Sastra

My Cerpen (1): Misteri Mobil Boks

Sabtu, 8 Mei 2021, 22:32 WIB
Dibaca 1.047
My Cerpen (1): Misteri Mobil Boks
Sumber foto: gambaroranglucu.blogspot.com

Aku merindukan masa kecil dulu. Bersama para sahabat, bermain tanpa mengenal waktu, berlarian, mengejar layangan, menyusup hutan, menyeberang sungai. Semua itu kami lakukan dengan penuh suka cita. Masih terngiang dalam ingatanku, bagaimana kesusahan kami menembus rimba dengan gaung petir yang menggelegar membelah angkasa. Hanya karena beberapa biji tengkawang.

Sepulang sekolah, aku singgah sebentar di rumah. Menyimpan tas, mengganti pakaian, mengisi perut, lalu…. aku pergi lagi. Kami berlomba-lomba dengan kelompok lain, menyusur ruko-ruko besar. Berharap pemilik ruko membuang besi atau perabot bekas di halaman belakang. Pekerjaan kami mirip pemulung.

Berkali-kali telapak kaki tergores oleh serpihan kaca. Kami tetap beraksi. Pernah juga, entah sengaja atau tidak, pemilik rumah membuang air panas dari jendela belakang. Hampir menyiram puncak kepalaku.

Ibu sering menghajarku dengan sepotong ranting. Sedikit perih di betis. Kenakalanku mirip anak laki-laki. Pernah suatu sore menjelang maghrib, Ibu menyusur jalan untuk mencariku. Aku mematung di atas pohon jambu mete. Sudah dapat dipastikan, ibu akan mengibas betisku. Aku diam-diam turun, mirip monyet yang bergelantung di dahan. Berhasil. Aku tiba di rumah lebih awal. Ibu kaget ketika mendapati aku sudah berhadapan dengan sepiring nasi dan sambal jengkol kesukaanku.

Saat malam tiba, hanya bertemankan cahaya dian. Remang-remang. Sesekali, Bapak membesarkan sumbu dian agar cahaya lebih terang. Itu pun jika kami berdua Bang Pey melahap buku. Alhasil, saat pagi tiba, aku dan Bang Pey saling menertawai. Lobang hidung kami mirip cerobong asap, hitam legam.

“Dek, kamu ndak sekolah?”

“Ndak, Bang. Sepatuku basah.”

Ibu ngomel dari dapur. Memarahiku yang senang bermain kubangan lumpur sepulang sekolah. Hampir setiap hari sepatuku basah. Jika ada terik matahari, maka selamatlah sepatuku. Jika tidak? Ibu akan menyalai sepatu itu sepanjang malam. Meski bau asap, lumayan kering.

“Bang Pey! Tunggu!”

Aku berlari kecil mengejar Bang Pey. Hanya tak ingin ditinggalkan. Jarak ke sekolah cukup jauh. Harus melewati jalan raya. Yang paling aku takutkan adalah, perjumpaan dengan mobil boks.

Teringat akan mobil boks, jiwaku seakan meronta-ronta. Jangan sampai tiba moncong mobil itu di hadapanku. Bisa nangis tua aku dibuatnya. Pernah satu ketika, saat kami sedang bermain perang-perangan, Indonesia melawan Belanda. Melintas mobil boks di hadapan kami. Semua lari terbirit-birit, sembunyi di dalam semak. Entah dari mana asal mula sugesti itu datang. Yang kutahu, dalam mobil boks ada kepala manusia.

Cerita turun temurun yang kudengar, pernah satu ketika, seorang pedagang mendapat sepotong kepala yang tersimpan di mobil boks. Usut punya usut yang tidak pernah menampakkan kebenaran. 

Saat musim paceklik, kami disuguhkan dengan cerita pengorek. Mereka datang memenggal kepala, lalu membawa kepala dalam mobil boks. Tragis! Kepala siapa pun yang terpenggal akan menjadi tumbal pembangunan jembatan. Pengorek lebih suka mengintai ibu hamil. Jika tidak, kepala anak-anak pun jadi. 

“Kia!” Nurbaya memanggilku.

“Bang, dulu aja!”

“Kamu nggak takut ketemu mobil boks nanti?”

“Kan ada, Baya.”

Bang Key berjalan mendahului kami. Aku menunggu Baya yang masih menyimpul tali sepatu. Sepatu Baya masih bagus, kaus kakinya berwarna merah jambu. Apalah daya, kaki mungilku hanya mampu mengenakan sepatu salai. Belum lagi kaus kakiku yang dulunya berwarna putih, kini berubah buruk kecoklatan. Aku menarik tangan Baya, mempercepat langkah agar kami tidak tertinggal jauh dari Bang Pey dan kawan-kawannya.

Jalan Raya yang kami lewati sangat sepi. Kendaraan pun ikut menyepi. Hanya orang kaya di desaku yang punya mobil. Itu pun jarang dikendarai. Mereka lebih sayang kendaraan dari pada tulang betis untuk berjalan kaki. Logis, karena kondisi jalan yang mirip kubangan babi. Mobil boks datang hanya saat musim tertentu. Seketika aku dan Baya teringat. Ini sudah musim paceklik!

