Sastra

Cerpen | Mereka yang Pantas untuk Dikenang

Senin, 8 Februari 2021, 20:27 WIB
Dibaca 808
Cerpen | Mereka yang Pantas untuk Dikenang

Pagi-pagi buta. Sebelum menyingsing fajar. Di bawah pancuran yang airnya dingin. Telah banyak anak tumpah ruah mandi di sana. Mereka telanjang bulat. Berebutan dengan anak yang lain untuk mendapatkan curahan air yang meluncur. Mereka tidak peduli dengan orang dewasa. Makin cepat makin baik daripada kedinginan. Anak-anak itu setengah berebutan untuk berada di bawah pancuran.

Sementara di tempat pemandian itu, ada dua buah pancur. Ada dua potongan batang kayu besar pula melintang di antaranya. Keduanya digunakan untuk orang mencuci pakaian. Di tempat pemandian itu anak–anak itu mandi. Ada yang menggunakan sabun. Ada yang sama sekali tidak menggunakan sabun. Sabun yang digunakan sabun cap tangan. Sabun berbentuk kotak persegi panjang. Tidak ada sedikit pun beraroma wewangian seperti sabun yang dikenal sekarang ini. Bagi mereka yang penting mandi, bukan sabunnya.

Setelah membasahi diri, mereka buru-buru mengambil handuk yang tadinya diletakkan di tanah. Handuknya pun sudah kusam dan bolong-bolong. Mereka berlarian menuju rumah masing-masing. 

Di antara anak yang mandi di pancuran, Untuh salah satunya. Ia anak keempat dari lima bersaudara. Ia ikut lari. Setiba di rumah, ia mengenakan pakaian kebanggaannya. Kemudian sesegera mungkin untuk sarapan pagi. Ia sangat berselera menikmati nasi-singkong. Nasi singkong itu dimasak Apa’nya pagi-pagi sekali saat ayam jantan bersahutan menandakan tibanya pagi hari.

Apa’nya seolah berlomba bangun pagi dengan orang tua yang lain memasak nasi singkong. Sebelum menjadi nasi singkong.  Singkong dikupas. Lalu dibelah-belah kecil dan kemudian dicincang kecil-kecil seukuran beras.

Singkong yang dicincang kemudian dicuci bersamaan dengan beras. Air cuciannya ditampung untuk nantinya diambil tepungnya. Itulah tepung tapioka orang desa. Setelah dinyatakan bersih, dimasukkan di dalam kuali untuk dimasak diatas kayu api. Setelah sekian lama potongan kayu api dipindahkan disebelah tunggu yang lain. Tinggal baranya.

Apa’ mengambil sepotong singkong. Lalu dikupas. Dibelah dua. Belahan singkong itu diendapkan di bawah bara api yang panas. Bara padam, nasi singkong di dalam kuali dan belahan singkong yang diendapkan matang bersamaan. Apa’ sering terlihat memakan singkong yang diendapkan di bawah bara api tadi. Sekali-kali Untuh menikmatinya. Rasanya perisa, lagi wangi aromanya.

Sementara bekas cucian singkong diendapkan sekian lama di toong. Setelah mengendap airnya dibuang. Diambil air yang baru diaduk-aduk lagi lalu didiamkan. Setelah mengendap air dibuang dan endapan singkong diambil. Endapan itu disebut sagu singkong. Sagu singkong kadang dijemur untuk dijadikan tepung, kadang dimasak dengan cara disangrai. Rasanya juga enak. Tetapi kalau sudah dingin, agak keras. Semua warga di kampung Untuh suka makan sagu singkong.

Untuh melahap nasi singkong dengan lauk lisip. Kemudian ia berangkat bersama dengan anak yang lainnya. Dari rumah ke sekolah berjarak dua setengah kilometer. Kiri-kanan jalan selain hutan, ada sawah, ada kebun karet serta sungai kecil. Saat musim penghujan jalanan licin. Sekalipun jalanan licin, mereka tetap bersemangat berangkat ke sekolah. Untuh tidak mengenakan alas kaki. Sementara alat tulis dipegang erat-erat. Kadang ada yang mengggunakan kantong plastik kresek sebagai pengganti tas.

