Sastra

Cerita Rakyat Sungai Krayan | Ilan Pi’e dan Ilan Buser

Kamis, 10 November 2022, 06:53 WIB
Dibaca 491
Cerita Rakyat Sungai Krayan | Ilan Pi’e dan Ilan Buser
dokpri

Di Kampung Tang Payeh jaman dulu, terdapat kurang lebih 500 KK (kepala keluarga). Semua penduduk kampung tersebut adalah petani. Ada dua orang anak laki di kampung ini berbeda dengan anak anak yang lainnya. 

Satu, kakinya pincang tetapi matanya baik, dan yang satu lagi matanya buta,tetapi kakinya baik. Yang pincang disebut dalam bahasa lengilu daleng, Ilan Pi'e kemudian yang buta disebut Ilan Buser.

Walaupun kedua anak ini cacat, tetapi mereka disayangi oleh orang tua dan saudara -saudara mereka, bahkan keluarga besar yang ada di sepanjang sungai Krayan (Pe'ayan). Hari, minggu, bulan, tahun, terus berjalan, Ilan Pi'e dan Ilan Buser berusia remaja.

Berdua sudah mulai mengerti dan mendengar cukup banyak hal. Melalui cerita tentang keseharian seluruh penduduk kampung tang payeh, baik bertani sawah, ladang, maupun berkebun. Untuk kebutuhan hidup sehari hari mereka juga berburu binatang di hutan dan mencari ikan di sungai.

Berburu di hutan menyuar malam hari, pakai Anjing di siang hari. Mencari ikan, ada yang memancing, ada yang memukat dan ada yang menjala, semua dilakukan sesuai hobi atau selera masing masing. Pada umumnya semua kegiatan yang membutuhkan tenaga orang banyak, di desa ini gotong-royongan yang selalu di utamakan. Hingga pekerjaan yang berat tidak terasa sudah selesai.

Ilan pi'e dan Ilan Buser sahabat yang sangat baik, kesehariannya selalu berkumpul. Kadang-kadang hari ini di rumah Ilan pi'e besok di rumah Ilan buser. Makan, tidur, bangun, suatu kegiatan rutin berdua. Bahkan ngobrol hal-hal yang lucu, yang membuat mereka tertawa dan kadang mereka berdua bercerita tentang kondisi keluarga masing-masing.

Suatu hari Ilan Pi'e dan Ilan Buser asik ngobrol, tidak terasa waktu sudah larut malam. Ilan Pi'e bertanya dengan Ilan buser. Sampai kapan kita dua menjadi beban keluarga kita ya? Jawab Ilan buser, ia ia ia saya juga tidak tahu. Dengan pertanyaan seperti ini, topik pergumulan mereka dua, mulai besoknya berubah dari sebelumnya.

Pertanyaan itu juga membuat Ilan buser serius memikirnya, bahkan mengubah tingkah laku berdua di keluarga masing-masing hingga banyak waktu berdiam dan ngelamun. Orang tua dan saudara mereka juga melihat perubahan tingkah laku mereka. Namun mereka tetap berprasangka baik. Suatu hal yang menekan perasaan Ilan Pi'e dan Ilan Buser adalah sejak bayi sampai dewasa, tetap menjadi beban orang tua dan keluarga. Bahkan seluruh masyarakat Kampung Tang Payeh. Karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa hanya tahu, menerima dan makan saja.

Kebiasaan masyarakat Kampung Tang Payeh dalam mewujudkan kasih persaudaraan di antara sesama mereka atau budaya yang menumbuh harkat dan martabat merupakan warisan utama dan paling utama secara turun temurun adalah "Hidup berbagi". Hasil buruan wajib dibagi ke setiap KK yang ada. Dengan filosofi; seekor pelanduk dapat dimakan selama satu tahun. Bagaimana caranya? ... Jika hasil buruannya binatang kecil, seperti pelanduk (kancil), landak, musang dan lain lainnya. 

Hasil buruan seperti ini, dibuat biter (bubur) dan yang lebih kecil lagi, Uet belu'ub (jenis kumbang/ulat), Uet lebah tawon madu, rejeki seperti ini juga dibuat Biter (bubur). Kemudian biter (bubur) nya dibagi setiap KK oleh anak-anak yang orang tuanya mendapat hasil buruan hari itu.

Anak yang disuruh membagi, harus mematuhi saran orang tuanya, dengan takaran keduit (sendok sayur dari buah labu). Jika isi KK tersebut penghuninya banyak atau ada sakai (tamu), bisa 2 atau 3 keduit beternya. Isi satu keduit itu seukuran satu piring nasi.

Budaya atau kebiasaan berbagi seperti ini yang membuat Ilan Pi'e dan Ilan Buser sulit menerimanya dan mereka berdua beranggapan kecuali keduanya menghembuskan nafas terakhir (mate/mati), baru berakhir juga kita menjadi beban orang tua, keluarga dan masyarakat kampung.