Aku dan Baya tertinggal jauh. Perlu diakui, langkah kecil kami tak mampu mengejar Bang Pey dan kelompoknya. Ujung punggung mereka sudah menghilang. Aku dan Baya jalan beriringan. Terlintas sayup-sayup suara kendaraan yang semakin mendekat. Kami saling menatap. Ciri khas suara kendaraan terdengar jelas. Kami mengetahuinya.

“Mobil boks!”

Aku menarik tangan Baya. Namun kami terjepit oleh kondisi alam. Di sisi kiri terdapat jurang yang curam. Sementara di tengah jalan kubangan lumpur sudah menanti. Mobil semakin mendekat. Moncong mobil terlihat jelas.

“Mati kita!” aku menggenggam erat tangan Baya.

Cepleeek…. Cepleeek…. Cepleeek!!!

“Tidaaaaaaaaaaakkk!!!” aku dan Baya histeris.

Mobil boks berlalu begitu saja. Aku menatap wajah Baya, ada yang berbeda. Begitu pun dengan wajahku. Kami tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan wajah kami, mirip pahlawan gagal perang. Kuning oleh percikan lumpur.

Dari jauh, kelompok Bang Pey menertawai kami. Ternyata mereka lebih awal bersembunyi di semak belukar. Aku dan Baya memutuskan untuk pulang. Baya beruntung karena ada pakaian sekolah dan sepatu cadangan. Baya lalu diantar ke sekolah oleh ayahnya. Sedangkan aku? Aku terpaksa bolos hari itu.

Ibu memarahiku di ambang pintu. Nasib ibu, punya anak perempuan separah aku. Karena terlanjur bolos aku pun ikut ibu menggembala sapi. Padang rumput di bukit cukup luas. Ibu bertekad membawa si mbok ke sana. Ibu menarik tali si mbok dari depan, sementara aku memukul pinggul si mbok dengan dahan yang sengaja aku patahkan.

Sial, si mbok gusar! Ia mamutar balik tubuhnya lalu menanduk perutku. Tubuhku terpental ke bawah. Aku terguling-guling, tersangkut di akar kayu. Ibu memarahi si mbok. Ia mengikat tali si mbok pada sebatang kayu lalu menghampiriku. Alih-alih kembali memarahi si mbok, ibu malah menghajarku dengan dahan yang aku gunakan untuk memukul pinggul si mbok. Ibu tahu, bahwa aku memukul pinggul si mbok sekuat tenaga. Pantas saja si mbok gusar. Tanganku sedikit tergores. Ibu meminta aku untuk pulang. Aku nurut saja.

Musim paceklik belum berakhir. Mobil boks melintas berkali-kali. Pernah suatu ketika, kami mengintai mobil boks yang akan lewat. Kami membuat senjata dari bambu. Pelurunya terbuat dari kertas bekas yang dihancurkan dengan air. Kami biasanya menggunakan senjata ini untuk main perang-perangan, Indonesia melawan Belanda.

“Ki, kamu percaya nggak kalau di mobil boks itu ada kepala manusia?”

“Percaya,” aku menjawab ketus.

“Gimana kalau hari ini kita intai sopir mobil boks. Kita buktikan kalau kepala manusia ada di sana.”

“Caranya?”

“Pakai senjata perang.”

Aku mengangguk. Diam-diam, aku mencuri senjata perang Bang Pey. Bersama dengan beberapa temanku, kami beraksi hari itu. Kami bermarkas di balik rumpun serai yang tumbuh subur di sisi bukit.

Setelah lewat satu jam, mobil boks tak kunjung datang. Usaha kami sia-sia. Aku iseng mencabut beberapa batang serai. Tampak gemuk. Sangat lezat jika dibakar. Tentu saja, kami tak peduli jika masuk pasal pencurian: pengambilan tanpa izin.

“Dari mana kamu, Dek?” Bapak menyambut kedatanganku.

“Main perang.”

“Dengan siapa?”

“Sopir mobil boks.”

“Emangnya, sopir mobil boks salah apa?”

“Kata temanku, dalam mobil boks ada kepala manusia.”

Bapak tertawa terpingkal-pingkal. Mungkin perlawanan kami pada sopir mobil boks terlihat dungu. Tapi, misi kami belum berakhir. Yang jelas, aku masih punya dendam pada sopir mobil boks, setelah memaksa aku untuk bolos dengan memercikkan lumpur padaku saat itu.

“Kamu tahu, kenapa mobil boks lebih suka datang ke desa saat musim paceklik?”

Aku menggeleng.

“Karena, kebutuhan sandang dan pangan kita menurun. Mereka datang membawa barang-barang yang akan didagangkan.”

“Ooo, jadi gitu, Pak?”

Aku manggut-manggut menahan malu. Betapa dungunya asumsi kami. Meski Bapak sudah menjelaskan, misteri mobil boks belum dapat terpecahkan.

Kini aku sudah beranjak dewasa. Sudah lewat masa kecil untuk mengungkap rasa penasaran itu. Aku hanya bisa mengenang kisah-kisah indah yang tidak akan terlupakan. Meski tak pernah menyimpan fakta, misteri mobil boks akan terus mensugesti anak-anak. Sampai kini.