Rintik Sedu
Angin mendesir menggoyangkan beberapa pohon hingga tega menjatuhkan beberapa helai daun yang masih ingin menggantung di ranah sang ranting. Daun yang berserakan di jalanan, aku melangkahkan kaki dengan langkah kecil, awan yang tadinya putih seketika diselimuti oleh awan yang mulai menghitam tebal. Orang-orang di jalan mulai berlari mencari tempat perteduhan agar tidak kehujanan. Hanya ada satu orang yang tidak berlari tapi justru menikmati hujan. Hujan yang turun apakah membawa pesan atau tidak, angin yang berhembus apakah membawa kenangan atau tidak. Angin yang terasa panas dengan hujan yang menghujam dengan membabi buta.
Kau bilang kau suka hujan. Tapi, kau selalu berlari saat semua rintik hujan itu terjatuh. Kau bilang kau mengagumi hujan, tapi kau selalu berlindung dari rintik-rintiknya. Kau bilang, hujan itu bagai penyampai pesan yang paling baik tapi kau selalu menutup mata dan telinga saat rintik-rintiknya terjatuh. Kau bilang, hujan selalu mengingatkanmu pada kenangan bersamamnya tapi nyatanya dia meninggalkanmu di dunia nyata. Seakan semesta tak pernah adil terhadap hidupnya.
Dingin semakin menusuk tulang. Di bawah halte, bersama dengan beberapa orang yang mungkin tidak sengaja berteduh. Tiupan angin semakin kencang. Hujan semakin bertambah deras. Halte yang penuh dengan orang yang berdesak-desakkan membuatku tersisihkan hingga ke pinggir halte membuat sebagian tubuhku terkena percikan rintik hujan yang terbawa oleh angin yang berhembus kencang. Jalanan yang basah mengotori sepatu ketsku berwarna putih. Aroma tanah yang basah begitu membuatku candu. Hujan yang tak kunjung berhenti membuatku harus bertahan lebih lama lagi di bawah halte bus ini.
Disaat aku sedang menunggu hujan reda, terlihat sosok pria bertubuh tegap berdiri persis disampingku. Pria itu menyapaku.,
“Kau tidak pulang? Sudah mau gelap. Tidak baik anak perempuan pulang saat gelap.”
Lisa menatap sekilas pemuda berjaket hitam di sebelahnya. sebelum dia kembali terfokus pada jalanan di depannya. Suara hujan, deru kendaraan dan ciptratan air seolah mengisi seluruh pendengarannya.
“Jangan melamun terus, lebih baik pulang saja. Kau bawa payung kan?”
Lisa sekali lagi melirik pemuda di sebelahnya. tapi pemuda itu sendiri tidak sedang melihatnya. Lisa tersenyum sopan kepada pemuda itu, walau ia tau senyumannya tak terlihat oleh pemuda itu. Setidaknya dia sudah berusaha bersikap sopan atas perhatian pemuda itu.
“Pulang saja, jika ditunggu pun hujannya tidak akan reda. Lebih baik pulang saja.”ucap pemuda tersebut kepada Lisa.
Kali ini, tatapan mata mereka bertemu, mata coklat pemuda itu seolah menarik Lisa untuk mendekat. Matanya tersirat serius dengan mimik wajah yang lelah. Bagi Lisa itu adalah tatapan terindah yang dilihatnya. Tapi, tatapan itu benar-benar menyakitkan. Mengajakmu untuk turut merasakan kekecewaan di dalamnya. Membawamu berputar mencari jawaban di dalamnya.
Lisa mengangguk dan bergegas membuka payungnya. Melangkah keluar dari tempatnya berteduh di halte bus. Lisa berjalan keluar dan mencoba menerobos hujan. Hanya langkah kakinya merasa salah. Seperti sesuatu yang terlewat dan terlupan.
Apa?