Sebenarnya orang tua, keluarga dan masyarakat kampung, tidak pernah berpikir dan bahkan memperhitungkan mereka berdua seperti apa yang mereka pikirkan. Ada istilah yang hidup di tengah kehidupan masyarakat Kampung Tang Payeh, yakni setiap anjing orang kesasar berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tetap dirawat dan dikasih makan, menunggu tuannya datang, apalagi manusia lebih dari itu tanggung jawabnya.

Ilan Pi'e dan Ilan Buser mengerti dan paham benar budaya yang berlaku di kampung ini, Namum mereka merasa bahwa mereka tetap menjadi beban orang tua. Dengan perasaan yang terus menerus di dalam hati mereka.

Suatu hari  Ilan Pi'e bertanya kepada Ilan Buser. Menurut Ilan Buser, pekerjaan apa yang bisa kita lakukan, sehingga mempunyai nilai-nilai yang hidup sama seperti yang dilakukan saudara-saudara kita yang lain. Agar kita dapat menyenangkan semua orang, walaupun hanya sekali saja dalam hidup kita. Ilan Buse menjawab! Berburu bawa anjing tidak mungkin, memukat ikan, memancing ikan, menjala ikan, menyumpit burung dan binatang hutan juga tidak mungkin. Ia...iaaaa...  selain makan tidur. Ilan Buser melihat semuanya dari kondisi pribadinya yang buta. 

Ilan Pi'e menawarkan suatu kegiatan yang menurut dia bisa dilakukan, yaitu berburu malam (menyuar). Hitungan Ilan Pi'e, jika kita hidup tanpa bersatu atau kompak, sampai akhir hayat dikandung badan, perasaan yang menghantui kita di atas terus menerus menguasai dalam hati kita. 

Akhirnya itulah yang disebut  hidup tanpa arti atau sampah yang hidup tidak bisa menjadi apa apa. Saya kan pincang, tetapi mata baik, dan kamu kakinya baik, tetapi matamu buta. Jadi, kaki Ilan Buser menjadi kaki kita, dan mataku menjadi mata kita. Artinya Ilan Buser menggendong saya, saya yang menyuar dan menjadi mata kita.

Mendengar ide ini, Ilan Buser sangat setuju dan langsung meraba-raba memeluk Ilan Pi'e. kapan kita dua pergi dan ke daerah mana banyak binatang buruan. Ilan Pi'e sangat bangga mendengar seruan hati Ilan Buser yang sangat ikhlas.

Ilan Buser tahu yang beresiko lelah atau letih adalah dirinya. Karena itu, Ilan Pi'e hati-hati berbicara dengan nada lembut kuatir Ilan Buser menolak keinginannya. Memang, selain menyuar malam, tidak ada yang bisa berdua lakukan untuk membalas kebaikan orang tua, saudara-saudara mereka. Bahkan masyarakat kampung mereka. 

Ilan Buser tahu resiko pribadinya menggendong, tetapi dia tetap semangat dan tidak sabar menunggu malam yang disepakati. Ilan Pi'e dan Ilan Buser sangat bangga mendapat ide yang sangat bagus ini. Sekaligus sepakat memutuskan menyuar malam (me'ngilu'). Tiba saatnya (me'ngilu' )menyuar, Ilan Buser membisikkan Ilan Pi'e. Jangan sampai orang atau keluarga tahu, kita berburu malam, kuatir tidak dapat, tentu menjadi cerita kepanjangan sesungai Krayan (pe'ayan) lebih khusus kampung kita heheheeee.

Malam sudah tiba, Ilan Pi'e dan Ilan Buser siap-siap berjalan menelusuri Pe'Ita (sungai Ita) tanpa seorang pun tahu keduanya ke mana. Yang keluarga tahu, berdua kebiasaannya mengobrol larut malam, keluarga tidak menyangka Ilan Pi'e dan Ilan Buser pergi berburu.

Zaman ini berburu malam (me'ngilu') orang pakai lampu suar. Binatang jinak karena cahayanya tidak terlalu terang seperti senter jaman sekarang. Dalam perjalanan menelusuri kegelapan malam, jika terdapat kayu tumbang atau dahan kayu patah melintang di jalan yang mereka lalui, Ilan Pi'e yang digendong Ilan Buser memberi aba-aba atau petunjuk yang tepat dan akurat.

Hingga Ilan Buser melangkah atau tunduk atau meloncat. Jika ada lobang atau anak sungai kecil yang bisa dilangkahi, dia lakukan sesuai petunjuk Ilan Pi'e. Hingga perjalanan semalaman mereka berdua aman, nyaman seperti orang yang normal.

Perjalanan sudah mendekati puncak buduk yong (gunung yong), Ilan Pi'e mengarahkan lampu suarnya ke pohon agatis yang besar. Terlihat dari jauh, seperti cahaya kunang kunang, belum jelas itu binatang. tetapi Ilan Pi'e  memberikan kode ke Ilan Buser suut.., pelan-pelan, seperti ada cahaya mata binatang, kita pastikan dulu.

