tahun 1950-an, melayani penerbangan perintis ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, khususnya di Papua yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda dan pedalaman Kalimantan. Misi MAF sejatinya mendukung pemberitaan Injil di daerah tersebut, terutama dalam masalah logistik, termasuk kebutuhan pokok warga setempat, pendidikan, dan komunikasi serta kesehatan.
Sebagai pilot kawakan di MAF yang terlatih menerbangkan dan mendaratkan pesawat di landasan super-pendek, Jeremy dengan bangga berbagi data mengenai prestasi MAF selama 50 tahun beroperasi, khususnya di langit Kaltara. Misalnya MAF telah menjelajah udara lebih dari 100.000 jam terbang. Jika nonstop, durasi penerbangan ini sama dengan 4.166 hari atau 11 tahun empat bulan.
Dengan durasi 100.000 jam terbang, 100 pilot MAF yang pernah mengabdi berhasil mengangkut 500.000 penumpang, jumlah ini setara dengan penduduk negara Islandia di atap Eropa. Sedangkan barang cargo yang berhasil diangkut selama 50 tahun pengabdian mencapai 30 juta kilogram atau 30.000 ton. Jika berat mobil sedan rata-rata 2 ton, maka pesawat MAF telah berhasil mengangkut 15.000 sedan.
Akan tetapi yang tidak tercatat adalah, berapa nyawa penduduk pedalaman yang telah berhasil diselamatkan oleh MAF saat mengangkut orang sakit dan harus dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten. Juga berapa bayi yang berhasil selamat dilahirkan oleh ibu-ibu yang mukim di pedalaman dan harus dibawa ke rumah sakit bersalin di kota kabupaten di Kaltara.
Ketika misi penginjilan sudah dianggap selesai dalam arti tidak sepadat seperti sebelumnya, kegiatan MAF berpaling pada kemanusiaan seperti mengangkut orang sakit dan ibu melahirkan. Dan ketika misi kemanusiaan tidak sedang "hectic", MAF bisa dicarter dengan harga "donasi". Selain menambah jam terbang para pilotnya, dengan "donasi" dari orang-orang yang mampu (baca berduit), dapur MAF dijamin tetap ngebul untuk biaya operasional.
Atur sajalah MAF yang penting aman dan hepi. Saya sebagai warga biasa yang pernah merasakan sensasi terbang bersama "kumbang" ini mengucapkan selamat untuk MAF dan para pilotnya yang berdedikasi tinggi untuk misi kemanusiaan.
"Kapal minta duit...!!!"
***