Lisa membalik tubuhnya secepat yang ia bisa, ciptratan air dari genangan yang diinjaknya terciprat ke celananya. Bahkan sepatunya saja yang berwarna putih sudah terdapat banyak noda coklat.
“Kau..?” napasnya tertahan setelah menanyakan pertanyaan yang bahkan belum selesai diucapkannya.
“Aku suka hujan, aku akan di sini sedikit lebih lama. Melisa Oktaviana kan? Namaku Derin.”
Lisa tau bukan itu jawaban yang dinginkannya tapi wajahnya seolah mengkhianati hatinya. Senyumannya terbentuk membalas jawaban Pemuda itu, Derin.
Dan dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya, dia berlari ke stasiun. Baginya, hujan itu indah. Seindah mata coklat dan perhatian kecil yang didapatkannya dikala hujan.
“Semoga besok turun hujan lagi”, ucapku.
“Sa, tumben bawa payung terus?” Lisa hanya tesenyum lebar mendengar pertanyaan dari temannya.
Payung ya? Seperti mengharapkan hujan saja.
Tapi, bukankah hujan terlihat menyenangkan?
Kata orang hujan itu membawa berkah. Katanya saat hujan turun, doa kita akan terkabul. Jadi, hujan itu menyenangkan kan?, ucapku sembari tersenyum.
Tanpa disadari, ia berharap hujan turun setiap hari. Ketika terbangun ia bertanya ‘Apakah hujan akan turun hari ini?’ dan tanpa sadar, matanya melirik ke langit melihat awan. ‘Apakah awan sudah menumpuk hari ini?’ setiap napasnya seperti doa yang memanggil hujan. Walau ia tahu, sekarang adalah awal musim panas. Mungkin hujan turun di musim panas seperti ini.
Setiap hari sepulang dari kampus, Lisa akan datang ke halte bus menunggu bus di depan halte Ya, berdiri. Bertanya-tanya apa hari ini akan turun hujan.
Angin,
kau bilang disetiap hembusanmu kau membawa pesan. Jika iya, izinkan ia menyampaikan pesan. Tanyakan kepada langit, bolehkah ia meminta hujan?
Bagi orang lain langit cerah itu, seperti anugerah. Kau bisa melakukan apapun, aku bisa pergi ke manapun. Tapi kenapa, kenapa hatinya terasa kecewa. Tidak bisakah hujan turun hari ini.
Mata coklat itu masih menyimpan rahasia yang begitu menyesakkan. Bagi Lisa keinginan untuk melihat mata itu lagi sudah seperti doa untuk memanggil hujan.
“Tidak hujan ya?”
“Berharap apa sih Sa? Sekarang kan musim panas.”
Lisa hanya dapat merutuki kebodohannya. Kenapa hanya karena hujan dan mata coklat, ia dapat menjadi sebodoh ini. Bodoh, bodoh, bodoh.
Tes tes
“Eh?”
Tes tes tes brusssh
“EE—eeh?”
Matanya membulat sempurna, bibirnya tertarik membentuk senyum yang dilanjut tawa, tangannya berusaha menutup mulutnya yang tidak bisa berhenti tertawa.
“Hahaha.”
Apa yang dilakukannya? Ini hanya hujan.
Justru karena ini hujan, karena ini hujan, maka rasanya menyenangkan.
Kakinya tanpa sadar melangkah ke jalan, menikmati rintik-rintik hujan yang menghujam tubuhnya. Angin, kau baik ya?
Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, hujan dengan tiba-tibanya berubah menjadi deras. Langit yang semula cerah berangsur-angsur memekat tapi Lisa masih tersenyum di bawah sentuhan hujan.
Tanpa disadari, seseorang mendorongnya ke pinggir jalan
BRUGH
“KAU MAU MATI HAH? BERDIRI DI TENGAH JALAN SEPERTI ITU?!”
Semuanya terasa begitu cepat, detak jantungnya memburu, otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Semuanya.