Semakin dekat dengan pohon agatis semakin jelas sinar putih kebiruan mata itu. Namun tubuhnya tidak nampak, hingga tidak bisa dipastikan binatang apa yang jelas binatangnya besar. Terlihat dari bulatan cahaya matanya yang besar.

Kurang lebih 20 meter ke arah pohon agatis tersebut. Ilan Pi'e memberi kode ke Ilan Buser. Angkat kakimu agak tinggi, ada kayu melintang, suut… suut..stop! diam ya? Ilan Pi'e mengarakan senjatanya mengikuti cahaya suarnya kesasaran mata binatang tersebut dan menarik platuk senjatanya poooo...ng....

Rasanya tidak sabar berdua melihat,binatang apa itu. Cepat … cepat kata Ilan Pi'e,sesampai di pohon agatis, terbaring seekor rusa jantan yang besar. Tanduknya besar panjang dan bercabang sembilan (9) wow… sayang Ilan Buser melihat hanya dengan meraba-raba melalui tangannya. Ilan Pi'e dan Ilan Buser sangat bangga. Berdua rebutan menceritakan seolah-olah menceritakan buat orang lain, dan tidak menyadari bahwa mereka berdua saja.

Karena asyik bercerita, waktu terus berjalan. Ilan Pi'e mengatakan kepada Ilan Buser, bagaimana cara kita membawa rusa ini pulang ke kampung. Ilan Buser diam sejenak dan menjawab. Gimana kita potong saja ujung telinga dan ujung ekornya. itu yang kita bawa pulang. Agar masyarakat kampung percaya kita berhasil. Kemudian Ilan Pi'e memotong ujung telinga dan ekor rusa tersebut, kemudian keduanya berjalan pulang.

Sesampai di rumah, keduanya bukan lagi ke rumah orang tua mereka, melainkan langsung ke rumah ketua kampung untuk mendapat perlindungan.Orang tua sudah punya rencana, mau mencari Ilan Pi'e dan Ilan Buser jika sampai pagi besok tidak ada. Sesampai di rumah ketua kampung, berebutlah bercerita, tentang kisah perjalanan mereka sampai menembak rusa.

Mendengar cerita  Ilan Pi'e dan Ilan Buser, ketua kampung hampir tidak percaya namun dibuktikan dengan kuping dan ekor rusa yang mereka bawa. Akhirnya ketua kampung percaya. Kemudian ketua kampung memukul Tubung bambu (beduk) tanda ngumpul kaum bapak atau laki ke rumah.Ketika tubung selesai berbunyi, kaum bapak segera berkumpul di rumah ketua kampung.

Setelah semua berkumpul, ketua kampung menjelaskan maksud mengumpul kaum bapak dan pemuda pagi ini. Di jelaskanlah semua secara detail. Mengapa  Ilan Pi'e dan Ilan Buser ada di tengah-tengah kita. Sekaligus ketua kampung mengangkat kuping dan ekor rusa di tengah-tengah kaum lelaki yang ada. Ini hasil buruan  Ilan Pi'e dan Ilan Buser tadi malam. Sehabis makan pagi ini, keinginan  Ilan Pi'e dan Ilan Buser kita semua pergi menggendong rusanya dan membagi rata dalam KK yang ada di kampung kita.

Mendengar arahan dan pesan ketua kampung demikian. Semua yang hadir rasanya sulit untuk percaya. Namun melihat bukti yang di pegang ketua kampung. Tergugahlah hati para hadirin yang hadir. Mendengar orang ramai-ramai di rumah ketua kampung. Ibu-ibu dan pemudi yang ada, tertarik juga mau tahu apa gerangan ini.

Semua berlari lari ke rumah ketua kampung ingin mengetahui mengapa terlalu ramai pagi ini. Mendengar jawaban dari suami mereka soal  Ilan Pi'e dan Ilan Buser. Kedua ibu  Ilan Pi'e dan Ilan Buser lari dan memeluk dan mencium anaknya sambil menangis tersedu-sedu. Hingga suasana di rumah ketua kampung pagi itu bagaikan kedukaan. Namun sebaliknya sukacita yang diselimuti tangisan-tangisan kasih seorang ibu. Selaku guru sorga rumah tangga. 

Selain di rumah ketua kampung, pemukiman kampung Tang payeh dengan kurang lebih 500 KK itu, gempar dengan berita mengagumkan. Bahwa  Ilan Pi'e dan Ilan Buser mendapat hasil buruan malam tadi seekor rusa jantan yang besar, bertanduk panjang, sembilan (9) cabang.

Demikianlah sekilas cerita  Ilan Pi'e (kaki pincang) dan ILan Buser (mata buta).

Salam Literasi! Batu Ruyud motivasiku.