Untuh bersekolah di sekolah Inpres yang berada di pinggir jalan Raya. Sekolahnya ada enam ruang. Beratap sirap. Bertiang kayu ulin dengan berdinding papan. Setiap ruang ada meja guru, papan tulis, penghapus, dan kursi yang di satukan dengan mejanya. Jika anak muridnya kecil-kecil satu bangku dapat diduduki oleh tiga orang anak. Jika anaknya besar-besar hanya dapat memuat dua orang. Di antara kelas tiga dengan kelas empat ada jalan menuju kamar mandi. Jalan menuju kamar mandi sering digunakan murid perempuan untuk bermain lompat tali karet.

Hari itu tidak biasanya. Untuh ketakutan setengah mati. “Sini kamu Untuh, kamu pemalas. Kamu sama dengan Pinus pemalas. Dua hari kamu tidak masuk kelas. Hari ini biar kamu tahu pemalas tidak ada tempatnya di kelas ini,” kata guru wali kelasnya.

Untuh pun maju menyusul Pinus yang maju.  Mereka berdua menjadi bahan tontonan satu kelas. Guru wali kelas orangnya tenperamental. Tidak pikir panjang. Jika sudah marah apa saja yang dipegang dan dilihatnya melayang. Terkadang penghapus, kapur barus, buku dan lain-lain. Murid yang tidak becus menjadi sasarannya. Penggaris kayu sering kali jadi andalannya untuk menghajar anak muridnya. Terkadang sesama anak murid disuruhnya saling menghajar dengan penggaris kayu tersebut jika membuat kesalahan.

Dengan kaki gemetar. Muka pucat. Tanpa ada alas kaki, kedua anak SD itu menunggu tindakan apa yang akan dilakukan gurunya. Dengan suara tinggi, wali kelas sekali lagi bertanya kepada Untuh: “Ke mana kamu dua hari tidak masuk?”

Belum dijawab, guru pun melanjutkan perkataannya,” Kalau Pinus memang anak tidak tahu diri. Bangunnya susah. Nanti bikin susah.” Dengan mata melotot wali kelas itu berdiri dan mendekat. “Ke mana kamu, dua hari tidak masuk?” 

Untuh pun menjawab, ”Sakit pak. Demam pak.” 

“Bohong kamu!“ bentak guru itu. Ia pun menjambak rambut Untuh dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menjambak ramput Pinus. Dua kepala anak itu dibenturkannya. Dua kepala anak kecil itu bagaikan kambing jantan yang mengasah tanduknya di batang pohon. Dunia bagaikan runtuh. Kepala pusing dan lama tidak bisa berdiri. Untuh menetaskan air mata sedangkan Pinus tidak sama sekali. Mungkin ia sudah terbiasa mendapat pendisiplinan di rumah. Bagi Pinus, di rumah dan di sekolah sama saja.

Saat jam istirahat, Untuh sama seperti anak yang lain berlarian keluar kelas. Mereka kejar-kejaran. Ada yang main tali karet. Ada yang main galasen. Ada yang main tembakan gelang karet. Ada yang main kelereng. Sedangkan kakak-kakak kelas main bola kaki di lapangan. Jika kehausan mereka lari ke belakang sekolah atau ke samping sekolah.

Ada sungai yang tiada henti mengalirkan air di sana. Mereka minum di sungai itu. Untuh pun minum di situ. Minum sambil menikmati pemandangan di dalam sungai. Ikan-ikan berenang seolah-olah mengajak untuk bermain bersama. Airnya terasa agak manis dansegar. Tidak pernah membuat siapa pun yang meminumnya sakit perut. Di hulu sungai masih utuh hutannya. Masih utuh bukitnya. Masih utuh lembahnya.