Dia yang masih mensyukuri nikmatnya hujan yang ditunggunya, tiba-tiba terhuyung ke belakang dengan tiba-tiba.
Suara ini..
“Kalau mau mati jangan di depan mataku?!” Mata itu, mata itu. Mata yang ditunggunya.
Semuanya diliputi amarah, menggebu. Mukanya memerah ditengah suhu yang beranjak menurun. Tapi, kelegaan begitu terasa terpendar dari matanya. Seakan ia baru saja memenangkan lotre setelah percobaan ke seribu kalinya.
Tubuhnya yang basah, terlihat menggigil, matanya menatap lurus ke mataku. Hilang sudah semua kemarahan di matanya. Hanya tersisa pandangan kosong yang menatapku penuh kelegaan.
‘Der, kamu kenapa?’
“Jangan lakukan itu, jangan.. aku tidak mau lagi.”
Dia mendekapku, begitu erat seolah aku akan hilang. Seolah aku tidak akan bisa berada di sini lagi. Tubuhnya bergetar dengan hebat. Hawa dingin semakin menusuk dengan pakaian mereka yang basah.
“Kenapa..”
Suara Lisa seperti tertelan diantara suara hujan, tapi Lisa yakin Derin akan mendengarnya.
Mereka tidak pernah berbicara sebelumnya kecuali yang terakhir waktu itu. Hanya saling berteduh di tempat yang sama di setiap hujan. Dan berbicara sekali waktu itu.
“Hujan membenciku Sa, mereka membenciku.”
Tubuh Lisa hanya dapat berdiam kaku. Dia tidak mengenal Derin seperti seorang teman. Mereka bukan juga keluarga. Tapi rasanya, Lisa begitu ingin membalas dekapan hangat itu ketimbang mendorong tubuh Derin menjauh dan berlari pergi.
Bukankah ini yang kau mau Sa? Melihat mata coklat itu lagi dan mengenalnya lagi. Di bawah rintik hujan yang selalu kau inginkan di setiap napasmu.
“Mereka mengambil keluargaku di saat Hujan Sa, sekarang mereka mau mengambilmu. Kenapa hujan membenciku seperti itu!”
Suara hujan seakan meraung, petir menyambar dengan hebat. Angin berembus dengan kencang.
Seperti ingin berkata sesuatu yang tidak mampu untuk diucapkan. Langit begitu gelap seperti menahan kesedihan yang mendalam.
“Jangan benci hujan Der, mereka hanya turut bersedih atas kesedihan yang engkau alami. Mereka tidak mengambilku karena kau masih di sini bersamaku. Apa kah kau percaya hujan hanyalah satu dari sekian banyak hal baik yang diciptakan Tuhan.”
Hujan tidak akan menyakitimu, dia terlalu lemah untuk dapat menyakitimu. Hujan tidak akan melindungimu karena ia juga begitu lemah. Tapi hujan akan menemanimu dan menyambut doa mu dengan sukacita.
“Kau bilang kau suka hujan, tapi sekarang kau membencinya.”
Dia mengendurkan dekapannya dari tubuh Lisa. Menatap lurus ke mata Lisa dengan gurat wajah yang tak terbaca.
“Kau bilang kau suka hujan, tapi kau tidak mau aku dibasahi hujan. Kau bilang kau suka hujan, tapi kau menuduh hujan dengan tuduhan yang jahat.”
Lisa melepaskan diri dari dekapan Derin. Mengambil sapu tangan dari tasnya. Mengelap rambut Derin yang basah. Mengelap wajah Derin yang entahlah antara air hujan atau keringat.
Juga mengelus pelan pipi Derin dengan lembut.
“Jangan salahkan hujan atas kejadian yang sudah berlalu. Hujan hanya berusaha menghiburmu.”