Setiba di rumah. Untuh tidak pernah berceritera tentang perlakuan guru tadi kepada orang tuanya. Orang tua juga tidak pernah mempertanyakan keadaan anaknya di sekolah. Tidak pernah ditanya belajar apa. Tidak pernah ditanya siapa temannya. Tidak pernah ditanya datang cepat atau datang lambat. Tidak pernah ditanya lapar atau haus. Tidak pernah ditanya guru siapa yang menjadi idola anaknya. Tidak pernah dibelikan hadiah saat naik kelas dan juara kelas. Tidak pernah memberikan tanda ucapan terima kasih kepada guru yang mengajar dan mendidik anaknya.

Seandainya Untuh berceritera. Orangtuanya tidak akan pernah datang ke sekolah mempertanyakan tindakan guru itu. Tidak akan pernah membawa tangkit untuk mengancam guru. Sekalipun guru itu menghajar anaknya. Sebaliknya orangtua akan memarahi anaknya. Bagi orangtua, guru adalah orang hebat yang akan menjadikan anaknya hebat.

Guru memang bertugas menghajar anak yang kurang beres. Seolah-olah guru dengan orangtua sudah ada kontrak kesepakatan bahwa tindakan guru tidak boleh diganggu gugat. Jadi, sia-sia lapor kepada orangtua. Tidak hanya Untuh, tetapi semua murid yang pernah dihajar gurunya di sekolah tidak akan pernah melapor. Semua akan tutup mulut.

Orangtua pun tidak akan pernah mengadukan guru kepada kepala sekolah. Tidak akan pernah mengadukan kepada polisi. Tidak akan ada laporan ke Komnas HAM, ke KPAI. Kedua lembaga itu dulunya belum ada. Jangan pernah berharap ada beritanya di koran. Berita misalnya guru dilaporkan orangtua ke polisi karena melakukan pendisplinan kepada siswanya. Guru adalah segala-galanya. Ia penentu masa depan. Ia berotoritas penuh di sekolah. Boleh dikata, guru adalah  raja di sekolah.

Pernah suatu hari saat pelajaran olah raga, Untuh tidak membawa baju olah raga. Ia tidak diikutkankan pelajaran olah raga. Padahal pelajaran olah raga adalah pelajaran kesukaannya. Guru olah raga tanpa menanyakan alasan, memintah Untuh tidak turun ke lapangan. Hari itu tidak biasa, guru olah raga melakukan disiplin untuk siswanya. Sial bagi Untuh, ia seorang diri yang tidak membawa baju olah raga.

Baju olah raga adalah baju kaos biasa. Hari itu ia tidak sempat singgah mengambil baju tersebut yang ada di tempat kerabat yang tidak jauh dari sekolah. Sebelumnya ia menginap di tempat kerabat mamanya.  Untuh berpikir nanti bisa singgah sebentar mengambil baju kaos. Tetapi hari itu tidak memungkinkan. Pelak mobil yang dijadikan lonceng sekolah sudah berbunyi. Saat lonceng berbunyi, semua siswa berlarian secepat mungkin. Sebab saat berbaris apalagi sudah dimulainya senam, yang terlambat siap-siap membuat barisan tersendiri. Daripada berada di barisan untuk tontonan, Untuh tidak singgah lagi mengambil kaos olah raganya.

“Bagi siswa yang tidak membawa baju olah raga, tunggu sebentar di kelas. Yang lain ke lapangan,” kata guru olah raga itu.

Semua siswa berhamburan di lapangan kecuali Untuh. Ia tertinggal sendirian di kelas. Tidak begitu lama terdengar langkah kaki dari arah kantor menuju kelasnya. “Untuh ikut saya,” kata guru olah raga tersebut. Tanpa ragu Untuh ikut guru menuju lorong antara kelas tiga dengan kelas empat. Setiba di depan pintu kamar mandi. Guru membuka gemboknya. Lalu menyuruh Untuh masuk ke dalamnya. Kemudian pintu dikunci dari luar. Untuh menyadari ternyata ia menerima hukuman dengan cara dikurung. Jangan ditanya bau aromanya. Untuh menangis dengan mengendor-ngendor pintu. Berselang sekitar sepuluh menit baru pintu kamar mandi dibuka.

Ternyata yang membuka pintu bukan guru olah raga. Ia adalah penjaga sekolah. Di tangannya ada ember kosong. Dia tersenyum dan berkata, ”Untuh sebagai pengganti hukuman maka selama olah raga berlangsung kamu ambil air di sungai sana dengan ember ini, nanti jika jam olah raga selesai, selesai juga kamu mengambil air.” Ember pun perpindah tangan. Di belakang kamar mandi ada sungai. Bolak-balik Untuh mengambil air dengan ember itu. Dua jam pelajaran terasa lama sekali. Padahal saat olah raga waktunya terasa singkat.

Hari itu entah kenapa alam tidak sedikit pun berkompromi dengan Untuh. Tidak ada belas kasihan sedikit pun. Padahal pagi-pagi sudah berangkat ke sekolah tanpa ada alas kaki. Di tengah jalan menuju sekolah, hujan turun. Ia bersama anak yang lain mencoba melangkahkan kaki lebih cepat. Lalu kemudian berlari. Hujan dari arah belakang lebih cepat mengikutinya dan bahkan melewatinya. Tidak ada tempat berteduh. Sesampainya di sekolah, belum banyak anak yang datang. Selain basah kuyup, tubuh mungil pun mulai menggigil kedinginan.

Pakaian dilepas dan diperas. “Biar pakaian basah kuyup yang penting buku dalam plastik tidak basah, nanti seiring dengan berjalannya waktu pakaian akan kering dengan sendirinya” Untuh membantin.

Hujan bukannya berhenti tetapi semakin deras. Dari kejauhan, terdengar langkah orang dewasa menuju ruang kelas. Badannya tidak tinggi tetapi berotot. Dia tersenyum dan berkata, “Basah ya Tuh. Kehujanan di mana tadi di tengah jalan atau sudah dekat sekolahan.”

Belum sempat dijawab Untuh, sosok itu kembali berkata, “Ayo ikut Bapak. “

Untuh pun bergegas mengikuti ke mana sosok itu melangkah. Setibanya di satu ruangan handuk diberikan kepadanya. Air hangat di gelas disodorkan. Tidak lama kemudian sarung pun disodorkan bersama dengan baju kering. Lalu dia berkata, “ganti pakaiannya” kemudian pakaian yang dilepas di perasnya. Lalu diletakkan di sisi tunggu kayu yang menyala.

Hujan belum juga reda. Guru belum berdatangan. Pakaian itu pun ahirnya kering. Dalam dua peristiwa yang berbeda dua kali sosok ini muncul jadi penyelamat.

Ada satu guru lagi yang dikenangi Untuh. Guru itu adalah wali kelasnya sejak kelas tiga hingga kelas enam SD. Perawakannya tinggi dengan kulit agak hitam. Suaranya jelas. Kebapaan. Begitu sabar dengan muridnya. Kalau pun marah tidak pernah menghajar dengan fisik. Tidak pernah melukai dengan kata-kata. Ia guru idola Untuh. Sejak guru ini yang menjadi wali kelas, Untuh termotivasi dalam belajar. Dari kelas tiga SD hingga kelas enam SD Untuh selalu juara kelas. Tiap kali kenaikan kelas ia selalu mendapatkan buku tulis dengan kelengkapannya sebagai hadiah kecuali tas.

Penyekat kelas antara kelas satu dengan kelas dua, dan kelas dua dengan kelas tiga saat kenaikan kelas selalu dibuka. Semua siswa dikumpulkan dan guru berada di depan. Pengumuman juara kelas dengan pembagian hadiahnya selalu terjadi setiap tahunnya. Sekalipun ada kebahagian di hati Untuh, orang tua selalu tidak mendampingi.

Orang tua sibuk berladang dan bersawah. Seolah antara sekolah dengan masa depan anaknya tidak ada kaitannya. Mungkin karena mereka petani sehingga semua kejadian di sekolah termasuk pengumuman bagi yang juara kelas bukan hal yang penting dan bersejarah di mata mereka.