“Kau tau kenapa kubilang kalau aku menyukai hujan?” Lisa menggeleng mendengar pertanyaan Derin, “Karena di setiap hujan turun aku bisa melihatmu berteduh di sini, dan melihatmu yang menunggu hujan alih-alih pulang.”
Lisa tersenyum malu sembari menunduk.
“Dan aku berdoa setiap hari agar hujan turun, sehingga aku bisa berdalih untuk kemari dan melihatmu.”
Derin mengangkat dagu Lisa perlahan.
“Bagiku, hujan terdengar lebih baik jika ada kamu.”
“Hujan memang selalu baik Derin..”
Derin mengangguk.
“Kau benar, selama ini aku menyalahkan hujan yang tidak tau apa-apa. Aku membenci hujan, yang pada dasarnya bukan merekalah yang mengambil keluargaku, namun takdir. Takdir yang telah mangambil keluargaku, tapi apakah boleh aku membenci takdir?”
Lisa tersenyum kaku.
“Derin… jika kau membenci takdir dan memarahinya, apa dengan cara itu takdir akan mengembalikkan keluargamu? Apa dengan emosi semuanya akan berjalan dengan baik? Tidakkah kau berpikir, mengapa takdir mengambil keluargamu?”
“Mereka mengambil keluargaku, karena mereka ingin melihatku menderita kan? Kalau kamu juga ingin berucap seperti itu, aku akan pergi dari hadapanmu sekarang. Memang, aku bukanlah seperti mereka yang memiliki wajah tampan, bukan juga yang memiliki otak cerdas, tetapi apa orang sepertiku ini tidak diizinkan untuk hidup? Kalau iya, mengapa aku harus berada di sini?”
Lisa membelak mata. Ia tak percaya, jika mata coklat itu berucap seperti itu.
“Kau tidak boleh seperti itu. Mereka mengambil keluargamu, karena mereka sayang padamu. Mereka ingin kau bisa hidup mandiri tanpa adanya keluargamu. Mereka ingin kau berhasil tanpa adanya campur tangan jahat keluargamu. Mereka ingin melihatmu tertawa karena ulahmu sendiri. Mereka juga ingin kau bersedih karena ulahmu sendiri. Sekali kamu mengelak takdir, kau tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi Derin… semua sudah diatur dengan Tuhan yang maha esa.”
Derin mengaitkan tanganku pada tangannya. Ia mengajak Lisa berlari ke tempat sepi. Tempat di mana hanya mereka berdua. Di bawah rintikkan hujan, Petir pun bersyair dengan sangat kencang, begitu indahnya kisah mereka.
“Apa aku bisa di sini, juga karena Tuhan dan takdir?”
Lisa mengangguk. “Aku juga mencintaimu karena Tuhan dan takdir,” bisik Lisa di telinga Derin.
Derin menatap Viona dengan tatapan sendu. Ia tidak percaya, bahwa cinta pertamanya akan membalas perasaannya juga. Karena takdir mereka dipertemukan, dan atas seizin Tuhan mereka saling mencintai.
“Kalau bertemu denganmu adalah takdir, aku tidak akan pernah membeci takdir. Kapan pun itu.” Lisa tersenyum, dan memegang tangan Derin yang dingin seperti es.
Cinta tumbuh bukan dari pandangan pertama, juga bukan karena terbiasa, cukup kejadian kecil yang teringat di kepala dan terus kau ingat seperti film di kepalamu. Ya, cukup seperti itu.
Hai kalian para pecinta hujan, para penikmat hujan. Cintailah hujan karena ia memang begitu, jangan cintai hujan karena kau menyukainya tapi kau malah bersembunyi di balik persembunyian.
Cintailah hujan, disaat kau melihat hujan kau bisa merasakan kebahagiaan. Cintailah hujan disaat kau memiliki kenangan manis untuk diingat.
Dan sampaikanlah salam kepada angin, dan panjatkanlah doa di setiap hujan. Kau tidak akan tahu kejadian manis apa yang kau lewatkan di antara hujan.