Untuh tidak mengira jika perjalanan hidupnya sudah sejauh ini. Selain karena anugerah Tuhan, tetapi juga ada andil guru di sekolah Inpres. Sekolah yang ada di kaki bukit Sababat. Sekolah yang begitu sederhana dengan guru yang mendedikasikan hidupnya bagi bangsanya.

Untuh biasa jalan-jalan ke sahabat-sahabatnya, saat pulang kampung. Tanpa disengaja saat Ia melewati suatu tempat. Ia mengenali benar seorang bapak-bapak yang bercelana pendek.

Dengan sehelai handuk di lehernya. Duduk di atas bangku kayu dengan wajah yang mendongok ke arah jalan. Untuh dengan seketika meminta orang yang membonceng dirinya untuk menghentikan laju motor.

“Maaf kita harus berhenti dan memutar balik menuju warung di sebelah kanan kita,” kata Untuh. Itu guru SD saya,” lanjutnya. 

Motor pun berhenti. Memutar dan mengarahkan ban depan ke arah warung yang dimaksud. Setibanya di warung. Untuh tanpa basa basi memeluk Bapak yang bercelana pendek tersebut. Dipeluknya erat-erat. Namun, yang dipeluknya merasa aneh. Merasa asing dengan tatapan curiga. Sebab orang yang memeluknya berkulit bersih, tambun seperti orang kota.

Beberapa saat kemudian, pelukan pun dilepaskan. Untuh memperkenalkan diri bahwa dia adalah mantan muridnya. Saat itu ia masih anak-anak. Tidak tahu banyak hal mana hitam mana putih.

Berkali-kali Untuh menyebut nama dirinya supaya mantan gurunya itu dapat mengingat dirinya. Dapat mengenalinya.  Tetapi berkali-kali juga guru itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar lupa dengan nama itu. Ia pun sudah lupa apa yang pernah dilakukannya terhadap diri anak itu.  Ia keheranan ada orang yang mengaku-ngaku mantan muridnya. Untuh memakluminya karena itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Ditambah lagi guru tidak mungkin mengingat nama muridnya, tetapi murid pasti selalu ingat dengan nama gurunya.

Di atas motor, Untuh mendapat kabar kalau guru olah raganya sudah lama meninggal. Bahkan meninggal saat belum pensiun. Dulu guru olah raga ini sangat terampil sebagai penjaga gawang jika ada pertandingan bola antar kecamatan atau saat acara tujuh belasan.

Wali kelas Untuh saat masih SD juga rupanya sudah meninggal. Ia meninggal saat sudah pensiun. Demikian juga dengan penjaga sekolah.

Saat pensiun ia pulang ke daerah asalnya yang sekarang menjadi Ibu kota salah satu kabupaten di Borneo bagian barat. Menurut cerita setelah pensiun masih sempat beberapa kali datang ke sekolah di mana ia mengabdikan diri. Beberapa tahun kemudian ia pun meninggal. Mereka ini adalah pahlawan bagi Untuh. Pahlawan sepantasnya untuk dikenang. Pantas untuk dihargai dan dihormati.

Catatan:

  • Apa’ adalah sebutan untuk ayah kandung atau ayah angkat.
  • Lisip adalah ikan asin yang banyak dijual di warung-warung perkampungan.
  • Toong adalah tempat mengangkut dan menanpung air terbuat dari kayu ulin dibawa dangan dizinjing atau dipikul. Sering juga digunakan untung menampung getah karet yang belum dibekukan.
  • Untuh adalah nama yang sering digunakan untuk anak laki-laki bagi Dayak Kanayatn.
  • Tangkitn adalah senjata tradisional yang antik terbuat dari baja atau besi diwariskan dari turun temurun. Terkadang diisi dengan besi kuning sehingga penggunanya memiliki kekebalan saat menggunakannya.
  • Sababat adalah nama bukit yang ada di daerah Mentonyek kecamatan Mempawah hulu.

***